Hakikat bahwa kebahagiaan harus dijemput, kebahagiaan harus diusahakan, kebahagiaan harus dicari. Namun, apadaya, trauma pada diri tak mau kalah dengan realitas hari. Mencinta tanpa mau berusaha, hasrat memiliki tanpa mau terikat, tanggung jawab yang belum mampu dan mau ditunaikan. Dan hidup, hanya mencari suatu arti; tak mau sendiri; tak mau sepi. Tak mau kalah oleh derita yang mencuat pada akhir hari.
Kepedihan dibuat dan dikonstruksikan oleh diri sendiri dan menolak terpejam bahkan sebentar saat mata ingin menenggelamkan kelopaknya dalam. Menolak tidur karena mimpi sama buruknya dengan mimpi terjaga; mengajarkan berekspektasi. Membuat bualan hari baik tentang kamu yang selalu datang dengan senyum yang sama, dengan hijau yang sama, dengan rona kaca yang sama. Dengan hangat yang sama. Sialnya otak adalah organ yang tak punya hari libur.
Permintaan maaf akan terasa hambar dan sia-sia dikala terlanjur mengecewakan orang lain, orang terkasih, orang yang hendak dikasihi, dan yang terpenting: diri sendiri. Maaf kalau aku selalu mengecewakan walau seantero nadi dan saraf tak pernah ingin demikian. Kebodohan terlebih kepintaranku yang selalu menghancurkan semua. Maaf.
Bayangkan orang yang pernah mengasihi, memberi cinta tanpa pamrih dan kandas dibutakan entah karena apa yang ada dalam diri. Melihatnya begitu cemerlang dilahap waktu yang sebenarnya memancarkan kebahagiaan penuh. Senyum berseri dengan sedikit air yang membasahi wajah kagumnya. Soal bodoh yang terus menjadi gurauan walau tahu memang seyogianya bukan salah siapa. Namun, cukup menampar, menendang kesalahan, sedikit atau banyak yang terhempas.
Harapan tinggi untukmu, sepertinya harus dikandaskan pelan. Layaknya keyakinan yang tumbuh perlahan, kepercayaan yang dirajut satu per satu. Namun, belajar menerima itu tak pernah mudah. Bagiku. Entah baginya. Atau untuk kamu. Nanti-nanti pun akan timbul hasrat konyol dari hasil candaan dan kedok untuk menghibur orang dan diri, bahwa kamu memang tak pernah mudah dilupakan. Terlanjur mengisi hari yang kebetulan sudah hancur lebur berantakan amburadul dahsyat tak keruan. Maaf juga untuk itu. Maaf untuk kelabilan dan ketidakjelasan yang muncul spontan dari alam sadar manusia setengah monster ini.
Jika memang, sekali lagi, kamu memang kesempatan satu-satunya untuk bisa bahagia. Terima kasih. Sudah memberi kesempatan. Sudah memberi kesempatan bagi anak yang selalu mau berjuang berkorban berusaha walau tak diberi kesempatan. Terima kasih sudah memberi kesempatan yang sepertinya aku akan menolak menerimanya. Mungkin karena kamu terlalu baik (memang omong kosong dan basi, aku tahu, tapi mungkin saja benar), atau aku yang tidak cukup siap dan mampu menerima kebahagiaan macam itu lagi. Lebih baik berlatih menjadi bahagia dalam sengsara. Setidaknya aku tak mengganggu kamu, manis. Aku tak masuk dan mengganggu ritme hidupmu yang kuanggap sempurna. Ya, anggap saja seperti itu. Doaku juga barangkali. Tak ingin menambah pikiranmu disela kesibukan pelajaran yang kutahu otakku takkan mampu menampungnya.
Terima kasih sudah hadir sebentar, sudah singgah sekejap sebelum kita menghilang dan kembali ke kehidupan masing-masing. Mungkin saja kita takkan pernah menjamah lagi. Atau sekedar bertemu di situasi yang entah di mana dan kapan.
Untukmu, selamat kembali berbahagia. Hidupmu (barangkali) sempurna. Turut berbahagia. Turut bersuka cita. Turut senang. Entah ini tahap melepas atau apa, atau entah aku ini sedang berpikir apa, entah aku makhluk macam apa yang berperang melawan diri sendiri. Boleh sebut aneh. Tapi, yang ingin kutahu, selalu. Bila nanti kita bertemu lagi, aku mau senyum itu masih sama saat pertama kita bersua. Tetap sama. Tetap sama hangatnya.