Kamis, 08 Oktober 2020

Miris

  Setelah sesaat, ternyata semua terasa lebih parah dari yang bisa dibayangkan. Hidup, hidup ini, apa esensinya? Apa yang menjadikan sesuatu bisa disebut kehidupan? Kekacauan? Pertentangan? Pertemanan? Permusuhan? Kekeluargaan? Semua omong kosong serta dalih yang cuma sekadar mulut. Semua jerih payah dan emosi yang cuma jadi tertawaan. Padahal, bagiku, hidup tak selalu selucu itu. Melihat kesenangan di atas jerih payah orang, membuat diri bahagia dengan membuat orang sengsara, berkata seenaknya tanpa peduli manusia lain, berdalih punya kisah paling pilu, punya hidup paling berat, tapi tak tahu apa makna "keras" dalam kehidupan yang sebenarnya. Lalu, ternyata hanya satu hakikat kehidupan: kedamaian.

  Yang miris bukan pemerintah, bukan tokoh-tokoh heroik, bukan segerombolan mahasiswa yang selalu menegakkan kebenaran. Tapi, aku. Miris melihat diri sendiri yang (pernah) berpikir bahwa hidup setelah menanggalkan diri dari atlet akan terasa lebih menyenangkan dan bebas. Nyatanya, tidak. Kupikir awalnya teman yang dulu kuanggap brengsek dan hina, nyatanya tak sebrengsek orang-orang di sekitarku sekarang. Dulu, kupikir hidup setelah lepas dari beban latihan akan jauh lebih membahagiakan, nyatanya tidak. Siksaan dan jerih payah kerasnya latihan tak akan terasa lebih mengecewakan daripada dikelilingi sekumpulan manusia yang tak tahu caranya bersikap pada manusia lain. Memang, hidup kini tak sekeras dulu dan dulu memang jauh lebih keras. Namun, kali ini batin yang tersiksa, kecewa yang selalu bertubi melebihi kecewa yang dihasilkan dengan gagalnya mimpi jadi atlet profesional. Bodohnya dulu menganggap dan bahagia telah berhasil masuk kemari dan di lingkungan yang memang dahulu dibayangkan menyenangkan, nyatanya tak lebih menyenangkan dari saat masih berlatih pagi sore. Dulu, rasanya aku terjebak dalam neraka, nyatanya sekarang yang awalnya kuanggap surga tak lebih baik dari nerakaku dulu. Aku sendiri, kini tak ada yang tersisa. Itulah bedanya. Tak ada beban senasib sepenanggungan. Miris, aku.

  Sejak SMP aku ingin berada di sini, aku seingin itu hingga berani meninggalkan dunia yang sudah mendidik dan membesarkanku, nyatanya semuanya tak seindah bayangan. Rasanya tak lagi menjadi keinginanku berada di sini jika sudah menjadi hal yang tak dibutuhkan. Rasanya jika mau direnggut atau hengkang tak masalah sama sekali. Toh, di sini tak lebih baik dari neraka yang kutempati dulu. Kalau ingin direnggut, renggut saja, aku sudah tak berkeberatan jika harus mengarungi kehidupan baru lagi, demi satu: kedamaian. Bukankah setiap orang berhak dan mesti berbahagia? Nyatanya bila terus di sini rasa-rasanya kebahagiaan itu takkan pernah ada. Aku tahu aku sedari awal memang tak cocok berada di sini, aku berbeda, aku tumbuh berbeda dari yang lain. Awalnya aku mencoba menerima semua dan berusaha menganggapnya duniaku yang baru. Tapi, tidak begini. Tidak seperti ini seharusnya. Aku tak ingin mengubah seseorang dan aku punya prinsip dalam hidup yang hanya perlu dihargai, namun rasanya aku terlalu hina untuk mendapat penghormatan. Buat apa pula menghargai balik? Buat apa menghabiskan rasa cinta dan kasih sayang kepada manusia yang tak bisa menghargai prinsip dan hanya ingin prinsipnya dihargai serta selalu subjektif dalam melihat apa pun. Aku tak mau dibela dan tak suka dikasihani, tapi sadarkah siapa yang minor di sini? Embel-embel apa dahulu pernah bilang saling rangkul-merangkul, walau aku tak begitu suka kata merangkul dan hanya butuh rasa saling menghargai, mana?

  Mungkin aku mengada-ada, hanya itu yang kuingat dan aku selalu ingat hal-hal kecil seperti itu. Dan mungkin, aku terlalu total dalam melakukan apa pun dan alhasil selalu dan mudah kecewa. Dikecewakan, dikhianati, seringkali, sudah acapkali, berulang dan berulang, lagi dan lagi. Tapi lagi, rasa-rasanya memang aku sangat dikecewakan. Kecewa oleh hidup, oleh rasa percaya yang patah dan patah, yang musnah dan musnah. Bukan tempatku di sini, aku punya komunitas dan kawan-kawan yang bodohnya sudah kutinggalkan demi tempat sekarang. Lelah berkelahi dan berdebat, bukan lebih baik urus hidup masing-masing? Aku tak bisa menerima bagaimana cara mereka memperlakukan orang lain dengan sangat tidak manusia. Mengapa tidak bisa sedikit menjadi manusia? Tak perlu lagi kata keluarga, teman, atau apalah, menjadi sesederhana manusia, tak bisakah? Miris sekali, aku. Gelas yang pecah takkan bisa menyatu lagi dengan sempurna, sudah hancur ya hancur. Maaf diterima namun takkan mengubah apa-apa. Itulah resiko, resiko terdampar dalam lingkungan yang salah. Mengharapkan sesuatu berujung mustahil, aku ini minor dasar bodoh. Mana mungkin mereka mendengar minor, suara mayor kerap tak didengar oleh pemerintah apalagi yang minor. 

  Menyenangan rasanya bila bisa pergi, atau kembalikan saja masa-masa paling tersiksa dulu, aku lebih menikmati penyiksaan itu daripada kesenangan semu di sini. Aku ini berbeda, aku ini tidak seperti kalian yang mudah menerima. Aku ini binatang hina yang tak cocok bersama binatang gembala. Bukan duniaku hidup seperti ini, dan bukan kewajibanku untuk bersama manusia-manusia yang lebih baik tak perlu lagi tampak di pelupuk mata. Sudah kubilang, aku ini berbeda, ya sudah. Aku takkan pernah mengerti dan kalian tidak akan dan tak mau mengerti minor. Lebih baik berada di rumah sendiri, dan yang ditawarkan oleh kalian bukanlah rumahku, tapi rumah kalian. Tempat kalian menyayangi satu sama lain dan tertawa sepuas hati dengan semua kebahagiaan kalian, kebahagiaan kalian. Jangan tanya apakah aku bahagia atau tidak, aku hanya ingin kehidupan, kedamaian dan tujuan hidupku kembali tanpa harus berkompromi dan mengorbankan diri demi suatu hal yang mustahil melakukan hal serupa padaku. Miris, aku. 

  Mungkin, bisa jadi inilah selamat tinggal, selamat. Senang kan? Bahagia kan? Tinggal aku kini mencari kebahagiaanku lagi, mencari yang telah tanggal dan hilang. Entah yang kutanggalkan sendiri atau karena hadirnya kalian. Dimulai dengan mengingat bahwa mungkin neraka dunia telah selalu diciptakan untukku, tapi aku bisa memilih mana yang lebih baik dan setidaknya bisa menerima dan aku terima. Semua cinta kasih sayang terhdap kegagalanku terasa sangat nikmat dibanding harus bertahan di sini entah hingga berapa tahun lagi, berapa lama lagi. Entahlah, tak tahu aku apa yang akan terjadi, ditahan atau akhirnya mencari lagi, hidup adalah pengembaraan tanpa akhir. Menyiksa, tapi setidaknya merasa ada, dan nyata. Mungkin, kata "miris" pun tak baku, tak ada di KBBI. Tapi, yang perlu diingat, yang tak terlihat bukan berarti tak ada.