Kamis, 11 November 2021

Berkelana ke Ketidakterbatas

Semalam suntuk. Selamat kantuk. Kupikir sedikit menulis bisa sedikit membantuku tidur. Kata dosenku tadi pagi menulis itu harus dilatih. Kata orang-orang menulis juga bisa membantu menjelaskan isi hati. Kataku semuanya seperti sampah, tai busuk yang dibiarkan berlalu, selanjutnya disantap orang-orang yang bertanya hanya untuk mencari tahu. Membicarakan yang sudah-sudah, yang ingin disudahi. Menganggapnya lelucon tanpa mengerti tak semua hal itu lucu dan mengundang tawa yang tak semu, padahal semua tai kucing. Berbicara tentang seseorang tapi yang diajak bicara adalah teman dari seseorang itu, yang tahu betapa brengseknya dunia ini dibuat olehnya, tapi masih tetap saja dibela, dicari pembenarannya, dan lagi-lagi tertawa atasnya. Memangnya aku pernah menertawai kamu saat kamu marah dan sedih oleh apa yang sanggup dan mampu membuatmu bersedih begitu baiknya? Kalian masih saja tertawa.

Dulu aku cinta apa yang disebut "Garut" dalam peta. Dua kali kutancapkan kaki dan dengan banyak cerita aku menikmati alamnya. Sampai teman sekarat, bertemu babi galak, menyaksikan kucing hutan. Tapi, sekarang rasa-rasanya Garut tak semenyenangkan itu. Garut berubah jadi mimpi buruk yang selamanya akan terus diingat, diingat, dan teringat. Aku yakin, ada yang membaca ini pun masih tertawa mendengar kata "Garut". Ya, memang aku juga sering bergurau soal kota ini, pikirku untuk meredakan nyeri. Eh, malah jadi lelucon yang disangka semua orang mereka berhak dan enteng saja menganggap ini hanya guyon sampah ala tiktok. 

Dan kenapa? Kenapa mereka dengan entengnya tertawa dan guyon padahal, mereka masih punya hubungan dekat dengannya? Ya, kenapa? Kenapa harus kawan-kawan yang sedari dulu dekat denganku masih bersikap netral padahal teman atau diri sendiri masih berhubungan baik dengannya? Setelah semua ini, gemerlap kota, dingin angin, duduk berdua, perjalanan jauh, seakan masih saja mereka membenarkan perbuatannya dengan masih setia berteman atau bahkan masih nongkrong bareng(?) Ya Tuhan, kau ciptakan dunia begitu nerakanya kini? Ya terus harus bagaimana? Berpura-pura tidak terjadi apa-apa? Menerima? Membiarkannya menang atas kebrengsekkannya? Ya Tuhan... Kau ciptakan monster atau memang merekalah yang monster hanya saja bersembunyi dibalik kata support dan dukungan palsu.

Begini, untukmu. Setidaknya kalau mau renggut kepercayaan dan kebahagiaan punyaku, silakan. Tapi gak pernah aku minta kamu merenggut teman-temanku, hidupku. Terus yang tersisa apa? Tai kucing? Ya, apa boleh buat, semuanya sudah direnggut. Teman masih bertahan dikala tahu betapa anjingnya dirimu, popularitas masih mengambang, you have a fucking perfect life, dude.

Tuh, sudah. Sudah kujalankan saran dosenku tadi pagi untuk menulis, atau nasihat bacot orang-orang yang katanya menulis melunturkan luka. Bacot. Gak semua yang mendengar juga mengerti. Semua orang juga punya masalah dan traumanya masing-masing. Aku mengerti. Yang gak aku mengerti kenapa, sekali lagi, kenapa kehidupan punyaku diambil juga? Haha.

Yasudah. Gak bisa buat apa-apa juga. Kamar sepi, hidup sok ramai. Lebih baik tidur. Karena terjaga atau tidak, keadaan akan tetap sama-sama brengseknya. Hidup atau dalam tidur teman akan selalu membela temannyaromantisasi pertemanan yang memuakkan. Lelucon atau tidak, cerita tetap saja menjadi santapan guyonan harian mereka yang di belakang tetap nongkrong, atau punya teman yang tetap nongkrong dengannya. Tertanda kepada semua yang punya banyak wajah, rispek besar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar