Minggu, 12 Desember 2021

Sepucuk Surat untuk Gadis Hijau

Permintaan maaf kusampaikan karena kepecundanganku tak berani menyampaikan isi hati. Di kala sendiri dan sepi tak mampu menahan gejolak fantasi. Juga khayal imajinasi. Berceritera bahwa kamu adalah tanda dari Tuhan akan sekali lagi diberi kesempatan untuk bahagia. Untuk sekali lagi bahagia. Kalau tidak pun tak apa. Aku tak apa. Mencoba untuk tak apa. Walau sejujurnya bukan tak apa-apa. Tapi tak apa. Sungguh.

Hakikat bahwa kebahagiaan harus dijemput, kebahagiaan harus diusahakan, kebahagiaan harus dicari. Namun, apadaya, trauma pada diri tak mau kalah dengan realitas hari. Mencinta tanpa mau berusaha, hasrat memiliki tanpa mau terikat, tanggung jawab yang belum mampu dan mau ditunaikan. Dan hidup, hanya mencari suatu arti; tak mau sendiri; tak mau sepi. Tak mau kalah oleh derita yang mencuat pada akhir hari.

Kepedihan dibuat dan dikonstruksikan oleh diri sendiri dan menolak terpejam bahkan sebentar saat mata ingin menenggelamkan kelopaknya dalam. Menolak tidur karena mimpi sama buruknya dengan mimpi terjaga; mengajarkan berekspektasi. Membuat bualan hari baik tentang kamu yang selalu datang dengan senyum yang sama, dengan hijau yang sama, dengan rona kaca yang sama. Dengan hangat yang sama. Sialnya otak adalah organ yang tak punya hari libur.

Permintaan maaf akan terasa hambar dan sia-sia dikala terlanjur mengecewakan orang lain, orang terkasih, orang yang hendak dikasihi, dan yang terpenting: diri sendiri. Maaf kalau aku selalu mengecewakan walau seantero nadi dan saraf tak pernah ingin demikian. Kebodohan terlebih kepintaranku yang selalu menghancurkan semua. Maaf.

Bayangkan orang yang pernah mengasihi, memberi cinta tanpa pamrih dan kandas dibutakan entah karena apa yang ada dalam diri. Melihatnya begitu cemerlang dilahap waktu yang sebenarnya memancarkan kebahagiaan penuh. Senyum berseri dengan sedikit air yang membasahi wajah kagumnya. Soal bodoh yang terus menjadi gurauan walau tahu memang seyogianya bukan salah siapa. Namun, cukup menampar, menendang kesalahan, sedikit atau banyak yang terhempas.

Harapan tinggi untukmu, sepertinya harus dikandaskan pelan. Layaknya keyakinan yang tumbuh perlahan, kepercayaan yang dirajut satu per satu. Namun, belajar menerima itu tak pernah mudah. Bagiku. Entah baginya. Atau untuk kamu. Nanti-nanti pun akan timbul hasrat konyol dari hasil candaan dan kedok untuk menghibur orang dan diri, bahwa kamu memang tak pernah mudah dilupakan. Terlanjur mengisi hari yang kebetulan sudah hancur lebur berantakan amburadul dahsyat tak keruan. Maaf juga untuk itu. Maaf untuk kelabilan dan ketidakjelasan yang muncul spontan dari alam sadar manusia setengah monster ini.

Jika memang, sekali lagi, kamu memang kesempatan satu-satunya untuk bisa bahagia. Terima kasih. Sudah memberi kesempatan. Sudah memberi kesempatan bagi anak yang selalu mau berjuang berkorban berusaha walau tak diberi kesempatan. Terima kasih sudah memberi kesempatan yang sepertinya aku akan menolak menerimanya. Mungkin karena kamu terlalu baik (memang omong kosong dan basi, aku tahu, tapi mungkin saja benar), atau aku yang tidak cukup siap dan mampu menerima kebahagiaan macam itu lagi. Lebih baik berlatih menjadi bahagia dalam sengsara. Setidaknya aku tak mengganggu kamu, manis. Aku tak masuk dan mengganggu ritme hidupmu yang kuanggap sempurna. Ya, anggap saja seperti itu. Doaku juga barangkali. Tak ingin menambah pikiranmu disela kesibukan pelajaran yang kutahu otakku takkan mampu menampungnya.

Terima kasih sudah hadir sebentar, sudah singgah sekejap sebelum kita menghilang dan kembali ke kehidupan masing-masing. Mungkin saja kita takkan pernah menjamah lagi. Atau sekedar bertemu di situasi yang entah di mana dan kapan.

Untukmu, selamat kembali berbahagia. Hidupmu (barangkali) sempurna. Turut berbahagia. Turut bersuka cita. Turut senang. Entah ini tahap melepas atau apa, atau entah aku ini sedang berpikir apa, entah aku makhluk macam apa yang berperang melawan diri sendiri. Boleh sebut aneh. Tapi, yang ingin kutahu, selalu. Bila nanti kita bertemu lagi, aku mau senyum itu masih sama saat pertama kita bersua. Tetap sama. Tetap sama hangatnya. 

Kamis, 11 November 2021

Berkelana ke Ketidakterbatas

Semalam suntuk. Selamat kantuk. Kupikir sedikit menulis bisa sedikit membantuku tidur. Kata dosenku tadi pagi menulis itu harus dilatih. Kata orang-orang menulis juga bisa membantu menjelaskan isi hati. Kataku semuanya seperti sampah, tai busuk yang dibiarkan berlalu, selanjutnya disantap orang-orang yang bertanya hanya untuk mencari tahu. Membicarakan yang sudah-sudah, yang ingin disudahi. Menganggapnya lelucon tanpa mengerti tak semua hal itu lucu dan mengundang tawa yang tak semu, padahal semua tai kucing. Berbicara tentang seseorang tapi yang diajak bicara adalah teman dari seseorang itu, yang tahu betapa brengseknya dunia ini dibuat olehnya, tapi masih tetap saja dibela, dicari pembenarannya, dan lagi-lagi tertawa atasnya. Memangnya aku pernah menertawai kamu saat kamu marah dan sedih oleh apa yang sanggup dan mampu membuatmu bersedih begitu baiknya? Kalian masih saja tertawa.

Dulu aku cinta apa yang disebut "Garut" dalam peta. Dua kali kutancapkan kaki dan dengan banyak cerita aku menikmati alamnya. Sampai teman sekarat, bertemu babi galak, menyaksikan kucing hutan. Tapi, sekarang rasa-rasanya Garut tak semenyenangkan itu. Garut berubah jadi mimpi buruk yang selamanya akan terus diingat, diingat, dan teringat. Aku yakin, ada yang membaca ini pun masih tertawa mendengar kata "Garut". Ya, memang aku juga sering bergurau soal kota ini, pikirku untuk meredakan nyeri. Eh, malah jadi lelucon yang disangka semua orang mereka berhak dan enteng saja menganggap ini hanya guyon sampah ala tiktok. 

Dan kenapa? Kenapa mereka dengan entengnya tertawa dan guyon padahal, mereka masih punya hubungan dekat dengannya? Ya, kenapa? Kenapa harus kawan-kawan yang sedari dulu dekat denganku masih bersikap netral padahal teman atau diri sendiri masih berhubungan baik dengannya? Setelah semua ini, gemerlap kota, dingin angin, duduk berdua, perjalanan jauh, seakan masih saja mereka membenarkan perbuatannya dengan masih setia berteman atau bahkan masih nongkrong bareng(?) Ya Tuhan, kau ciptakan dunia begitu nerakanya kini? Ya terus harus bagaimana? Berpura-pura tidak terjadi apa-apa? Menerima? Membiarkannya menang atas kebrengsekkannya? Ya Tuhan... Kau ciptakan monster atau memang merekalah yang monster hanya saja bersembunyi dibalik kata support dan dukungan palsu.

Begini, untukmu. Setidaknya kalau mau renggut kepercayaan dan kebahagiaan punyaku, silakan. Tapi gak pernah aku minta kamu merenggut teman-temanku, hidupku. Terus yang tersisa apa? Tai kucing? Ya, apa boleh buat, semuanya sudah direnggut. Teman masih bertahan dikala tahu betapa anjingnya dirimu, popularitas masih mengambang, you have a fucking perfect life, dude.

Tuh, sudah. Sudah kujalankan saran dosenku tadi pagi untuk menulis, atau nasihat bacot orang-orang yang katanya menulis melunturkan luka. Bacot. Gak semua yang mendengar juga mengerti. Semua orang juga punya masalah dan traumanya masing-masing. Aku mengerti. Yang gak aku mengerti kenapa, sekali lagi, kenapa kehidupan punyaku diambil juga? Haha.

Yasudah. Gak bisa buat apa-apa juga. Kamar sepi, hidup sok ramai. Lebih baik tidur. Karena terjaga atau tidak, keadaan akan tetap sama-sama brengseknya. Hidup atau dalam tidur teman akan selalu membela temannyaromantisasi pertemanan yang memuakkan. Lelucon atau tidak, cerita tetap saja menjadi santapan guyonan harian mereka yang di belakang tetap nongkrong, atau punya teman yang tetap nongkrong dengannya. Tertanda kepada semua yang punya banyak wajah, rispek besar.