Ingatan selayaknya anugerah tak terbantahkan. Semua memori yang indah yang buruk yang usang yang jelek yang tak mau dan mau ada di sana. Aku lebih suka menyebutnya sebuah kutukan. Terdapat satu momen, satu hari yang akan diingat untuk selamanya. Sejak kapan? Entah, sudah lama sekali. Sejak hari itu dan selanjutnya merupakan ruang tanpa jalan keluar. Sebuah kejadian berulang. Sebuah riddle yang tak pernah selesai. Sebuah kebutuhan, keterpaksaan, hingga menjadi sebuah kewajiban yang mulai terbiasa.
Satu hari, di setiap tahun. Satu hari yang berisi perayaan, pesta pora serta rasa syukur setidaknya telah dilahirkan dan sehat sampai detik ini. Satu hari, yang tak ingin, tak mampu, tak pernah dan tak bisa dilewatkan begitu saja. Satu hari di tanggal 23 pada bulan setelah tanah air berpesta merah-putih, setiap tahunnya. Hidup dan tumbuh manusia cantik yang tak lupa membuat bangga dirinya dan semua orang yang pernah hadir di sela-sela waktunya. Hari itu, hari-hari besarnya, hari di mana semua doa menjadi lebur dalam embusan keramaian.
Kini tentang aku dan dayaku. Yang semula serupa pangeran kecil yang selalu mengantarkan ke tempat tidur hangat dengan ucapan polos yang maksud dan tujuannya hanya satu: rasa tulus. Sampai kini, masih sama. Hanya saja pangeran kecil telah menjelma jadi kerdil. Pada akhirnya mengapa semua ini lebih terasa seperti kutukan? Rutinitas tiap tahun, repetisi, juga apa yang dibawa masih tetap saja sama. Namun yang dituju sudah jauh dari kata ramah, atau tepatnya keadaan. Di mana rasa pantas makin sirna seiring realita menyadarkan tak semua dalam kehidupan dewasa bisa gampang diucapkan layaknya anak kecil. Ada yang perlu dijaga, ada yang perlu diakui keadaannya. Jadi, dia atau akulah yang asing? Yang datang menghancurkan hidupmu, dia atau aku? Yang berhasil mengambil hati atau yang terjebak dalam labirin yang entah sampai kapan.
Entah sampai kapan bisa bertahan, atau entah sampai kapan tak bisa tak tahan. Rasanya satu hari di tanggal 23 itu bak upacara sakral yang mesti ditunaikan. Apakah sampai nanti? Bila katakan cinta sebagai penghalang yang sah, yang memisahkan yang wajar menjadi ancaman. Tapi, Puan, tak apa hari-hari lain terlewati asalkan bukan satu hari di tanggal 23. Ketika cinta gila bertahan menjadi cinta seumur hidup, yang tak pernah mau peduli apakah jadi milik, apakah mendapat balasan serupa, apakah selamanya. Meski yang kau genggam dan kau sapa selalu bukanlah yang sedari dulu mengucap pada satu hari di tanggal 23. Yang selalu kau tahu apa rupanya, bagaimana senyumnya, bagaimana saat siap sedia menjemputmu dari dan menuju mimpi yang mungkin aku tak pernah tahu, lho apa hakku? Hanya dengan ucapanlah, doa yang diam-diam kuselipkan dalam rentetan kata yang familier, satu-satunya cara mencintaimu tanpa menyakiti siapa pun di hidupmu.
Satu hari di tanggal 23 setelah merah putih berkumandang diiringi lomba yang lenyap kini, satu-satunya waktu aku mendoakan dan mengingat bahwa kau pernah dan akan selamanya tak terganti. Aku harus jujur, aku tak bisa lagi selalu mendoakanmu kini, kesibukan juga niat mencari yang pasti mengalahkan kewajiban sedari awalku. Maka, satu hari di tanggal 23 adalah harimu, hariku yang akan selalu kupersembahkan untukmu, entah sampai kapan. Hari di mana aku bisa seharian penuh mencintaimu tanpa peduli rasaku, orang-orang di hidupku, tambatan hatimu, apa yang kau rasa, apa yang kau lontarkan juga padaku, tak peduli sama sekali. Satu hari di mana aku bisa mengingat parau indah matamu, teduh senyuman, juga tangan mungil yang suka ganti kulit. Itu semua hanya ada pada satu hari di tanggal 23.
Kini adalah aku, yang memilih apakah ingin berhenti di tanggal 23 tahun ini, atau menanggung kutukan itu dengan senang hati, walau luka adalah milik pasti realita. Mungkin aku kini lebih memilih menikmati irisannya dengan lapang dada. Dengan tanpa harapan, dan hanya menikmati perihnya terjebak dalam kecintaan seumur hidup. Hanya saja kau tak ada gantinya, Puan. Sialan, Puan. Padahal hidup sempurna menantimu. Aku masih saja menyaksikan kebahagiaan yang kutahu hanya berlaku bukan untuk orang sepertiku—yang memilih tak percaya terhadap keajaiban kecuali (sejak) keberadaanmu. Kini biar aku renungi, atau mungkin tak perlu. Selama kau bahagia dan hidup. Sudah, sampai bertemu lagi, satu hari di tanggal 23, Puan. Moga-moga umur disayang Tuhan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar