Jumat, 19 Juli 2019

Sajak Puan


Untuk apa Puan?
Punya wajah yang lugu tapi hatimu rancu
Buat apa Puan?
Menebar senyum tapi namamu tak harum

Untuk siapa Puan?
Jiwa raga kasih hatimu juga sedu sedan itu
kau persembahkan
Siapa pula Puan?
Siapa yang lebih bisa menerima itu semua
tanpa terkecuali dan tak dikecualikan selain
dan yang lain daripada aku?

Sekali lagi, untuk apa Puan?
Untuk apa?
Kau bersusah payah berdarah bernanah
gerah dengan semua yang kebas di 
kepalamu sementara orang paling tepat tak
lain tak bukan tak keliru jelas terpampang di
retina matamu;
Aku.


-Uyyi, 18 Juli 2019

Rabu, 17 Juli 2019

Melawan Nostalgi(l)a

  Mengingat adalah pil penuh rasa dan emosi di dalamnya. Mengingatmu, manis yang sedikit lalu pahit menebar sampai habis menggerogoti tenggorokan. Cerita tentangmu, Adinda, mengundang suka yang merebah, juga duka yang menggugah. Hati terlampau pedih tapi rasa-rasanya mengingatmu adalah candu. Menerima saja apa yang sekiranya telah berapi-api padam, yang tak terungkapkan terpendam, yang terlampau pedih hingga tak tahu pagi malam, yang semula jelas mendadak jadi buram. Mengingatmu, Adinda, menyambut hari-hari yang suram.

  Tahukah kau gerangan Bunga yang mekar merekah? Satu hari tak memikirkanmu adalah anugerah dalam hidupku yang masih saja sekeras hati kuusahakan. Melupakanmu sekejap adalah kemustahilan yang sebenarnya tidak mustahil bila-- esok ingatanku tiba-tiba hilang. Bila esok tiba-tiba aku mulai terbiasa tak mengingatmu, aku tetiba bisa menganggapmu angin lalu. menganggapmu, Adinda, bingkai berdebu yang tak harus kubersihkan-- gudang bisa jadi tempatmu singgah(?) 

~Dalam dunia lamunan lelucon bisa jadi serius, canda bisa jadi yang sebenar-benarnya.~

  Jujur saja, kau tak pernah jadi awan mendung di hidupku. Hadirmu adalah salah satu momen terindah di hidupku. Kamu, Adinda, yang membuat aku berani bermimpi besar. Kamu, Adinda, yang mampu mendorong aku melampaui ketidakmustahilan. Kamu, yang membuat aku berani mengorbankan apapun demi sesuatu yang ingin kuraih. Kamu, ya kamu, yang membuatku seperti sekarang ini. Adinda, betapa berterimakasih aku padamu atas hadirmu yang entah sengaja entah tidak, entah perlu entah tidak, entah tulus entah tidak, entah lelucon tapi kurasa tidak. 

  Ingatkah? tentu tidak. Semua ucapanmu yang entah serius entah tidak, entah basa-basi entah bukan, entah sadar entah hanya sekenanya, telah membuatku sudah sejauh ini. Sudah amat jauh, jauh sekali, bahkan (rasa-rasanya) terlalu jauh. Dulu denganmu, aku tak percaya apa itu gagal, aku tak takut resiko apapun, aku tak peduli punya mimpi sebesar apa. Tapi, ketika aku benar-benar gagal, di mana kamu, Adinda? Saat kehidupan benar-benar memberi pelajaran yang telak padaku, bahwa kepala harus rasional. Ketika beranjak dewasa, malah semua omonganmu seolah tiba-tiba menyerangku balik. Di mana kamu? Disaat aku masih teguh memegang semua keyakinanku atas kamu Adinda, Adindaku. Tapi tidak, kamu tak pernah jadi milikku, bukan begitu?

  Disaat kini mimpiku sudah tak sama seperti dahulu, disaat aku bukan orang yang sama, apakah kamu tetap yakin pada aku Adinda? Apakah semua ucapan emasmu masih bisa kupegang teguh sekarang? Apakah kamu kecewa? Atau kamu malah senang akhirnya ada satu orang berhasil larut dalam kebohongan terbesarmu. Aku tak marah padamu, aku tak dendam, sama sekali. Hanya saja aku ingin meminta maafmu, itu jika dirasa perlu. Maaf aku gagal, aku tak bisa mewujudkan apa keinginan masa kecilmu padaku. Sepertinya takkan bisa aku berbadan merah merekah dengan putih disela kemegahan hijau yang kau saksikan dari beranda. Atau mungkin, jika terwujud pun kau tak ada di berandamu.

~Dalam dunia lamunan lelucon bisa jadi serius, canda bisa jadi yang sebenar-benarnya.~

   Sudah sampai di mana kita tadi? Oh maaf, Sudah sampai di mana aku tadi? Kegagalanku? Kamu satu-satunya yang bukan kegagalan dalam hidupku yang berhasil membuatku gagal. Tapi tetap, kamu sama sekali bukanlah kegagalan, Adinda. Mungkin saja kamu bayi yang dititipkan semesta dari rahim bidadari yang lugu atau permaisuri yang tak ada tandingan kecantikannya-- makanya kamu cantik. Hidup sudah selama ini, sudah ke mana saja kamu saat tak ada aku? Lebih senang? Lebih bahagia? Semoga. Tanpamu, awalnya aku kehilangan arah, tapi tidak dengan semangat. Kamu telah lama hidup dalam detak jantungku, disetiap engah nafasku, disetiap darah yang memerah saat tengah bertarung dengan angan. Kamu selalu hidup dalam diriku, hingga saat... Arahku tak lagi sama. Saat semua ucapanmu tak lagi berarti. Saat semua yang ingin kupersembahkan kelak, kuhapus dengan pilu dan capaian baru. Maka, selamat tinggal Adinda.

  Tujuan baru, tapi tetap hidupku yang lama, tetap aku yang pernah kau kenal dahulu. Maka sekarang, biarkan aku melawan semua nostalgiaku tentangmu. Aku tak ingin membebanimu lagi, juga memberatkan langkahku, Adindaku, kuharap. Biarkan aku hidup tanpamu meski sudah lama sekali kau tak pernah bersua denganku. Mungkin terakhir kali saat rambutmu masih dikuncir dua. Sudah lama sekali saat mungkin kau tak sengaja mengusap rambut kotorku yang kusut berdebu. Sudah lama sekali tak berbincang mungkin hanya melalui linimasa. Sudah lama sekali. Biarkan aku mencari semangatku yang baru Adinda. Kadaluwarsa, sebut saja begitu.

  Adinda, tapi untuk menghilangkan kamu di batok kepalaku, rasa-rasanya mustahil. Kamu sudah menjadi bagian daging otak yang jika menghapusmu sama saja memotong separuh kepalaku. Biarkan aku jadikan kamu memori, tapi tak lagi menghakimi. Biarkan saja semua seperti seharusnya. Seperti hari-hari biasa kamu tak memikirkanku tapi aku ada di sana. Biarkan semua menjadi normal dan kita (atau lebih tepatnya aku) mulai terbiasa melupakan, mengikhlaskan. Hidup ini singkat, bukan begitu Adindaku yang bukan milikku? Beri kesempatan semesta untuk membuat kejutan, entah aku atau kamu atau kita akan bersua lagi. Tapi itu tak lagi penting. yang terpenting kini, aku melanjutkan hidup tanpamu, kamu yang ada di diriku. Di akhir paragraf ini kutinggalkan kamu bersama semua ucapan tak ternilaimu yang sangat aku cintai, dulu. Barangkali, kini orang lain lebih membutuhkannya daripadaku.

~Dalam dunia lamunan lelucon bisa jadi serius, canda bisa jadi yang sebenar-benarnya. Tapi, di kenyataan pun aku tak pernah tahu apakah ini lelucon atau kesungguhan.~


-Uyyi, Berhasil Melawan Nostalgia.

Rabu, 10 Juli 2019

Contoh Gagal

Assalamu'alaikum Wr. Wb.

  Tabik!


  Sudah lihat kan? Gambar di atas yang buram tapi jelas menggambarkan makna yang timpang. Iya, di sebelah kiriku adalah Misbahul Munir, pemain Barito Putera U18. Gambar itu persis diambil sesaat laga Persib BandungU18 vs Barito Putera U18 dalam event Liga 1 U18. Laga yang dilakoni pada Minggu, 7 Juli 2019 di Stadion Arcamanik merupakan pertemuan kami kembali setelah lama tak bersua. Munir atau biasa kami panggil Ami adalah rekan lamaku bermain sepakbola. Sejak tahun 2014, di mana anak jangkung besar itu pertama kali menjajakan kakinya di lapangan rumput yang sama denganku. Aku ingat betul pertama kali bersua dengannya, seperti bukan atlet sama sekali, tak meyakinkan. Para pelatih pun dulu tak yakin, tapi sangat tertarik kepada postur badannya yang sangat ideal. Benar-benar pertama kalilah aku bertemu dengan Ami di tahun 2014 itu, sudah kurang lebih 5 tahun berselang, kini anak jangkung itu sudah dapat bermain di kasta tertinggi liga Indonesia. Betapa bangganya saat akupun dapat kesempatan menyaksikan ia langsung bermain di lapangan hijau. 

  Semua rasa campur aduk antara senang, bangga, sedih, kecewa, menyesal, geram, lega. Ya, aku bangga sekali karena rekanku dulu, yang kutahu sampai isi otak kampangnya sekarang sudah lebih dulu sukses. Aku sedih, kecewa karena merasakan atmosfer yang dulu pernah kurasakan, saat itu juga mendadak menggebu-gebu. Di mana saat aku masih punya mimpi besar menjadi salah satu anak yang kusaksikan dari tribun atas ini. Di mana laga yang pernah aku janjikan kepada langit yang dulu mungkin saja mulai dikabulkan. Di mana harapanku yang sebesar semburat senja yang hangat tak lagi menghangatkan. Aku sendiri bingung sekali saat itu. Disisi lain aku sangat amat bangga dan senang, disisi lain seperti membuka luka lama, membuka memori buruk masa lalu yang sempat ingin kubuang jauh-jauh. Karena patah hati terhebatku dulu sayangnya bukan dari seorang wanita, tapi dari apa yang (dulunya) paling kucintai dan selalu kusebut dalam doa, sepakbola. Jadi, mana bisa lupa aku atas apa yang pernah merobek jala hati sehingga meninggalkan luka sobek tak terelakkan.

  Melihat Ami memang jauh sekali perkembangannya dari dulu. Mungkin sekarang tak bisa dengan mudah lagi kulewati bahkan kukolongin dia haha, atau bisa kita coba Mi? Rasa-rasanya ia memang pantas berada di sana. Pengorbanan dan perjuangannya pasti tak mudah. Aku tahu karena aku paham betul bagaimana berkorban. Entah memang aku dulu yang lebih giat berlatih atau dia, yang pasti Tuhan sudah punya takdir yang tertuliskan di langit. Ia memang menjadi seperti apa yang sekarang pasti ada sebab dari apa yang ia tanam dahulu. Semua remehan, cemooh, kata-kata yang merendahkan, sakit, pengorbanan, kehilangan waktu remaja, aku juga melaluinya. Hanya saja aku lebih cepat berhenti atau aku sudah tak punya mimpi yang sama lagi atau, aku memang terlahir bukan untuk menjadi pemain bola. Banyak spekulasi banyak pemikiran banyak sebab-akibat. Tapi, yang sudah biar sudah, yang terhenti lanjut kembali, yang terjatuh bangkit lagi.

  "Mi Ami, kalo lu baca ini ya gua jadi nostalgia aja, masa-masa dulu berjuang bareng dari nol. Sama si Ali juga, Athalla juga, di mana semua masih belum jadi apa-apa. Main kemana-mana bareng, bawa GMSA juara, latihan cuma berempat atau berlima juga. Dulu cuy, dulu banget itu, parah gakerasa aja waktu udah cepet bgt. Kite seleksi bareng ke Riau waktu itu gua doang yang lolos dan sekarang lu yang jadi duluan di atas cuy. Seleksi yang mau ke Singapur tapi lu ama Ali gaada paspor jadi gua berangkat sendiri wkwk. Pokoknya gua nikmatin masa-masa kita berjuang dulu, masa-masa kita main bareng dulu, ya entar sih gamps lah main lagi. Intinya keep going forward cuk, ojo kendor!"

  Dan disini kelihatan jelas, Ami sebagai contoh yang (menuju puncak) sukses. Aku? Tiada lain adalah contoh gagalnya. Iya, aku gagal, aku gagal total. Aku memang tak meneruskan mimpiku sejak kecil sekali. Alasan? Ada. Tapi tak usah dan tak perlu kusampaikan. Yang jelas aku, Muhammad Averyl Aziz adalah contoh orang yang gagal. Aku berhenti dan melanjutkan hidupku di dunia yang lain, apa salahnya? Malu? Aku sangat bangga menjadi contoh gagal. Dengar, tak ada gagal yang gagal, semua kegagalan pasti keberhasilan. Aku sendiri sudah berhasil, berhasil menjadi orang gagal dan aku bangga. Aku jadi punya bualan dan bercandaan saat bertemu teman lamaku (apalagi yang gagal juga wkwk). Titik tertinggi dari sebuah kegagalan adalah di mana kita bisa menertawakan kegagalan kita sendiri, tapi setelah itu bangkit dan menyusun rencana lain. Sedih? Untuk apa? Kisah kegagalan sungguh jauh lebih asik ditertawakan bersama teman-teman sambil meneguk kopi yang dingin. Aku bangga gagal agar bisa melihat kawan-kawanku sukses. Aku bangga gagal agar orang lain bisa belajar dariku, dan aku belajar dari keberhasilan orang lain. Sebenarnya kata gagal itu hanyalah bualan. Selama manusia masih hidup, masih bergerak, masih punya akal sehat, gagal itu cuma mitos dan angin lalu. Besok gagal, nanti sukses, atau sebaliknya. Jadi gagal itu tak ada bukan? Hanya diksi saja menurutku.

  Gagal itu kalau perasaan sudah menganggap orang itu sendiri gagal. Walaupun ditinjau dari segi karir atlet dan dikaji dibidang Antropologi, aku memang gagal. Tapi aku biasa saja, tidak merasa gagal sama sekali. Semisal aku orang gagal yang menjadi kisah inspirasi orang lain, apakah aku masih orang gagal? Persetan dengan kata gagal, sungguh memanipulasi dan menyesatkan! Gagal, gagal, gagal... sebaiknya buang jauh-jauh kata sialan itu. Ganti saja dengan "belum berhasil", karena cepat atau lambat hanya masalah waktu, keberhasilan sudah menunggu di garis finish. Tinggal kita mau jalan, berlari, diam, lewat jalan pintas, tersasar, itu pilihan. Dan satu lagi, ukuran kesuksesan atau keberhasilan adalah diri sendiri. Sebanyak apapun rumah atau harta atau popularitas belum tentu sebagai keberhasilan, bisa jadi sebuah kegagalan bila orang itu berpikir demikian. Bisa saja orang sederhana dan tak punya apa-apa tapi merasa bahagia dan merasa hidupnya telah sukses atau berhasil. Who knows? Semuanya tergantung pada jiwa raga dan diri sendiri, pada persepsi dan pola pikir serta menghargai apapun itu usaha yang kita bangun, entah nanti hasilnya apa.


 Jadi, untuk kali ini aku adalah contoh gagal atau selamanya akan dikenal sebagai orang gagal dan aku tak ada masalah sama sekali. Tapi, tunggu sampai orang gagal ini bisa berhasil dan menjadi orang berhasil kelak, di bidang apapun di tempat dan waktu manapun. Sampai nanti aku mendapat predikat menjadi orang yang berhasil. Atau mungkin, orang gagal yang berhasil.


Wassalamu'alaikum Wr. Wb.