Assalamu'alaikum Wr. Wb.
Graduation, Prom Night. Riuh suara bergema saling mengucap selamat kepada sesama. Kegembiraan memuncak, kesedihan mulai menerjemahkan segala. Yang dipuja, mencinta juga. Yang dikasihi, memuji jua. Yang diajak berdansa, menari dengan anggunnya. Yang tak merasakan semuanya, hanya duduk sambil tertawa.
Masa SMA atau sekolah, kata orang memang masa terindah dalam hidup, benarkah? Apakah kata itu hanya ditujukan pada anak-anak normal yang masih bersedia bersembunyi di balik ketiak ibunya sembari menunggu perayaan yang telah lama dinanti. Apa daya bagi pengelana? Rumah saja hampir saja tak terlihat melintas di alam khayal, bagaimana dengan sekolah, pesta dan perayaan? Tak berlakukah bagi orang-orang itu merasakan untuk sekali saja dalam hidupnya, yang mana tahu esok sudah mati. Hidup ini singkat, namun penuh sekat. Yang disadari hampir saja tak tahu diri. Bagi sebagian orang (normal) masa sekolah adalah hal singkat manis penuh cerita. Bagi sebagian lain adalah meneguk pil pahit yang lama kelamaan hilang sendiri rasa pahit itu.
Teman, salah satu pilar penting dalam hidup masing-masing dari kita. Semua sirna ketika gengsi dan kelupaan mulai berkenalan dengan masing-masing kita. Yang ada akhirnya cuma diri sendiri untuk mencairkan segalanya sebagai sendu. Kita semua punya kawan dan wajib dan juga butuh, tapi bergantung tak pernah jadi suatu alasan yang baik. Bergantung itu bagai mendamba bulan di siang bolong. Bagai mencium langit yang sedang muram. Bagai memahat suka di jiwa yang hangus. Mereka sedang asyik berpesta pora, merayakan kegagalan ataupun kemenangan mereka, bersama. Mencumbu rindu untuk siap dilepas, mengembangkan senyum terakhir yang terindah dan melupakan semua yang sudah pastinya terlupakan. Lalu, buat apa bertahan di keterasingan? bila nyatanya di tempat asing tak merasa terasingkan. Yang bahagia yang melepas, yang tersiksa yang memaksa kehendak. Kebahagiaan itu menular, tapi tidak dengan nestapa. Selamat lulus, manusia 2019.
Tak ada yang kuinginkan selain segera berakhirnya masa-masa ini. Malahan berharap tak pernah ada di fase ini. Sungguh ironi. Tak bisa rasa-rasanya kita melompati fase hidup di mana kita berharap seolah tak terjadi apa-apa. Konyol sekali, malahan seperti harus kembali menelan pil pahit yang mulai memahit karena terbiasa oleh manisnya hidup. Kelemahan tak boleh lahir lagi, tak ada tempat untuk cengeng, menyesali atau mengutuk. Percuma, sia-sia belaka. Merekapun takkan menggubris, kelemahanmu sendiri yang akan mereka tertawakan. Benarkah aku tak pantas? tak berhak menerima kebahagiaan macam itu? di antara banyak yang menginginkan hal-hal macam itu, ada saja manusia yang tak bersyukur kepada hidup bahagianya yang sempurna. Apa lagi yang diinginkan seorang bocah remaja selain pesta, riuh, pasangan, kawan sepermainan, haru, tangis, kelulusan? Apa lagi? sehina itukah sampai orang lain tak menginginkan hal yang malah seorang asing berharap merasakannya sedikit, secuil saja?
Apa pula arti perpisahan jika kami sendiri tak mengenal kesan pertemuan? Hanya melintas sejenak dan bertukar senyum lalu pergi lagi entah kemana. Buat apa berpisah bila di hidup masing-masing saja tak saling mengisi, tak saling mengusik. Apa arti jabatan tangan bila hanya meneteskan dosa saja, tak lebih dari budaya dan adat leluhur. Apa guna bertemu, jika jemu selalu semu. Hidup sendiri mustahil? jangan bercanda kawan, kehampaan sudah terbungkus rapi, keheningan sudah menjadi hal pertama di pagi hari yang selalu dikenakan. Jadi, kesendirian tak pernah mampu menyiksa iman, karena terbiasa dan biasa. Pengharapanlah yang keji, sekeji-kejinya keji. Ia menarik, pandai menipu dan kejam.
Terima kasih apapun itu, untuk pengalaman yang berliku dan paling tak mengesankan. Bohong cuma untuk pengecut, jadi terima kasih. Tapi tetap, aku senang menjadi seperti ini. Makin kuat aku, menghadapi pahit yang selalu kuteguk tiap hari; kopi robusta yang keras. Berbahagialah, ini kelulusan, ini kebebasan. Bersukacitalah, tak ada yang perlu disedihkan. Tak ada yang perlu dikecewakan. Tuhan tahu mana jalan yang benar. Tugas kita hanya tersesat dan berusaha mencari jalan. Mencari dan berusaha. Mengupayakan yang lebih baik dan yang jauh lebih baik. Menjahit tragedi menjadi presipitasi suka. Membuka mata selebar-lebarnya, hadapi anak muda. Jalan masih panjang, pahit masih terus tertuang.
Sampai nanti, sampai yang dinanti tiba. Berjuang dan berlelah payah tak pernah menjadi hal yang tak berguna, percaya saja. Senjaku tiba, senjamu entahlah, semoga saja tak redup. Pagi, selalu memberi arti. Perjalanan selalu menggugah hati. Dan teruntuk yang datang dan pergi pada masa sekolahku, terima kasihku tak terhingga. Biar kita menjadi asing dan bertarung dalam hidup masing-masing. Graduation, Prom Night, kelulusan, berbahagialah. Kalian pantas berbahagia, tentunya aku juga tak kalah bahagia.
Wassalamu'alaikum Wr. Wb.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar