Rabu, 28 Februari 2018

Penyair Sendu

Aku mungkin penyair, bukan penyihir.
Tapi hatiku cair, berceceran tiada akhir.
Aku masih mungkin saja penyair.
Tapi kata selalu tertahan di relung hati, 
tak mampu terucap bibir.

Aku sendu, benar-benar rindu.
Aku hantu, kau tak pernah tahu.
Yang gelagapan setelah beberapa detik
matamu selesai mengucap doa tanda 
mengantuk.
Sambil menyunting sajak yang mulai saat
ini akan terkutuk.

Jangan menangis, biar aku saja yang 
sendu.
Terus mencoba mewarnai hidupmu yang 
kelabu.
Hidup tanpa kesedihan, aku tiada 
mampu.
Aku suka dirimu tanpa senyum yang
palsu.

Bila aku pulang, tak usah datang
menjemputku.
Biar memori yang terus memaksa diriku 
menggendong tas hingga pintu rumah.
Biar baju lusuhku yang pertama kali 
mengecup dadamu.
Saat itu juga aku sudah berubah,
jemariku kembali basah.

Aku bukan penyair yang baik.
Tapi matamu mengajarkan apa arti
kepulangan.
Seperti senja yang setiap kali akan
disingkirkan rintik.
Untuk menutup hari yang sempurna, ia
selalu punya kesempatan.

Sampai kapanpun, aku tetap merindukan
rumah dan ibu.
Sama seperti aku mencintai matamu.


-Uyyi R, Penghujung Februari 2018

Tidak ada komentar:

Posting Komentar