Minggu, 28 Oktober 2018

Sumpah

Jangan mengucap sumpah
Bila hidup masih resah
Kala dendam membuncah
Acapkali nestapa gerah

Tapi, demi cinta
Sumpah adalah citra
Dari belenggu jiwa
Dan gempita rasa

Pemuda, bersumpahlah!
Tanah ini selalu berjaya
Jangan biarkan berdarah
Jangan biarkan pertiwi merana

Ku cintamu, negeri ini
Seburuk apapun kau beri
Jasamu layak dihargai
Keindahanmu pasti ku syukuri

SAYA PEMUDA,   
SAYA INDONESIA!


-Uyyi, Sumpah Pemuda 2018

Inginku

Hidup adalah tentang ingin
Mendekap tak menghapus dingin
Ego acapkali angin

Esok senyummu tak ada
Berpaling dan enggan menyapa
Hidup adalah tentang tiada

Aku ingin mati saja
Dan terjebak lara
Asalkan matamu yang punya
Sebab tak ada lagi asa

Kembalikan hidupku
Bahkan tak pernah bahwamu
Sekalipun mencurinya dariku

Aku ingin sesuatu
Yang bisa membuatku
Hanyut dalam lagu
Hidup seperti candu

Tapi aku tak bisa hidup tanpamu
Mati pun mungkin, karenamu

Keinginan adalah musuh terbesarmu.


-Uyyi, 281018

Jumat, 26 Oktober 2018

Aku Cinta Padamu, Pangrango

Assalamu'alaikum Wr. Wb.

  Salam lestari.

  Ada hal yang mampu diucapkan kata-kata, ada yang tidak. Ada hal yang bisa dinikmati banyak orang, ada yang hanya bisa disaksikan satu pasang bola mata. Ada hal yang bisa diceritakan, ada pula yang seorang tak mengizinkan kisah itu terekspos, melainkan keindahan itu sangat mahal harganya hingga disimpan memori sendiri. Tapi bisa dibilang itu suatu tindakan yang pelit, dan setiap ingin memendam cerita ini sendiri, hati selalu berteriak untukku menceritakannya. Baiklah, dengarkan bila ingin dengar. Karena ini dari hati ke hati, bukan untuk pamer atau sekedar eksistensi atau hal negatif yang mungkin otak kalian terjemahkan.

  Tanggal 18 Oktober 2018, tepatnya hari Kamis sepulang bimbingan belajar, saya (yang sudah direncanakan jauh hari) berpaling ke Jakarta untuk, jujur saja, mengakhiri masa vakum mendaki. Saya atau tepatnya kami akan menjamah Pangrango yang melegenda. Singkat cerita, tanggal 20 Oktober 2018, sekitar pukul 9 malam lebih sedikit. Kami Berangkat ke Bogor dari Stasiun Pondok Ranji. Kami bersembilan, yatu saya, Ilham Ponco (leader), Imam, Blek, Azil, Ridwan, Potek, Farhan dan Ade. Sebagai informasi mereka semua adalah siswa SMAN 74 Jakarta termasuk saya, tapi saya sudah keluar saat kelas 1. Kecuali Ade, saya tidak tahu dia sekolah dimana, yang pasti Ponco yang mengajak dia. Singkat cerita, kami sampai di Basecamp TNGGP (Taman Nasional Gunung Gede Pangrango) sekitar pukul 3 dini hari. Pos perizinan dan kesehatan dibuka pukul 06.00, maka kami perlu menunggu sampai pos dibuka. Hampir lupa, jalur pendakian yang kami akan lewati adalah via Cibodas.

  Singkat lagi, setelah semua prosedur sebelum pendakian kami jalani, kami mulai mendaki sekitar pukul 8 pagi kurang sedikit. Setelah berdoa, kami berangkat. Saya juga mau menjelaskan kenapa saya langsung ke pendakian saja. Jujur, yang saya akan bahas bukan kronologi, bukan tentang kami mendaki, bukan tentang eksistensi. Tapi yang ingin saya bagi adalah kesan, pengalaman, tujuan, dan lebih khususnya apa yang saya rasakan. Jadi ini adalah tentang diri saya, bukan ingin egois melupakan teman-teman. tapi kisah kami biarlah kami yang kenang, biar saya yang mulai bercerita. Sekali lagi saya tegaskan, ini bukan soal kronologi. Jadi peristiwa, waktu, mungkin tidak saya jelaskan, tapi sekilas ada untuk memperjelas rasa dan pemikiran-pemikiran yang timbul.

 Seperti pendakian pada umumnya, tak ada yang terlalu spesial, kami tiba di camp sesuai rencana. Tapi bagi saya, bisa menapakkan kaki di hutan rimba adalah suatu anugerah. Bagaimana tidak, 1 tahun 7 bulan bukan waktu yang singkat. Dengan udara lembut hutan dan jernih air sungai, rinduku tertuntaskan. Jujur, saya sangat rindu. Rindu saat kaki-kaki lemas ketika dihadapkan trek menanjak kejam, rindu senyum lelah rekan-rekan pendaki dan kami tertawa bersama, rindu suara nyanyian alam dan ini tak bisa dideskripsikan. Lebih dalam lagi, saya rindu gunung, kerinduan yang tak bisa dideskripsikan, tak bisa dihapus, tak bisa di jelaskan pena. Saya selalu bisa membedakan suasana dan sudut pandang dimana pun kaki ini berpijak. Dan di gunung, jujur, seperti pulang.

  Malam di Kandang Badak (pos tempat kami camp), saya sendirian tidur di hammock ditemani flysheet dari jas hujan yang saya buat dengan seadanya karena tak ada flysheet. Semua aman dan hangat sampai pada akhirnya gerimis hujan membangunkan saya dari kehangatan. Dingin ini, walaupun saya rindu, sangat menusuk. Teringat saat di Sumbing, tapi kali ini ditambah dingin dan sepinya malam. Jam 10 turun hujan dan memaksa saya menikmati gemercik airnya. Hujan tak lama, tapi hawa dingin dan sepi semakin mencekam. Berselimut atau tidak pun terasa sama saja. Kaki sudah mulai keram dan kesemutan, gelap di pelupuk mata, semuanya sangat mencekam. Apabila kalian orang yang percaya mistis, percayalah, di antara gelap itu memang pasti ada. Di luar, kedinginan dan sendiri. Satu-satunya yang menemani hanyalah keheningan. Pukul 1 malam, dingin memuncak, karena punggung terus terkena hembusan angin (karena tidur di hammock) dan pikiran sudah ngawur kemana-mana. Dan jujur, saya parno akan terkena hipotermia. Lalu saya bergerak dan berjalan menuju tenda teman-teman yang jaraknya tidak jauh, ditemani sorot senter yang sudah buram karena baterainya hampir habis. Sambil kedinginan hebat, saya meminta tolong rekan- rekan di tenda. Walau sempat berpikir tidak-tidak, saya berhasil selamat dan syukur masih diberi kesempatan.

  Saya bukan ingin berbangga karena bisa lolos dari hal mencekam seperti itu (atau tidak menurut kalian). Tapi yang saya ingin gali adalah pelajaran apa yang dapat saya ambil. Setelah pulang dari Pangrango, saya berpikir, pengalaman di Kandang Badak adalah yang terburuk. Tapi ternyata tidak, saya salah besar. Kedinginan, kesepian, hipotermia, atau hal mistis yang mungkin kalian temui di gunung tidak lebih buruk dari kenyataan hidup. Hidup ini lebih kejam, manusia itu kejam, dunia itu tempatnya keserakahan dan kekuasaan. Dunia penuh kepalsuan, penuh dalih-dalih yang hanya menguntungkan satu pihak dan menghilangkan humanisme. Dan yang sadar tentang busuknya dunia, akan berpikir lebih baik terjebak dingin dan terkena hipotermia di gunung daripada seumur hidupnya menyaksikan kekejaman dunia menindas kaum yang lemah. Yang saya tahu, alam tidak pernah menuntut apapun kecuali keramahan, dan ia akan balik mencinta, tanpa pamrih. Berbeda dengan dunia, semuanya selalu punya alasan. Karena menurut saya, mencinta itu tak boleh pakai alasan, jika itu tulus pasti tanpa alasan. Alasan itu hanya bualan agar suatu individu tak mengeluarkan apa yang akan menjadi sia-sia. Dan menurut saya lagi, apa yang kita keluarkan di gunung, pikiran, perasaan, selama itu positif tak akan sia-sia. Berbeda di dunia, mereka yang otoriter sengaja menutup telinga agar ide-ide dan perasaan tetap bungkam. lalu apa yang kalian pilih?  saya memilih menjadi manusia bebas.

  Mengharap pada manusia= kecewa, sia-sia. Pesimisme dalam hidup bukanlah sebuah kriminal dan bila saya bisa katakan, hidup ini tentang menanggung penderitaan. Di gunung, penderitaan itu tak akan kita hadapi sendiri, saya merasa alam sangat membantu. Jujur, walau di dunia nyata, banyak manusia dan banyak yang membantu, tetap saja luka tetaplah luka. Terpejam dan tak bisa menghilang. Lain ketika berada di gunung, luka itu tak hilang, tapi rasa-rasanya seperti sudah ikhlas, Tak ada beban. Yang ingin dilakukan disana hanyalah tertawa dan tertawa, tanpa kepalsuan. Dan satu bagiku yang paling menakutkan, yaitu kesepian. Satu-satunya yang bisa membunuh jiwa dan raga sampai akarnya. Berbeda di gunung. Saya tidak menemukan kata "kesepian", yang ada hanyalah keheningan. Realitanya, di dunia walaupun kita atau khususnya saya dikelilingi banyak manusia, tetap saja, kesepian selalu punya celah hinggap dan sudah menjadi penyakit yang kronis, membunuh setiap waktu. Lain di gunung, walaupun kelak saya mendaki sendiri, atau memang sendiri di hutan, saya tak akan merasa sepi, takkan pernah. Saya akan memegang kata-kata saya ini. Saya tidak pernah merasa kesepian di gunung, sesulit apapun keadaan, karena alam tidak pernah berdusta, daun yang gugur pun tak mungkin berpura. Meski menyimpan misteri, setidaknya alam tidak akan melakukan propaganda atau sekadar mencari untung sendiri. Itulah mengapa saya cinta hutan dan gunung. Dan di gununglah tempat rumah kedua, dimana saya bisa merasa di terima apa adanya. Tanpa harus berpura-pura jadi orang lain, tanpa kepentingan, tanpa dusta, tanpa kecurangan, tanpa embel-embel politik, tanpa dalih-dalih menghasut pemikiran murni. Mereka menerima dan mendekapku mesra.

  Memang tak baik menjadikan gunung sebagai tempat pelarian, tapi harus saya akui. Gunung adalah tempat saya pulang (pelarian terkesan sangat menyeleweng). Sama seperti tokoh Gie, beliau ke gunung untuk menenangkan pikiran dari hiruk pikuk dunia, juga karena cinta pastinya. Ketika lelah dengan kepalsuan dunia, alam menawarkan ke-transparan-nya. Ketika dunia menjadi tempat yang kejam, alam selalu menawarkan keramahannya. Seakan berada di alam, tak ingin lagi , tak perlu lagi dunia itu ada. Andaikan bisa selamanya saya berpijak di alam, khususnya di Mandalawangi, Pangrango. Tak ada lagi yang kuingini di dunia ini, biarlah dunia seperti apa yang dunia akan kehendaki. Saya sudah mendapat ketenangan hakiki. Ingin ku syukuri sembari bercerita tentang kejamnya dunia yang kini menjadi sarana kemaksiatan, dimana humanisme dan sosialisme telah luntur. Saya ingin belajar seperti edelweiss yang tak pernah mendendam, andai hidup semudah itu. Gunung juga tempat berpikir, bagi para pemikir, kudengar istilah ini belakangan ini. Dan memang betul. Segala inspirasi bisa di dapatkan dalam keadaan damai. Kedamaian, haha. Di dunia ini tak ada yang benar-benar disebut kedamaian. Kecuali saat alam yang menyerukannya.

  Saya akan terus pulang lagi, untuk menceritakan perubahan apa yang tengah dunia alami, sebagai tanda kesetiaan dan ketransparanan. Mungkin suatu saat nanti saya akan kembali ke Pangrango dan ingin mewujudkan mimpi untuk sekedar berkemah disana, ingin merasakan yang Almarhum Gie rasakan. Bercengkrama dan berpuisi, akan lebih syahdu, pikiran akan lebih transparan. Entah sendirian atau berdampingan, suatu saat ingin sekali pulang lagi ke Mandalawangi yang indah. Karena saya sudah jatuh cinta pada Mandalawangi. Intinya ingin benar-benar kesana lagi. Tapi jangan terlalu idealis dengan angan-angan akan kebebasan. Kita manusia diciptakan untuk menanggung beban dan mengahadapinya, bukan lari seperti seekor tikus pengecut. Berani hadapi, seburuk apapun dunia. Berani menerima sekejam apa takdir menyiksa. Berani menghadapi yang tanda tanya, dan mencari sebanyak-banyaknya makna. Karena hidup bukan perkara jawaban, tapi soal  dan bagaimana sebagai manusia yang berakal kita berusaha mencari dan mengemukakan kebenaran pada publik. Karena seburuk apapun, kebenaran adalah tetap kebenaran, bukan dusta.

"Aku cinta padamu, Pangrango,
Karena aku cinta keberanian hidup." 
- Soe Hok Gie
Lembah Kasih Mandalawangi

  Dan jika ada yang bertanya, "kenapa sih mau ke gunung?" "mau ngapain ?" "faedahnya apa?". Bung Fiersa menyatakan alasannya karena "bau tanah setelah hujan", jujur itu alasan yang sangat menarik. Ada yang ingin menikmati keindahan, ada yang ingin menaklukkan dirinya sendiri, ada yang untuk berpikir dan merenung, dan yang terburuk cuma ikut-ikutan saja. Tapi saya tidak, saya benar-benar tidak punya alasan pasti kenapa saya kembali dan kembali lagi ke gunung. Seperti saya sudah bilang tadi, untuk mencintai, tak perlu pakai alasan. Saya tidak punya dan tidak mau punya alasan, tapi kalau ada yang bertanya saya terpaksa menjawab,

"PANGGILAN HATI".


Wassalamu'alaikum Wr. Wb.

Rabu, 17 Oktober 2018

Teman dan Kopi

Hanya kaulah temanku.
Pahitmu tak kelu.
Menyairkan segalanya sendu.

Kesepian tak lagi asing.
Tak ada yang mengerti definisi sepi.
Kecuali hangat mentari,
tenggelam terbunuh hari.

Kini disaat dunia jadi tempat yang terlalu
ramai,
Berdua denganmu selalu menjadi tempat 
yang damai.

Bagiku, lebih baik terbuang dalam fana,
Daripada hidup dalam sandiwara.


-Uyyi, 71018

Minggu, 14 Oktober 2018

(Kata Orang)

Orang bilang
Jangan menerka-nerka akhir sebuah cerita
Ibarat membaca buku
Jangan membaca akhirnya terlebih dahulu
nanti kisahnya tidak akan terasa
nanti kisahnya tidak bisa dinikmati pembaca
Begitupun dengan hubungan
Orang bilang nikmati saja
Jangan membayangkan akhirnya

Aku tidak ikuti kata orang
Aku terlanjur membayangkan akhir kisah kita
Dan ku yakin akhirnya bahagia
Namun itu dulu
kini, aku membayangkan akhir kisahnya
Tapi entahlah apa jadinya
Buruk baiknya selalu ada
Seiring sikap kita yang merusak kisah indahnya
Hingga tergores luka yang tak tau kapan sembuhnya
Orang bilang tentang akhir sebuah cerita
Baik atau buruk sama saja
Yang terpenting prosesnya
Tapi bagiku tentang akhir sebuah cerita
Baik atau buruk sama saja,
yang terpenting kamu (nya).


- tertanda bulan, kepada bumi. (kawan uyyi titip sajak)

Senin, 08 Oktober 2018

Diantara

Diantara kantuknya malam dan gelapnya 
aku,
Kau tetap sayup-sayup yang tenang 
dalam kebisingan.
Diantara jarak yang tak pernah berubah
dan hidup yang terus berjalan,
Kau suara yang membuatku bisu.

Diantara kehilangan dan mendapat yang
baru,
Kau takkan pernah bisa tergantikan.
Dan meski semuanya telah direnggut,
Setidaknya mencintaimu tak perlu pakai
susah.

Dan diantara banyak wanita dan yang 
mencinta.
Kau tumbuh menjadi partikel yang 
mustahil terlupa.


-Uyyi, 22 Agustus 2018