Selasa, 05 November 2019

Perihal Menjadi Brengsek adalah Berusaha Menjadi yang Terbaik

  Soal menjadi...

  Soal keinginan, perihal kepala yang berusaha lebih keras untuk mengeras. Mengenai upaya yang dilakukan tak peduli entah apa menjadi suatu kejanggalan. Melakukan demi yang lain, terkasih, namun besar kepala. Lupa ia, lupa ia kepada rumah dan amanah yang ditinggalkan dalam-dalam saat hendak berangkat. "Sukses ya nak!". Sekedar membahas pilu, sudah menjadi yang selalu, soal angan yang tak sampai, tak bisa begitu saja terurai. Lupa ia, kalau menjadi dewasa merupakan pekerjaan seumur hidup. Bego ia, menyepelekan semua atas dasar nafsu atas cinta. Bodoh, gelagat payah sok pahlawan, penuh ketololan dan kemunafikan.

  Jika sudah begini, mau apa? Gila itu kata yang terbesit di kepala manapun. Aku anak kecil yang berlaku dewasa, aku tangan kosong yang menghajar seenaknya, aku si jago merah yang egois melalap segala, aku adalah dasar nafsu yang ingin menelan apa saja. Kebodohan itu murni adalah aku. Perilaku tak pakai pikir matang, keinginan yang semu, tergesa-gesa tak tentu arah, tak sabar menilik rasa, dan yang terparah, obsesi. Ingin kuhapus kepala kosong ini, ingin kulenyapkan tangan yang sudah penuh darah oleh tinta tak berarti, ingin kubakar semua hasrat memiliki namun tak sanggup menanggung perih. Ingin, ingin sekali kuputar, kuulang dari awal semesta berputar pada satu, poros yang selama ini kutahu dan membuatku sehat nan panjang umur. Bukan kesenangan bualan yang perlahan membunuh jua.

  Soal keinginan...

  Keinginan adalah musuh terbesarmu, sudah pernah kubilang rasa-rasanya. Lalu, hendaklah pulang. Hanya rumah tempat semua menjadi seperti sediakala. Hanya pulang yang menyembuhkan yang meradang. Hanya rumah, yang dirasa-rasa amat sederhana, namun tak lekas kehabisan makna. Maka, pulanglah, tak ada guna dan manfaat mencoba dengan egois menjadi yang terbaik, sementara rumah masih saja yang tak bisa kau buat pelik. Buat apa menjadi yang terbaik bila harus membunuh diri sendiri dalam lautan biru yang tak pernah kau kenal bentuk rupanya apalagi namanya. Buat apa merubah diri jadi yang sempurna bila alam semesta mencintai kekuranganmu yang membahagiakan dirimu dan orang lain dan yang lain-lain. Buat apa, buat apa jadi bodoh dengan mencinta secara membabi buta sedangkan yang tak lain tak bukan sesederhana mencintai alasan mengapa kamu sempat dilahirkan di bumi manusia ini.

  Perihal menjadi orang yang brengsek adalah berusaha berlaga menjadi yang terbaik. Dirimu tak pernah hilang dicintai semesta. Tak perlu sedu sedan memikirkan betapa banyak lagi insan tak menginginkan diri itu. Persetan! Bayang semu itu hanya hantu tak tentu, bara sisa api, kayu yang terlanjur jadi abu. Buat apa lagi, hah? Bahagia sederhana, cinta kata yang selalu bekerja, hati tak ingin jadi tempat menabuh sendi kebodohan, akal bosan menjadi sok pintar, jiwa ingin selamanya merdeka.

  Di ujung perjumpaan, cukup lambaikan tangan selamat jalan. Kita baiknya dan memang harus memilih takdir masing-masing. Sampailah kau di perhentian nanti, begitu aku. Semua sudah ada yang duga, semua memang seperti semula. Kita di bumi yang sama, tapi di dunia yang berbeda. Perjumpaan adalah tahap mendewasakan, walaupun menjadi dewasa adalah menabuh benih kebosanan, sungguh menjengkelkan. Ya, mau apa lagi? Dewasa itu adalah tanggung jawab seumur hidup dan mesti ditunaikan, mungkin, rasa-rasanya.


-Uyyi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar