Tahukah kau gerangan Bunga yang mekar merekah? Satu hari tak memikirkanmu adalah anugerah dalam hidupku yang masih saja sekeras hati kuusahakan. Melupakanmu sekejap adalah kemustahilan yang sebenarnya tidak mustahil bila-- esok ingatanku tiba-tiba hilang. Bila esok tiba-tiba aku mulai terbiasa tak mengingatmu, aku tetiba bisa menganggapmu angin lalu. menganggapmu, Adinda, bingkai berdebu yang tak harus kubersihkan-- gudang bisa jadi tempatmu singgah(?)
~Dalam dunia lamunan lelucon bisa jadi serius, canda bisa jadi yang sebenar-benarnya.~
Jujur saja, kau tak pernah jadi awan mendung di hidupku. Hadirmu adalah salah satu momen terindah di hidupku. Kamu, Adinda, yang membuat aku berani bermimpi besar. Kamu, Adinda, yang mampu mendorong aku melampaui ketidakmustahilan. Kamu, yang membuat aku berani mengorbankan apapun demi sesuatu yang ingin kuraih. Kamu, ya kamu, yang membuatku seperti sekarang ini. Adinda, betapa berterimakasih aku padamu atas hadirmu yang entah sengaja entah tidak, entah perlu entah tidak, entah tulus entah tidak, entah lelucon tapi kurasa tidak.
Ingatkah? tentu tidak. Semua ucapanmu yang entah serius entah tidak, entah basa-basi entah bukan, entah sadar entah hanya sekenanya, telah membuatku sudah sejauh ini. Sudah amat jauh, jauh sekali, bahkan (rasa-rasanya) terlalu jauh. Dulu denganmu, aku tak percaya apa itu gagal, aku tak takut resiko apapun, aku tak peduli punya mimpi sebesar apa. Tapi, ketika aku benar-benar gagal, di mana kamu, Adinda? Saat kehidupan benar-benar memberi pelajaran yang telak padaku, bahwa kepala harus rasional. Ketika beranjak dewasa, malah semua omonganmu seolah tiba-tiba menyerangku balik. Di mana kamu? Disaat aku masih teguh memegang semua keyakinanku atas kamu Adinda, Adindaku. Tapi tidak, kamu tak pernah jadi milikku, bukan begitu?
Disaat kini mimpiku sudah tak sama seperti dahulu, disaat aku bukan orang yang sama, apakah kamu tetap yakin pada aku Adinda? Apakah semua ucapan emasmu masih bisa kupegang teguh sekarang? Apakah kamu kecewa? Atau kamu malah senang akhirnya ada satu orang berhasil larut dalam kebohongan terbesarmu. Aku tak marah padamu, aku tak dendam, sama sekali. Hanya saja aku ingin meminta maafmu, itu jika dirasa perlu. Maaf aku gagal, aku tak bisa mewujudkan apa keinginan masa kecilmu padaku. Sepertinya takkan bisa aku berbadan merah merekah dengan putih disela kemegahan hijau yang kau saksikan dari beranda. Atau mungkin, jika terwujud pun kau tak ada di berandamu.
~Dalam dunia lamunan lelucon bisa jadi serius, canda bisa jadi yang sebenar-benarnya.~
Sudah sampai di mana kita tadi? Oh maaf, Sudah sampai di mana aku tadi? Kegagalanku? Kamu satu-satunya yang bukan kegagalan dalam hidupku yang berhasil membuatku gagal. Tapi tetap, kamu sama sekali bukanlah kegagalan, Adinda. Mungkin saja kamu bayi yang dititipkan semesta dari rahim bidadari yang lugu atau permaisuri yang tak ada tandingan kecantikannya-- makanya kamu cantik. Hidup sudah selama ini, sudah ke mana saja kamu saat tak ada aku? Lebih senang? Lebih bahagia? Semoga. Tanpamu, awalnya aku kehilangan arah, tapi tidak dengan semangat. Kamu telah lama hidup dalam detak jantungku, disetiap engah nafasku, disetiap darah yang memerah saat tengah bertarung dengan angan. Kamu selalu hidup dalam diriku, hingga saat... Arahku tak lagi sama. Saat semua ucapanmu tak lagi berarti. Saat semua yang ingin kupersembahkan kelak, kuhapus dengan pilu dan capaian baru. Maka, selamat tinggal Adinda.
Tujuan baru, tapi tetap hidupku yang lama, tetap aku yang pernah kau kenal dahulu. Maka sekarang, biarkan aku melawan semua nostalgiaku tentangmu. Aku tak ingin membebanimu lagi, juga memberatkan langkahku, Adindaku, kuharap. Biarkan aku hidup tanpamu meski sudah lama sekali kau tak pernah bersua denganku. Mungkin terakhir kali saat rambutmu masih dikuncir dua. Sudah lama sekali saat mungkin kau tak sengaja mengusap rambut kotorku yang kusut berdebu. Sudah lama sekali tak berbincang mungkin hanya melalui linimasa. Sudah lama sekali. Biarkan aku mencari semangatku yang baru Adinda. Kadaluwarsa, sebut saja begitu.
Adinda, tapi untuk menghilangkan kamu di batok kepalaku, rasa-rasanya mustahil. Kamu sudah menjadi bagian daging otak yang jika menghapusmu sama saja memotong separuh kepalaku. Biarkan aku jadikan kamu memori, tapi tak lagi menghakimi. Biarkan saja semua seperti seharusnya. Seperti hari-hari biasa kamu tak memikirkanku tapi aku ada di sana. Biarkan semua menjadi normal dan kita (atau lebih tepatnya aku) mulai terbiasa melupakan, mengikhlaskan. Hidup ini singkat, bukan begitu Adindaku yang bukan milikku? Beri kesempatan semesta untuk membuat kejutan, entah aku atau kamu atau kita akan bersua lagi. Tapi itu tak lagi penting. yang terpenting kini, aku melanjutkan hidup tanpamu, kamu yang ada di diriku. Di akhir paragraf ini kutinggalkan kamu bersama semua ucapan tak ternilaimu yang sangat aku cintai, dulu. Barangkali, kini orang lain lebih membutuhkannya daripadaku.
~Dalam dunia lamunan lelucon bisa jadi serius, canda bisa jadi yang sebenar-benarnya. Tapi, di kenyataan pun aku tak pernah tahu apakah ini lelucon atau kesungguhan.~
-Uyyi, Berhasil Melawan Nostalgia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar