Jumat, 14 Juni 2019

"Sang Jenderal" Tutup Usia

Assalamu'alaikum Wr. Wb.

  Malam mendung, siang tak kalah sendu.

  Pergi, aku sudah bepergian jauh. Ya, tak sampai Eropa, Asia pun baru sebatas negara tetangga. Pergi, amat jauh, sulit terjamah lagi. Ada yang pergi dan kembali, tak jarang juga yang tak kembali. Semua kehendak Tuhan, Ia berhak memanggil hambanya yang sangat Ia sayangi. Surga butuh orang-orang suci untuk diisi. Tapi, untuk perjalanan satu ini, aku belum pernah, dan suatu saat akan merasakan.

  Ia, dia, Kakekku, telah berpulang. Pada hari Senin, 10 Juni 2019. Masih terbalut hangatnya suasana hari raya, beliau berpulang dengan tenang. Memang sudah beberapa bulan belakangan ini keadaannya terus menurun, kian melemah. Tubuhnya yang kutahu sedari dulu kokoh tak tertandingi kini rapuh termakan zaman. Suaranya yang lantang menggema, hilang diserap kejamnya hari tua. Ayah, sedari kecil aku memanggil kakekku Ayah. Karena ibuku tak memanggil beliau kakek, jadi aku ikuti saja. Namanya anak kecil akan selalu meniru apa yang orangtunya lakukan. Sekarang juga takkan ada lagi Ayah yang selalu memimpin imam solat tarawih saat bulan Ramadhan tiba. Mengingat ibu dari ibuku telah meninggal tahun 2007 silam, kini ibuku tak lagi punya orangtua, sekaligus menjadi anak tertua yang (mungkin) akan memimpin adik-adiknya, atau mungkin juga ayahku. Dan dari keluarga ayahku, tinggal tersisa kakek. Nenek sudah dipanggil Allah pada 2016 silam. Aku pun pernah menuliskannya di blog ini --> http://maverylaziz.blogspot.com/2016/11/pilu-di-tengah-bahagia.html.

  Sekarang soal aku. Aku adalah cucu tertua di keluarga ibuku. Jadi, semasa Ayah sakit, tepatnya sebulan lalu saat awal-awal bulan suci Ramadhan. Sesudah aku menyelesaikan urusan di Bandung (sekolah, bimbel, dll) aku kembali ke Jakarta dan mengemban tugas untuk membantu ibuku merawat kakekku yang sedang sakit. Semasa-masa itu akulah yang turut mengurusi Ayah. Mulai dari mengantarnya ke kamar mandi, ke meja makan, memijit kakinya, sampai menemaninya, mengawasinya. Karena Ayah hanya mau diurus oleh ibuku, padahal ibuku masih punya satu adik perempuan dan dua adik laki-laki. Tapi Ayah hanya mau diurus ibuku, hanya mau makan masakan ibuku, hanya mendengarkan semua perkataan ibuku, entahlah aku tak tahu mengapa. Begitupun aku, aku yang selalu dipanggil oleh beliau, bukan adikku (adikku memang pemalas juga). Diluar itu aku merasa punya tanggung jawab karena aku sudah besar dan ibuku nampak letih maka dari itu aku harus dan wajib membantu ibuku.

  Saat-saat terakhirnya, sekitar minggu-minggu terakhir saja, aku turut mengurusi beliau. Pernah disuatu pagi, Ayah ingin buang air kecil lantas aku mengantarnya ke kamar mandi. Setelah itu aku tinggal sebentar dan jika sudah selesai aku minta ia teriak saja panggil aku. Tapi karena aku tengah santai duduk sambil bercengkerama dengan ibuku, kami terhanyut. Ibuku ingat Ayah, setelah itu ibuku kembali ke kamar mandi dan Ayah sudah pingsan di wc. Sekonyong-konyong kami panik. Langsung aku bopong Ayah dengan ibuku. Setelah itu didudukkan dia di kursi makannya. "Yah bangun yah!" ibuku setengah berteriak sambil menepuk pipi Ayah. Beliau nampak lemah dan lunglai. Setelah itu datang adik laki-laki ibuku dan langsung membopong Ayah ke kamar. Setelah di kasur ia masih lemas namun sudah bisa berbicara walau kurang jelas. Ia bilang tadi saat di kamar mandi ia mengantuk, lalu bersandar pada kloset dan rasanya nyaman sekali. Aku mendengar itu tersentak apalagi ibuku. Jujur, disitu aku takut itu adalah pertanda, karena omongan Ayah mengandung banyak arti dan salah satunya aku mengartikan kepada hal yang menakutkan.

  Setelah itu keadaan Ayah sempat membaik, ia sudah bisa tertawa lagi, makannya bertambah banyak, bahkan sudah bisa marah kepada cucu-cucunya yang masih kecil yang tak mau diam. Kupikir dan semua orang pikir Ayah sudah akan sembuh. Aku tak jauh-jauh dari Ayah, aku memang mendapat mandat sebagai cucu paling dewasa untuk mengawasi dan menjaga Ayah. Jadi bisa dibilang aku juga yang terus ada di dekat ayah dibanding cucu-cucu yang lain. Sampai tiba hari raya dan aku berangkat ke Kuningan, tak lagi aku menjamah Ayah. Aku terlalu sibuk bertemu saudara di kampung halaman ayahku sampai aku sebentar melupakan Ayah dan tanggung jawabku. Sampai saat terakhir Ayah dipanggil pun aku belum sempat bercengkerama lagi. Terakhir sekali saat hari lebaran dan sudah hampir seminggu. Padahal pada tanggal 9 Juni saat Ayah masuk RSPI, aku sedang bertemu temanku di PIM. Harusnya aku menengok dia dahulu sebentar, tapi aku memilih pulang, karena ayahku sakit. Tapi, andai saja aku sempat, malam terakhir itu... Jam 3 pagi ayahku dan ibuku membangunkanku karena mereka harus ke RS karena keadaan Ayah yang kritis. Aku mau ikut, tapi aku diperintahkan jaga rumah. Dan setelah azan Subuh berkumandang, Ayah pergi meninggalkan kami semua.

  Tumpah ruah air mataku, aku jarang sekali menangis dan tak bisa menangis dihadapan orang banyak. Maka di pagi itu, dikeheningan, air mataku hangat membasahi wajahku. Teringat masa aku kecil, masa aku bermain dengan Ayah, masa aku diomeli tapi selalu kuingat apa pesan beliau. Beliau keras, tapi darinyalah aku belajar menjadi laki-laki sejati. Tak gentar memegang teguh keyakinan. Memang ia tak bicara langsung, tapi dengan tingkah lakunya aku belajar. Banyak ilmu kudapat darinya tanpa kusadari. Ia yang dulu yang mengajariku bermain catur. Sungguh tegurannya kini tak bisa kudengar. Dan saat ke rumahnya pun yang berjarak beberapa langkah dari rumahku, saat berkata, "mau ke rumah Ayah." Tapi yang punya rumah sudah tiada. Saat Ayah sakit sampai ia sulit berjalan, ia sempat menolak memakai trekking pole-ku. Tapi akhirnya karena sulit ia pakai. Aku punya tiga trekking pole, yang ketiga itu yang dipakai Ayah saat masih hidup. Maka aku takkan pernah mau menjualnya, yang tadinya sudah hampir kujual. Untuk kenangan dan bentuk penghormatanku yang amat tinggi. Aku amat sangat menghormatinya, selain sebagai kakek juga sebagai manusia.

  Aku turut memandikan beliau. Aku yang menemaninya saat sakit, aku juga harus memberi perawatan terakhir dengan sebaik-baiknya. Teringat langsung masa kecilku, masa kecil bersama beliau yang tak banyak kuingat namun membekas dan indah. Masa-masa ia memotong rumput halamannya yang sekarang sudah tumbuh kasar dan kurang ajar. Masa dimana aku mandi dibaknya lalu beliau menguras bak tanpa memarahi aku. Masa dimana beliau bercerita sebelum aku tidur. Dan banyak, banyak lagi. Tapi, aku harus ikhlas. Ayah pergi dengan meninggalkan kesan, beliau sudah bertemu saudara-saudaranya. Dan, ia tersenyum, tersenyum. Itu membuat perasaanku campur aduk. Aku pula ikut membawa kerandanya menuju ambulance, menyolatinya, dan menguburkan. Tapi aku tak masuk ke dalam karena sudah ada ayahku dan dua anak laki-laki Ayah. "Yah, terima kasih semua, semoga Ayah ditempatkan di Surganya Allah, Aamiin."

 Dan satu lagi, pelajaran yang amat berharga. Ayah adalah sosok yang setia, ia amat menyayangi mendiang istrinya. Tak pernah terlintas menikah lagi, itu yang kudengar. Jika ditanya apakah akan menikah lagi setelah nenekku meningggal dunia, apa jawabnya? hanya tersenyum. Sungguh, ini sangat mengoyakkan hatiku. Betapa besar cintanya kepada Almarhum nenekku. Sungguh pelajaran tak ada bandingan. Dan kini, ia akan bertemu lagi dengan pujaan hatinya. ia dimakamkan di atas makam nenekku (ditumpuk). Bahagialah, sudah lama mungkin Ayah menunggu saat ini, di mana kembali bersatu lagi, dalam keabadian Surga Allah.

  Jenderal? tidak, kakekku bukanlah Jenderal. Bukan ABRI, Polisi ataupun prajurit. Bukan sama sekali. Beliau tak punya pangkat. Tapi, aku menghormatinya layaknya seorang Jenderal besar, Panglima tempur, Kaisar besar. Aku menghormatinya sebagai prajurit yang kecil dan lemah. Tapi, berkatnya aku akan menjadi "Jenderal" juga suatu saat. Untuk keluargaku, istriku, anakku, cucu-cucuku kelak.

  Terima kasihku tak ada apa-apanya, selamat jalan Ayah. Tempatmu sebaik-baiknya tempat di sana.
  Cucumu, melanjutkan hidup untuk membuatmu tersenyum bangga di Surga.


Wassalamu'alaikum Wr. Wb.