Untuk Menghormati Alm. Hj. Aah Janiah, izinkan pada post kali ini aku menggunakan kalimat dan kata-kata yang sopan dan baku.
Rabu, 22 Desember 2017. Salam hangat dari Pekanbaru malam ini, sedikit sendu.
Satu tahun tak berasa berlalu. Ya, terakhir kali aku menulis tentang hal seperti ini, persis setahun yang lalu. Tapi dengan kondisi yang jauh berbeda. Semua kesibukan kulepas demi sekedar menulis hari ini, dan benar-benar harus menulis. Tugas negara, atau lebih penting. Tak kubiarkan melewati momen sebesar ini dalam hidupku dan bisa jadi hidup keluarga besarku. Tulisan ini kupersembahkan bukan lain hanya teruntuk Almarhum nenekku tercinta. Yang semoga sekarang sudah berada di tempat yang paling mulia di sisi Allah. Sekedar untuk bernostalgia dan merasakan kehadirannya sejenak di ruangan yang sepi dan tidak terlalu besar ini. Berusaha mengingat kembali semua nasihat dan tuntunan yang sudah beliau tanamkan di otak kecil yang kubawa kemana-mana, nasihat itu lebih dari sekedar berharga. Dan mungkin barangkali berusaha tidak melupakan ciri khas Almarhum, yaitu saat beliau tertawa. Ini bukan lelucon, tapi semua orang yang kenal padanya tahu bagaimana saat beliau tertawa. Gak akan mungkin terhapus di memori, memori kita semua sebagai keluarganya, dan mungkin teman dan kerabatnya. Sungguh, itulah momen yang paling aku ingin berada disana lagi. Dimana semua anak dan cucunya berlomba-lomba sampai terkadang berbuat konyol hanya untuk sesekali mendengar beliau tertawa. Ya, hanya untuk beliau tertawa bahagia, kami pun tak kuasa mendengarnya. Itulah ciri khasnya, sangat berharga.
Sebenarnya jujur aku tak tahu apa yang mesti aku tulis. Karena rasanya seperti sudah lama sekali beliau pergi, dan semenjak aku pindah ke Pekanbaru. Padahal baru saja setahun, dan aku 5 bulan. Hanya saja aku jadi teringat saat detik-detik aku pindah kesini. Sebelum mengikuti seleksi kedua TigaNaga FA yang akan menentukan aku akan pindah ke Riau atau tidak, sebelumnya aku meminta do'a restu kepada Almarhum Mimi (Mimi adalah panggilan kami sekeluarga untuk memanggil beliau, panggilan kesayangan dari cucunya). Aku berziarah atas amanat ayahku untuk mengecek kondisi makamnya. Tapi aku tak hanya memeriksanya. Aku memanfaatkannya untuk meminta do'a restu kepadanya. Aku juga berjanji padanya agar bisa menjadi Pemain Sepakbola Profesional jika Allah mengizinkan, Insha Allah. Karena dulu saat beliau masih hidup, beliau adalah nenek-nenek yang suka nonton pertandingan sepakbola. Klub favoritnya Persib, karena beliau orang sunda dan itu sudah nalurinya. Dan mungkin jika aku tak salah ia bilang ingin melihatku bermain di televisi sebagai pemain bola (Persib) dan beliau dengan semangat akan menontonku di sofa rumah yang hangat. Bagaimana tidak, beliau selalu heboh saat Persib sedang berlaga dan sangat senang jika menang dan agak sedikit kecewa jika kalah. Mungkin itu adalah salah satu motivasiku untuk kelak bisa membela tim Persib Bandung.
Dan beliau juga selalu mendo'akan aku. Memang beliau tidak pernah bilang padaku, tapi aku merasakannya. Saat aku ujian, saat aku mendapat masalah, dan saat aku berlaga di lapangan hijau. Do'anya bagai do'a ibu yang memberi kekuatan tersendiri. Akupun sudah cerita sebelumnya jika beliau selalu mendo'akanku. Dan aku masih yakin. Walaupun kini jasad beliau sudah tertidur, dan arwahnya sudah berbeda alam, beliau masih mendo'akanku. Aku merasakannya. Itu mungkin menjadi faktor aku bisa sampai sini, sejauh ini. Berkat do'a beliau, doa yang tulus dan murni. Seperti ulat yang berubah jadi kupu-kupu, kita harus bisa berubah. Sedih boleh, berduka sah-sah saja, menangis manusiawi. Tapi itu semua tak menyelesaikan masalah. Aku pun tahu, beliau tidak ingin kita terus bersedih. Karena sejatinya tak ada orangtua yang sudi melihat anak atau cucunya menangis atau sedih. Jika beliau masih hidup, mungkin beliau akan bekerja keras membuat kami semua berhenti menangis dan kembali ceria seperti sediakala. Tapi bila kita terus bersedih sekarang, hanya membuat hati beliau teriris, membuat beliau menangis, membuat beliau tersiksa. Maka, berilah penghormatan dengan penuh kelapangan dan senyum tulus. Untuk para orangtua ajarkan kepada anaknya untuk ikhlas karena pada hakikatnya semua milik Allah dan bisa diambil kapanpun. Ajarkan menghadapinya dengan senyum, aku yakin beliau juga akan bahagia melihat kita tersenyum dan kuat menghadapi semua ini. Beri penghormatan dengan melanjutkan perjuangan beliau dengan cara kita masing-masing. Menandakan era baru telah tiba dimana beliau jadi contoh dan teladan baik bagi semua orang yang mengenal beliau. Dan memang benar adanya, beliau adalah sebaik-baiknya contoh. Mengajari bukan hanya dengan omongan, tapi perbuatan. Ayahku tahu itu dan aku sudah paham sekarang.
Dengan caraku yang masih berusaha mewujudkan hal yang disebut mimpi. Jauh dari orangtua, jauh dari kampung halaman, jauh dari beliau. Tapi kenyataanya tak sejauh apa yang kalian semua pikirkan. Semua terasa dekat bagiku. Sejauh apapun kampung, sejauh apapun rumah, sejauh apapun keluarga, sejauh apapun semua sahabatku, dan sejauh apapun Alm. Nenekku yang sudah berbeda alam. Mereka semua tak sejauh itu, selama akal dan hatiku masih bekerja dengan baik, mereka takkan jauh, takkan kemana-mana. Mungkin hanya ini saja yang bisa aku persembahkan pada mendiang nenekku. Aku tahu beliau membacanya, atau beliau sudah sedang disini bersamaku, menemaniku membuat sedikit kenangan untuknya. Andai waktu berhenti berputar, atau tangan yang tak ada lelah. Mungkin takkan berhenti aku menulis untuk beliau. Tapi malam sudah larut, perjuangan masih harus dilanjutkan esok hari. Pastinya beliau selalu ada menemani, di sela-sela jantung yang terus memompa darah ke seluruh nadi. Harus ku akhiri walau tak ingin. Untuk nenekku tak terputusnya kami semua kirim do'a padamu. Tenang disana dan tunggu cucumu muncul di televisi. Kasih sayang kami yang tak terhingga. Untukmu, nenekku, nenek kami, orangtua kami. Takkan ada satupun yang sanggup menggantikanmu di hati kami, walau malaikat sekalipun.
Wassalamu'alaikum Wr. Wb.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar