Tapi hatiku cair, berceceran tiada akhir.
Aku masih mungkin saja penyair.
Tapi kata selalu tertahan di relung hati,
tak mampu terucap bibir.
Aku sendu, benar-benar rindu.
Aku hantu, kau tak pernah tahu.
Yang gelagapan setelah beberapa detik
matamu selesai mengucap doa tanda
mengantuk.
Sambil menyunting sajak yang mulai saat
ini akan terkutuk.
Jangan menangis, biar aku saja yang
sendu.
Terus mencoba mewarnai hidupmu yang
kelabu.
Hidup tanpa kesedihan, aku tiada
mampu.
Aku suka dirimu tanpa senyum yang
palsu.
Bila aku pulang, tak usah datang
menjemputku.
Biar memori yang terus memaksa diriku
menggendong tas hingga pintu rumah.
Biar baju lusuhku yang pertama kali
mengecup dadamu.
Saat itu juga aku sudah berubah,
jemariku kembali basah.
Aku bukan penyair yang baik.
Tapi matamu mengajarkan apa arti
kepulangan.
Seperti senja yang setiap kali akan
disingkirkan rintik.
Untuk menutup hari yang sempurna, ia
selalu punya kesempatan.
Sampai kapanpun, aku tetap merindukan
rumah dan ibu.
Sama seperti aku mencintai matamu.
-Uyyi R, Penghujung Februari 2018
Tidak ada komentar:
Posting Komentar