Selasa, 30 April 2019

Memuja Berhala

  Bila memuja kepada objek yang diam dan tak pernah berbalas itukah berhala?
Bila ranum wajah disuguhkan untuk sekedar melahirkan pujian yang takkan berbalas itukah berhala? Bila kuhabiskan masa-masa diamku untuk melamun sembari berdoa akan keabadianmu adalah salah satu bentuk berhala?

  Kamu adalah senja yang telat mengucap sumpah dan pagi yang tak lelah membuncah. Mengagumimu layaknya api dibakar dalam air, sirna secepat-cepatnya. Aku mencintai sepasrahnya, kau tak peduli sepenuhnya. Kau adalah insan yang terpejam, kembali saat fajar sudah memburam, hari sampai kapanpun adalah hari-hari besarmu yang karam.

  Ketahuilah, jika hari cerah mendadak mendung, itu adalah ulahmu. Yang tak puas tertawa dan bergurau bersama pipimu yang tengah berbahagia. Langit kini ada di paruh wajahmu. Aku laut berparuh merah, biruku telah kau ambil tepat sesudah engsel pintu bergerak karena gagang kau tarik dengan tarikan jari lunglai. Aku tak habis lalai, memujamu yang sudah terlambat tapi tetap santai. 

  Padamu, aku memuja. Inginnya begitu, tapi aku beragama. Kau tak pernah membalas, berarti berhala. Seberapapun untaian kata, puluhan sajak, ratusan sabda, ribuan nestapa, bahkan jutaan aksara, jika tak terbalas tetaplah berhala. Maka dosa yang telah kuperbuat adalah memujamu, memuji, menikmati parasmu dan bersenyum sunyi di antara tawa ramai. 

  Biarlah satu dosa ini saja yang akan terus kulakukan; memandangmu dari titik sudut terjauh ruangan. Meneguk nestapa yang coba kau titipkan. Mengelus manja pertanyaan ambigu yang kau lontarkan. Menepis pilu hanya untuk melihat senyum itu mengembang secara utuh. Siap kalah juga berdarah, asalkan dukamu luruh. Senantiasa menjemputmu kala senja mulai lusuh.

  Dengar, aku jatuh cinta. Senja kurasa tak pernah membuatku segila ini. Malam tak pernah menghantam sedingin besi. Setelah yang lalu, kusimpan senyummu dalam hati. Yang kuharap kau tak pernah tahu. Tak perlu, doa itu urusanku dengan penciptamu. Tugasmu hanya perlu hidup, sehat, dan tak lupa menggosok rambutmu yang parau. Kehidupanmu merupakan anugerah semesta yang tak terungkap. Meski batin serasa senyap dikarenakan ego yang menjelma kepulan asap.

  Puan, senja tepat berada di matamu. Jadi, esok bisa kan kulihat lagi? Tak perlu mendaki ke puncak semesta untuk melihat ufuk cakrawala. Bila semua keindahan dunia sudah ada di satu jiwa. Semua asa dan keluh kesah sudah hilang dari peradaban. Luka sudah lupa untuk sedu sedan. Mencoba menghentikan waktu agar terjebak selamanya dalam persandiwaraan. Puisi heroik dan drama yang amat lama penuh kesan. Tumpukan perasaan yang hanya bisa diterjemahkan kata dan barisan.

  Simpan kantukmu rapat-rapat, iris alismu sesaat, pejam matamu bila tiba saat. Tidurlah, hari terlalu panjang untuk kau sesalkan, terlalu singkat untuk kau rasakan. Mulai saat ini, aku hambamu. Aku yang akan selalu memujamu. Meski tiada tahu dan aku tak mau menahu. Biar semua seperti yang sudah-sudah; jatuh, tersungkur, bangkit perlahan, luka mulai melahan. Biar jiwaku kuat oleh deras siksaan. Senyap anggun berirama dalam satu makna yang tak bisa dilampiaskan.

  Bila memuja kepada objek yang diam dan tak pernah berbalas itukah berhala?
Kau tak diam, hanya tak tahu. Hanya saja semesta dan aku telah memutuskan bahwa mulai detik ini semuanya mesti dijalani hati-hati; kau tak perlu tahu. Tugasmu hanyalah: jangan pernah bersedih lagi.


-Uyyi, Penghujung April yang Ramah

Kamis, 25 April 2019

Nona Tak Kasat Mata


Membuatmu mencintaiku dan membuatmu
jatuh cinta padaku adalah suatu hal yang 
berbeda
Tak habis beranda dicicipi untuk tahu
apakah hatimu ada palangnya atau tidak
Atau barangkali kemauan Belanda atau 
Pribumi atau Indo yang pernah berkuasa
Tapi cinta, adalah tahta yang tak pernah
bisa digertak

Aku telah dijajah
Terhasut juga terjamah
Oleh jari lengkingmu yang lemah
Membuat sekujur tubuh menjadi selalu ingin
lelah

Padamu, ketidaktahuan dan ketidaknyataan,
aku mengharapkan imbalan
Sebagai bukti dan cintaku padamu, bahkan
seorang budak belian
Hancurkan aku kelak dalam drama bertajuk
persandiwaraan 

Aku cinta padamu yang tak pernah nyata
dalam wujud
Sekalipun aku menengadah sambil bersujud
Kau tak pernah menjadi nyata sebagaimana
aku ada
Bilamana tempat itu adalah surga, yang 
pasti nyata

Nonaku, manisku, senjaku, atau apapun
nanti aku akan memanggilmu lirih
Engkau mungkin duka bahkan suka yang
paling perih
Di antara semua pilihan yang bisa aku pilih,
Silih berganti bagai kapas yang terbang
bebas lalu tertindih

Hatiku belum mati, tapi telah membusuk
Sejak terakhir kali senjaku muncul di
pelupuk wajah kuningku
Dan nampak secercah cahaya berkelip di
keningmu
Jiwa raga, cinta, cobalah merasuk

Aku ingin bisa menjatuhkan diriku sendiri
agar bisa mencintaimu
Tapi tak bisa, bagaimana bisa aku mencinta
yang tak ada?
Mungkin, tak terlihat, bukan tak nyata
Lalu kapan dirimu akan nampak seperti
yang dulu-dulu?

Aku harap hati ini masih bisa bertahan 
sedikit lagi
Bertahanlah, aku segera tiba
Atau kau yang sedang mengupayakan
perjamuan kita
Agar kembali lagi selimut tebal menyelimuti
hati

Hatiku yang merah, dan harimu yang mulai
saat itu akan cerah.


-Uyyi, 11 April 2019

Senin, 22 April 2019

Kisah Penutup Masa Sekolah

Assalamu'alaikum Wr. Wb.

  Graduation, Prom Night. Riuh suara bergema saling mengucap selamat kepada sesama. Kegembiraan memuncak, kesedihan mulai menerjemahkan segala. Yang dipuja, mencinta juga. Yang dikasihi, memuji jua. Yang diajak berdansa, menari dengan anggunnya. Yang tak merasakan semuanya, hanya duduk sambil tertawa.

  Masa SMA atau sekolah, kata orang memang masa terindah dalam hidup, benarkah? Apakah kata itu hanya ditujukan pada anak-anak normal yang masih bersedia bersembunyi di balik ketiak ibunya sembari menunggu perayaan yang telah lama dinanti. Apa daya bagi pengelana? Rumah saja hampir saja tak terlihat melintas di alam khayal, bagaimana dengan sekolah, pesta dan perayaan? Tak berlakukah bagi orang-orang itu merasakan untuk sekali saja dalam hidupnya, yang mana tahu esok sudah mati. Hidup ini singkat, namun penuh sekat. Yang disadari hampir saja tak tahu diri. Bagi sebagian orang (normal) masa sekolah adalah hal singkat manis penuh cerita. Bagi sebagian lain adalah meneguk pil pahit yang lama kelamaan hilang sendiri rasa pahit itu.

  Teman, salah satu pilar penting dalam hidup masing-masing dari kita. Semua sirna ketika gengsi dan kelupaan mulai berkenalan dengan masing-masing kita. Yang ada akhirnya cuma diri sendiri untuk mencairkan segalanya sebagai sendu. Kita semua punya kawan dan wajib dan juga butuh, tapi bergantung tak pernah jadi suatu alasan yang baik. Bergantung itu bagai mendamba bulan di siang bolong. Bagai mencium langit yang sedang muram. Bagai memahat suka di jiwa yang hangus. Mereka sedang asyik berpesta pora, merayakan kegagalan ataupun kemenangan mereka, bersama. Mencumbu rindu untuk siap dilepas, mengembangkan senyum terakhir yang terindah dan melupakan semua yang sudah pastinya terlupakan. Lalu, buat apa bertahan di keterasingan? bila nyatanya di tempat asing tak merasa terasingkan. Yang bahagia yang melepas, yang tersiksa yang memaksa kehendak. Kebahagiaan itu menular, tapi tidak dengan nestapa. Selamat lulus, manusia 2019.

  Tak ada yang kuinginkan selain segera berakhirnya masa-masa ini. Malahan berharap tak pernah ada di fase ini. Sungguh ironi. Tak bisa rasa-rasanya kita melompati fase hidup di mana kita berharap seolah tak terjadi apa-apa. Konyol sekali, malahan seperti harus kembali menelan pil pahit yang mulai memahit karena terbiasa oleh manisnya hidup. Kelemahan tak boleh lahir lagi, tak ada tempat untuk cengeng, menyesali atau mengutuk. Percuma, sia-sia belaka. Merekapun takkan menggubris, kelemahanmu sendiri yang akan mereka tertawakan. Benarkah aku tak pantas? tak berhak menerima kebahagiaan macam itu? di antara banyak yang menginginkan hal-hal macam itu, ada saja manusia yang tak bersyukur kepada hidup bahagianya yang sempurna. Apa lagi yang diinginkan seorang bocah remaja selain pesta, riuh, pasangan, kawan sepermainan, haru, tangis, kelulusan? Apa lagi? sehina itukah sampai orang lain tak menginginkan hal yang malah seorang asing berharap merasakannya sedikit, secuil saja?

  Apa pula arti perpisahan jika kami sendiri tak mengenal kesan pertemuan? Hanya melintas sejenak dan bertukar senyum lalu pergi lagi entah kemana. Buat apa berpisah bila di hidup masing-masing saja tak saling mengisi, tak saling mengusik. Apa arti jabatan tangan bila hanya meneteskan dosa saja, tak lebih dari budaya dan adat leluhur. Apa guna bertemu, jika jemu selalu semu. Hidup sendiri mustahil? jangan bercanda kawan, kehampaan sudah terbungkus rapi, keheningan sudah menjadi hal pertama di pagi hari yang selalu dikenakan. Jadi, kesendirian tak pernah mampu menyiksa iman, karena terbiasa dan biasa. Pengharapanlah yang keji, sekeji-kejinya keji. Ia menarik, pandai menipu dan kejam.

  Terima kasih apapun itu, untuk pengalaman yang berliku dan paling tak mengesankan. Bohong cuma untuk pengecut, jadi terima kasih. Tapi tetap, aku senang menjadi seperti ini. Makin kuat aku, menghadapi pahit yang selalu kuteguk tiap hari; kopi robusta yang keras. Berbahagialah, ini kelulusan, ini kebebasan. Bersukacitalah, tak ada yang perlu disedihkan. Tak ada yang perlu dikecewakan. Tuhan tahu mana jalan yang benar. Tugas kita hanya tersesat dan berusaha mencari jalan. Mencari dan berusaha. Mengupayakan yang lebih baik dan yang jauh lebih baik. Menjahit tragedi menjadi presipitasi suka. Membuka mata selebar-lebarnya, hadapi anak muda. Jalan masih panjang, pahit masih terus tertuang.

  Sampai nanti, sampai yang dinanti tiba. Berjuang dan berlelah payah tak pernah menjadi hal yang tak berguna, percaya saja. Senjaku tiba, senjamu entahlah, semoga saja tak redup. Pagi, selalu memberi arti. Perjalanan selalu menggugah hati. Dan teruntuk yang datang dan pergi pada masa sekolahku, terima kasihku tak terhingga. Biar kita menjadi asing dan bertarung dalam hidup masing-masing. Graduation, Prom Night, kelulusan, berbahagialah. Kalian pantas berbahagia, tentunya aku juga tak kalah bahagia.


Wassalamu'alaikum Wr. Wb.