Bila memuja kepada objek yang diam dan tak pernah berbalas itukah berhala?
Bila ranum wajah disuguhkan untuk sekedar melahirkan pujian yang takkan berbalas itukah berhala? Bila kuhabiskan masa-masa diamku untuk melamun sembari berdoa akan keabadianmu adalah salah satu bentuk berhala?
Kamu adalah senja yang telat mengucap sumpah dan pagi yang tak lelah membuncah. Mengagumimu layaknya api dibakar dalam air, sirna secepat-cepatnya. Aku mencintai sepasrahnya, kau tak peduli sepenuhnya. Kau adalah insan yang terpejam, kembali saat fajar sudah memburam, hari sampai kapanpun adalah hari-hari besarmu yang karam.
Ketahuilah, jika hari cerah mendadak mendung, itu adalah ulahmu. Yang tak puas tertawa dan bergurau bersama pipimu yang tengah berbahagia. Langit kini ada di paruh wajahmu. Aku laut berparuh merah, biruku telah kau ambil tepat sesudah engsel pintu bergerak karena gagang kau tarik dengan tarikan jari lunglai. Aku tak habis lalai, memujamu yang sudah terlambat tapi tetap santai.
Padamu, aku memuja. Inginnya begitu, tapi aku beragama. Kau tak pernah membalas, berarti berhala. Seberapapun untaian kata, puluhan sajak, ratusan sabda, ribuan nestapa, bahkan jutaan aksara, jika tak terbalas tetaplah berhala. Maka dosa yang telah kuperbuat adalah memujamu, memuji, menikmati parasmu dan bersenyum sunyi di antara tawa ramai.
Biarlah satu dosa ini saja yang akan terus kulakukan; memandangmu dari titik sudut terjauh ruangan. Meneguk nestapa yang coba kau titipkan. Mengelus manja pertanyaan ambigu yang kau lontarkan. Menepis pilu hanya untuk melihat senyum itu mengembang secara utuh. Siap kalah juga berdarah, asalkan dukamu luruh. Senantiasa menjemputmu kala senja mulai lusuh.
Dengar, aku jatuh cinta. Senja kurasa tak pernah membuatku segila ini. Malam tak pernah menghantam sedingin besi. Setelah yang lalu, kusimpan senyummu dalam hati. Yang kuharap kau tak pernah tahu. Tak perlu, doa itu urusanku dengan penciptamu. Tugasmu hanya perlu hidup, sehat, dan tak lupa menggosok rambutmu yang parau. Kehidupanmu merupakan anugerah semesta yang tak terungkap. Meski batin serasa senyap dikarenakan ego yang menjelma kepulan asap.
Puan, senja tepat berada di matamu. Jadi, esok bisa kan kulihat lagi? Tak perlu mendaki ke puncak semesta untuk melihat ufuk cakrawala. Bila semua keindahan dunia sudah ada di satu jiwa. Semua asa dan keluh kesah sudah hilang dari peradaban. Luka sudah lupa untuk sedu sedan. Mencoba menghentikan waktu agar terjebak selamanya dalam persandiwaraan. Puisi heroik dan drama yang amat lama penuh kesan. Tumpukan perasaan yang hanya bisa diterjemahkan kata dan barisan.
Simpan kantukmu rapat-rapat, iris alismu sesaat, pejam matamu bila tiba saat. Tidurlah, hari terlalu panjang untuk kau sesalkan, terlalu singkat untuk kau rasakan. Mulai saat ini, aku hambamu. Aku yang akan selalu memujamu. Meski tiada tahu dan aku tak mau menahu. Biar semua seperti yang sudah-sudah; jatuh, tersungkur, bangkit perlahan, luka mulai melahan. Biar jiwaku kuat oleh deras siksaan. Senyap anggun berirama dalam satu makna yang tak bisa dilampiaskan.
Bila memuja kepada objek yang diam dan tak pernah berbalas itukah berhala?
Kau tak diam, hanya tak tahu. Hanya saja semesta dan aku telah memutuskan bahwa mulai detik ini semuanya mesti dijalani hati-hati; kau tak perlu tahu. Tugasmu hanyalah: jangan pernah bersedih lagi.
-Uyyi, Penghujung April yang Ramah