Jadi begini, kawan...
Apa jadinya rahasia termakan kebodohan cara dan guna membeberkannya pada massa? Apa jadinya cinta bila seutas harapan dibina oleh hati yang kanak-kanak yang hanya mengenal kata manis? Apa yang akan terjadi, bila semua lantas kembali ke masa sebelum hidup mulai menunjukkan tajinya dengan berubah 180 derajat? Kata tanya mungkin bisa menjelaskan, tapi jawabannya takkan pernah bisa dimengerti. Buat apa, buat apa? Semua disandingkan bersama kisah usang yang kau sendiri lupa di mana engkau pernah dilahirkan. Lupa setelah rupa dan wajah baru mulai menghias, menilik, memburamkan masa lalu yang dulu, dulu sekali masih saja kau anggap pilu. Sudah lupa? Bahagia membuatmu keras kepala? Cinta membuatmu membesarkan, menghamba pada apa-apa semua sendiri, privasi, juga peribahasa yang melupakan kamus tempatnya bernaung. Dirimu lupa, seberapa pahit dan luka menimbamu menjadi manusia kuat yang beberapa detik hilang oleh perihal cinta yang abstrak.
Ingat rumah juga tidak, tidak lagi-lagi maksudnya. Selalu tersimpan secuil bahkan segudang cerita dari rumah yang kau ingat selalu panas bilamana sudah hampir hujan selepas mendung. Perihal yang membuat pening adalah besarnya kepala; terlalu kecil mengingat seluruh riwayat hidup manismu. Buat apalagi? Mencoba menjadi diri yang lain bila angin yang kau hirup setiap saat saja sudah menerimamu apa adanya. Buat apa? Buatnya? Yang terbaik pasti terjadi sekejap dan ingin diingat selamanya merupakan kebodohan yang tak sempat diciptakan semesta, kecuali kau sebodoh itu. Menghamba pada kemaslahatan egoisme sama saja menjadi pasukan beringas tapi tak punya senjata apapun dan lambat laun atau cepat mati terbunuh kecongkakan diri sendiri.
Jangan bodoh! Jangan jadi bodoh dulu. Semua yang sekiranya sudah menjadi hal yang selalu bisa kau sentuh, bisa jadi luruh. Jangan terlalu bodoh melihat semua simpati dan empati yang datang silih berganti kau anggap sesuatu hal yang mesti, wajib, layak kau dapatkan dulu. Sampai, sampai, sampailah pada saat semua yang kau ingin kenakan menjadi mantel yang hangat, basah dengan teriakan dan tawa yang dinginnya tak bisa kau rasakan lagi. Seperti aku, ataupun kaulah, semua bisa terjadi pada semua. Bukankah, hati dan kepala masih bisa saling berkelahi? Bukankah, satu-satunya yang tidak bisa dibaca adalah niat? Bukankah, yang menjadi keras melebihi kepala adalah angan-angan semu? Yang kau perlu ketahui juga, hidup ini baru saja memasuki babak baru. Sekelebat angin terhembus tepat di kosong wajahmu, semburat cahaya jingga kau rasa berbeda di urat malumu, alur cerita mundur barangkali terlalu mendesak maju.
Aku, ataupun kau, ingin melupakan waktu. Ingin bisa bebas terbang melayang kesana-kemari, wush wush wushh... menyaksikan semua peristiwa di alam khayal, tak ingin melewatkan satu pun kisah. Kau dimana? Dimana kau? Sudah bahagia kan? Betul, kau memang sudah sedari dulu bahagia. Bagimu bahagia adalah saat aku terjerumus kisahmu yang kau sendiri larang aku menikmati apa rasanya. Seakan-akan kaulah, hanya kaulah berhak bahagia. Aku tak bilang sakit, duka, luka merupakan hal yang brengsek! Mereka adalah paket kebahagiaan yang mesti pula kucicipi. Pahit, adalah rasa yang paling sempurna. Kecewaku malah kau larang-larang aku. Haha, kau punya andil apa? Bila satu-satunya yang membuatku geram adalah insan yang berusaha menghalangiku merasakan apa itu sakit, apa itu luka. Karena hidup, adalah menanam luka, memetik bahagia nanti, tak perlu dihiraukan.
Jauh dari itu, lebih jauh dari itu. Kau adalah kesempatan yang terlompat akibat memang tak pernah sekalipun ada harga atas apa yang aku keluh kesahkan. Kalau nyatanya ada yang lebih baik, kau mau apa? Bisa apa dengan waktu yang telah dirampas bersama hal-hal kontra yang selalu saja tak mau dengar apa yang aku utarakan dengan hati-hati. Memang niat dan cinta menjadi perihal yang keras melebihi batu karang. Kau keras, kau sakit, aku tak kalah pula sakitnya. Kawan... dengar, enyah itu sudah kau ingin suarakan sejak lalu-lalu. Selalu ada yang datang, yang simpati. Tapi, kau tetap tak mau dengar. Sudah, seonggok daging yang katamu mulia, yang suci itu telah menunggu tanganmu didekap, sudah pergilah. Kawanku sudah lama mati semenjak terinjak darahku oleh ludah tak berdalil itu. Sudah tak apa, awal yang baru 'kan kubilang. Sudah tak apa...
Perihal kawan yang telah lama mati atau mati suri atau pura-pura mati adalah kisah yang bisa jadi fiksi dan menggemparkan dunia kesusasteraan beberapa puluh tahun ke depan dan menjadi karya adiluhung, mungkin. Semua rasanya sulit diterjemahkan sekuntum pernyataan yang nyatanya berlainan dengan kenyataan. Menulis dan membakar, umpama. Lebih baik pikirkan kembali, beranjak atau sudah ingin beku mati tertahan di sini? Hidup cuma sekali, berakhir bila kau membunuhku, tapi kau membunuhku berkali-kali, berkali-kali dan kali-kali kali ini rasa-rasanya tak sanggup merasakan rasa lagi. Rumit, bak jiwa terhantam sumbu semesta yang tak berujung, hampa kehampaan. Memaafkan dan mengulangi, umpama. Tak bisa diselesaikan, atau lebih baik tak perlu diselesaikan. Kadang ada beberapa hal yang tak perlu selesai, biarkan mengambang bersama udara yang bertiup menenangkan harimu yang kotor bekas tangan lugumu sendiri.
Terakhir, soal cinta. Soal rumah tak beratap. Perihal puisi yang mencari jati diri, puisi yang berusaha menemukan tuannya. Dan keluarga baru, suasana indah baru. Penunjang hari-hari penuh perayaan. Aku, rasa-rasanya akan berulang tahun setiap hari, setiap jam, menit, detik... Merayakan yang hilang dan yang datang. Merayakan berada di tengah-tengah, di antara semua-muanya. Soal cinta yang begitu luas, soal gadis gendis tambatan jiwa, soal hangatnya aroma pertemanan. Lingkungan yang amat dicintai dan mencinta. Soal semuanya, hiruk-pikuk juga masalah yang sebentar lagi kuangkat jadi kekasih waktu dan menjadi tetuaku yang kuhormati dalam. Untuk semuanya, selamat tinggal! selamat datang! Selamat, selamat... Kita, kamu, aku, kalian, kita semua merayakan dengan selamat.
-Uyyi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar