Sebenarnya, bukan gak bisa dilupakan. Hanya saja jika hal sudah terlalu membekas di dada dan di kepala, suatu saat pasti akan teringat kembali. Dan hari itu adalah hari ini, saat ini, detik ini. Menulis beberapa kata ini menandakan ingatan yang kembali terpecut oleh entah hal apa. Bukan tak bisa dilupakan. Hanya terlupakan sejenak yang pasti akan teringat kembali. Cerita yang sebenarnya tak mau lagi diingat-ingat, diungkit-ungkit, atau sekedar direnungi. Ya, bisa apa lagi jika kepala maunya begitu. Sudah lama juga, hampir sudah 2 tahun berlalu. Sudah ada jejak juga dalam tulisan Patah Hati Terhebat. Tentu, dengan bahasa yang jauh lebih acakadul dari sekarang. Tapi, satu yang selalu mungkin tak pernah berubah: kejujuran.
Semuanya gak akan pernah terjadi bilamana aku tak jadi pergi merantau. Pada tahun 2017, meninggalkan semuanya di ibu kota, mungkin pilihan terberat dalam hidup kala itu. Tak usah dibahas apa saja yang telah dikorbankan, sebut saja semua. Hari-hari berjalan amat berat seminggu berada di perantauan. Sakit selama seminggu pula yang membuat manajer berpikir aku tak betah di asrama. "Gak kok, ini cuma aku suka adaptasi cuaca kalo pindah, suka demam dikit, hehe." Padahal sebenarnya bisa dibilang psikis amat terpukul karena benar-benar merasa kehilangan semuanya, terutama masa sekolah. Film-film bangsat yang mempropagandakan bahwa masa SMA adalah yang paling indah. Otak merespons dan benar terjadi. Sayang hanya setahun bertahan, sisanya adalah perjuangan merealisasikan mimpi.
Pada awalnya, semua kupikir seperti yang kuinginkan. Pendidikan sepak bola, latihan rutin, progress bertahap. Tanpa kutahu, umurku masih sangat muda untuk memahami betapa dunia ini dipenuhi hasrat dan kepentingan. Mimpi anak kecil sudah tidak dipedulikan di depan peluang bisnis mengundang uang. Keparat. Awalnya semua ditegakkan sesuai keadilan dan kemampuan, akademik maupun non akademik. Lama-kelamaan, hidup tak sabar dan memilih mana yang lebih menguntungkan daripada membuang waktu dan uang demi aset yang tak pernah diyakini. Semuanya benar-benar objektif, benar-benar terasa adil walau saat terkena amukan pelatih bukan kepalang. Tak apa, itu benar. Semua kiranya menjadi berubah haluan seiring "orang baik" mulai disingkirkan. Maka, keadilan hanyalah mimpi bagi orang sepertiku.
Dimulai dari Pak Ardi, tetiba di suatu siang setelah cekcok urusan apa entah dengan pelatih, tapi pasti ia sudah berpikir amat matang. Ia mengundurkan diri dari CEO akademi (seingatku itulah jabatannya), ia meninggalkan kami, meninggalkan aku. Di mana ia adalah sebagai ketua yayasan yang memberi dukungan penuh di dalam dan di luar lapangan. Ia juga yang kerap memeriksa nilai rapot kami karena baginya sepak bola tanpa kemampuan nalar adalah percuma, aku amat suka konsepnya. Ia pula yang memberi apresiasi saat aku mengikuti olimpiade sejarah dan bahasa inggris padahal aku sekolah di sekolah atlet. Ia juga yang membanggakan aku yang bisa meraih lima besar di kelas, bisa dibilang salah satu dari akademi yang mampu meraih peringkat kelas. Juga Pak Bahar, rekan Pak Ardi dan "ayah" bagi kami anak-anak asrama. Semua yang kami lakukan ia perhatikan, semua keluh kesah, semua pengorbanan Pak Bahar mengerti karena ia pula yang menjemput aku dan teman yang lain saat tiba di Bandara. Ia adalah malaikat, pengasuh kami, sosok orang tua saat di lapangan ada pelatih, ia berperan penuh di luar lapangan. Siang itu, setelah Pak Ardi mengumumkan keluar, Pak Bahar pun demikian. Lihatlah, pelindungku pun sudah pergi. Masih, masih bisa bertahan, masih sangat baik-baik saja walau terasa amat pedih.
Lalu selanjutnya, pelatih kepala. Yang akhirnya kuketahui hanya dialah satu-satunya keobjektifan yang nyata. Coach RO, kami memanggilnya dengan sebutan itu, kami semua. Semenjak awal dialah yang mungkin memilihku dan percaya akan kemampuanku, disaat pelatih lain hanya menganggapku pecundang, bajingan tengik. Pada saat ia masih ada, keadilan masih amat ditegakkan, jatah main, omelan yang memang itu benar-benar objektif. Masih diberi kesempatan, itu yang paling penting. Walau bentakannya pernah membuat dendam, dimarahi dan diteriaki di depan wajah, menyaksikan wajahnya memerah karena amarah. Semua, semua itu rasanya saat berarti apalagi saat keputusannya hengkang, alasannya untuk menuju pelatih yang lebih profesional. Lagi-lagi kutahu, itu adalah alasan klise, pasti ada ketidaksesuaian dan benar, aku tahu kebenarannya. Persetan dengan kebenaran atau tidaknya, yang penting kutahu sudah motifnya. Setelah ia pergi, mimpi buruk benar-benar menjadi denotasi. Semenjak ia pergi sampai aku keluar, atau dikeluarkan, aku hanya bermain dua atau tiga kali dari semua kompetisi resmi. Dibuang karena buruk masih bisa diterima, dibuang karena tak diberi kesempatan yang amat bajingan. Sampai aku sering berkelahi di lapangan, dimarahi karena tak sengaja membuat teman cedera padahal juga aku dikritik karena katanya aku terlalu "lembek". Lalu, kutunjukkan semuanya dan malah lagi-lagi hanya cibiran dan cibiran. Jika memang tak layak aku di sana, sudah pecat saja daripada dipermainkan. Sama seperti budak yang lebih memilih mati daripada disiksa sampai mampus.
Dan akhirnya, memang bukanlah tempatku di sana. Yang awalnya menuai air mata bahagia atas berhasilnya dari cipratan impian. Tapi berakhir tragis dan cuma menyesal menyesal dan menyesal yang kelak. Apa jadinya bila dulu tak kutinggalkan semua? Sudah belajar ikhlas, namun yang sampai sekarang tak bisa kulupakan saat hari-hari terakhirku di akademi. Disaat pemain lain mendapat penanganan soal cedera apa pun, tercolek saja bisa langsung diobati. Aku, mataku sudah beberapa hari buram, sulit melihat karena ada debu mungkin yang masuk. Saat latihan aku konsultasi pada fisioterapi. Yang terjadi aku malah diolok-olok oleh para pelatih, di hadapan semua jajaran pelatih dan teman-teman. Anjing! Ia berkata kira-kira, "Matamu kenapa lagi? Bisulan ha?" Dengan aksen Jawa pelatih itu mengolok-olok. Memang aku sudah dicoret, tapi mengapa seakan-akan aku hanya sampah busuk? Pelatih yang lain nampak menahan tawa, teman-teman diam. Selucu itukah hidup bagi para bajingan-bajingan tengik. Aku sudah berniat merelakan dan mengikhlaskan tentang semua kegagalan, namun saat diperlakukan layaknya kambing congek begini begitu terpukul rasanya. Hilang semua rasa hormat, hari-hari selanjutnya aku tak mau lagi datang ke lapangan. Karena buat apa bila hanya dihina-hina dan diolok-olok saja. Aku dan Doni kawanku yang juga harus pulang mogok latihan, toh mereka takkan peduli juga.
Sudah ingin saja pulang, meninggalkan semua mimpi buruk keparat di perantauan. Entah memang kota itu terkutuk atau aku tak sengaja saja bertemu orang-orang yang membuat tempat itu seperti neraka dunia. Hari terakhir, kuputuskan datang latihan, saat terakhir. Bagaimana pula itu adalah kenangan terakhir. Sepanjang latihan pelatih sudah tak peduli performaku, namun semua memori selama setahun terakhir terus bermunculan di lapangan. Mulai dari awal seleksi, berhasil masuk, suka duka, hingga akhir yang tak manusiawi. Di penghujung latihan, mengesampingkan dendam atas perlakuan bajingan sebelumnya, aku pamit seraya berterima kasih pada semua pelatih. Karena bagaimana juga, aku dapat banyak sekali pelajaran hidup, terutama tentang tidak adil dan kerasnya dunia. Air mata tak bisa kutahan lagi, tumpah ruah saat aku melepas sepatu dan menginjakkan kaki untuk terakhir kalinya di Pekanbaru. Di asrama juga lama aku memandangi seluruh sudut, ya, selamat tinggal. Pamit kepada semua teman, terutama teman sekamar dan sahabatku dalam segala situasi: Deno, Doni (ia siangnya pulang juga), Yoga, Azwar (sudah liburan duluan, ia tak dicoret), dan Farensyah. Merekalah satu-satunya penguat. Dan berakhir sudah. Kisah yang sebenarnya tak mau diingat-ingat lagi. Ya, mau bagaimana lagi. Andai saja otak bisa bunuh diri, bisa membunuh memorinya sendiri. Kecuali lupa ingatan, tapi itu sama sekali bukan hal yang lucu.
Kamis, 21 Mei 2020
Jumat, 15 Mei 2020
Bualan
Kata Aji, "Dari yang sudah-sudah, cinta hanyalah bualan." Barangkali kata-katanya bukan hanya bualan. Yang dipercaya semua orang adalah yang terkasih adalah pil penuh kebahagiaan, yang walau ada sedikit rasa pahit dan mungkin efek samping. Tapi intinya sama, menyembuhkan. Menarik membahas soal apa yang tak pernah bisa terealisasi, seperti proyeksi ratu idaman, mungkin? Yang jadi masalah dunia kini begitu aneh justru karena terlalu banyak memahami orang, terlalu masuk ke dalam orang, terlalu mengenal orang. Terlalu banyak, terlalu banyak pedalaman yang disusuri hingga diri lepas dalam kendali genggaman sendiri. Ya, seperti sudah diblilang sebelumnya; kehilangan acuan, pegangan, arah, proyeksi, hasrat. Apakah sebuah bualan belaka?
Pertanyaan yang selalu sama muncul sebagai pening: apa lebih baik kembali ke kehidupan yang dulu? Di mana menjadi tidak tahu apa-apa rasanya jauh lebih menyenangkan. Menjadi manusia sederhana yang tahunya cuma usaha dan melihat ke depan. Realita di depan mata tertutup kabut angan dan ingin yang begitu tebal sehingga buta adalah kata yang paling tepat. Terbutakan. Tapi, bukankah lebih baik tidak bisa melihat daripada harus melihat sesuatu yang tak pernah ingin dilihat? Menjadi tidak tahu jauh lebih menyenangkan, karena di situlah justru letak kebahagiaannya. Di mana tak perlu ada rasa bersalah, rasa simpati yang berlebihan atas apa yang orang lain rasakan. Bukankah pula sesuatu yang berlebih tak pernah baik?
Lebih baik menjadi bodoh daripada harus mengetahui apa-apa yang membuat kesenangan lenyap. Buat apa menjadi pintar jika semua hal kesenangan yang sudah akrab melekat tanggal satu per satu dengan paksa? Hidup adalah belajar merelakan, tapi tak pernah dilarang untuk berusaha mempertahankan. Lagi pula, mungkin terlalu sering berpindah membuat selalu saja kehilangan momen, kehilangan waktu yang paling berharga: masa silam kanak-kanak, masa sekolah, masa menyenangkan berkumpul bersama teman. Kehilangan waktu untuk setidaknya meyakinkan bahwa dunia tak sebrengsek yang terlihat nyata kini. Tapi, sayangnya waktu itu tak pernah ada. Memaksakan diri berharap kerja keras dan usaha akan segera terbayarkan oleh kemenangan, kesuksesan mimpi. Tapi, manusia suka lupa, bahwa untuk diberi tidak boleh pamrih. Orang mana yang melakukan sesuatu tanpa ada motif? Lantas, yang mana yang cuma bualan?
Akankah lebih baik bila hidup tanpa cinta? Bakal lebih baik gak sih? Kalau polanya tetap sama, buat apa mengulangi hal-hal bodoh yang akhirnya sudah diketahui. Seperti semisal jatuh cinta, cinta, cinta mulai kacau, berantakan, bajingan. Bukankah selalu seperti itu? Lebih baik gak sih kalau hidup tanpa adanya hal-hal yang lumrah, yang terlalu wajar sehingga jika ditinggalkan gak akan berdampak apa-apa. Semisal harus percaya orang, harus berbagi semuanya, harus harus harus. Semua orang lupa dibalik semua keharusan itu, terdapat satu orang yang dirugikan, sedangkan yang lain mendapat kesenangan, kadang. Simbiosis Parasitisme. Sebut saja demikian, tak sependapat? Setan pun tak peduli.
Dari yang sudah-sudah cinta hanyalah bualan. Yang nanti-nanti juga sepertinya sama saja. Yang selanjutnya akan menjadi bualan. Siap-siap atau tak pernah siap pun mungkin akan tetap menghadap. Yang bisa dilakukan cuma satu, barangkali. Mencoba mematahkan statement sendiri. Atau yang lain, mencoba mencari pelarian, atau datang sendiri. Atau pula, tak perlu melakukan apa-apa lagi bila semua prasangka akhirnya terbukti nyata. Karena, dari yang sudah-sudah memang begitu adanya dan bukanlah bualan belaka. Coba saja. Dari yang sudah-sudah... Ya sudah.
Pertanyaan yang selalu sama muncul sebagai pening: apa lebih baik kembali ke kehidupan yang dulu? Di mana menjadi tidak tahu apa-apa rasanya jauh lebih menyenangkan. Menjadi manusia sederhana yang tahunya cuma usaha dan melihat ke depan. Realita di depan mata tertutup kabut angan dan ingin yang begitu tebal sehingga buta adalah kata yang paling tepat. Terbutakan. Tapi, bukankah lebih baik tidak bisa melihat daripada harus melihat sesuatu yang tak pernah ingin dilihat? Menjadi tidak tahu jauh lebih menyenangkan, karena di situlah justru letak kebahagiaannya. Di mana tak perlu ada rasa bersalah, rasa simpati yang berlebihan atas apa yang orang lain rasakan. Bukankah pula sesuatu yang berlebih tak pernah baik?
Lebih baik menjadi bodoh daripada harus mengetahui apa-apa yang membuat kesenangan lenyap. Buat apa menjadi pintar jika semua hal kesenangan yang sudah akrab melekat tanggal satu per satu dengan paksa? Hidup adalah belajar merelakan, tapi tak pernah dilarang untuk berusaha mempertahankan. Lagi pula, mungkin terlalu sering berpindah membuat selalu saja kehilangan momen, kehilangan waktu yang paling berharga: masa silam kanak-kanak, masa sekolah, masa menyenangkan berkumpul bersama teman. Kehilangan waktu untuk setidaknya meyakinkan bahwa dunia tak sebrengsek yang terlihat nyata kini. Tapi, sayangnya waktu itu tak pernah ada. Memaksakan diri berharap kerja keras dan usaha akan segera terbayarkan oleh kemenangan, kesuksesan mimpi. Tapi, manusia suka lupa, bahwa untuk diberi tidak boleh pamrih. Orang mana yang melakukan sesuatu tanpa ada motif? Lantas, yang mana yang cuma bualan?
Akankah lebih baik bila hidup tanpa cinta? Bakal lebih baik gak sih? Kalau polanya tetap sama, buat apa mengulangi hal-hal bodoh yang akhirnya sudah diketahui. Seperti semisal jatuh cinta, cinta, cinta mulai kacau, berantakan, bajingan. Bukankah selalu seperti itu? Lebih baik gak sih kalau hidup tanpa adanya hal-hal yang lumrah, yang terlalu wajar sehingga jika ditinggalkan gak akan berdampak apa-apa. Semisal harus percaya orang, harus berbagi semuanya, harus harus harus. Semua orang lupa dibalik semua keharusan itu, terdapat satu orang yang dirugikan, sedangkan yang lain mendapat kesenangan, kadang. Simbiosis Parasitisme. Sebut saja demikian, tak sependapat? Setan pun tak peduli.
Dari yang sudah-sudah cinta hanyalah bualan. Yang nanti-nanti juga sepertinya sama saja. Yang selanjutnya akan menjadi bualan. Siap-siap atau tak pernah siap pun mungkin akan tetap menghadap. Yang bisa dilakukan cuma satu, barangkali. Mencoba mematahkan statement sendiri. Atau yang lain, mencoba mencari pelarian, atau datang sendiri. Atau pula, tak perlu melakukan apa-apa lagi bila semua prasangka akhirnya terbukti nyata. Karena, dari yang sudah-sudah memang begitu adanya dan bukanlah bualan belaka. Coba saja. Dari yang sudah-sudah... Ya sudah.
Sabtu, 02 Mei 2020
Rasus, Aku Sepertinya Sama Sepertimu
Setelah mengenal Rasus dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari membuat satu pemikiran acak yang ada benarnya. Setelah mencoba memahami perasaan Rasus, cara Rasus memandang, bisa kutemui letak kesamaannya. Rasus, aku mengerti.
Setelah kejadian yang merenggut ibunya, aku tahu Rasus tak punya bayangan atau proyeksi bagaimana raut wajah ibunya. Rasus masih amat kecil kala itu. Maka, Srintil-lah yang ia jadikan sebagai "sosok" ibunya. Keanehan, ketidakpatutan yang terasa amat saat mengetahui perihal ini. Tapi, ya mau bagaimana lagi? Mungkin bila aku terlahir sebagai Rasus pun aku akan melakukan hal serupa. Bagaimana bisa hidup tanpa tak adanya ibu? Baik, bila seandainya Rasus sudah cukup besar untuk ingat seperti apa raut wajah ibunya, akan sedikit lebih baik. Bagaimana bila kita tahu bahwa di hidup ini kita mempunya ibu, mempunyai seseorang yang kita tak tahu seperti apa raut wajahnya, seperti apa rupanya? Terlalu sulit barangkali, sulit kali menjalani sisa hidup dengan cara seperti itu.
Pun bagaimana aku hidup dari waktu ke waktu. Tanpa disadari dan disadari, aku juga seperti Rasus. Selalu punya sesosok wajah yang kerap mengisi kepala. Bedanya, bukan bayangan ibu. Syukur tiada bandingan nasibku tak seburuk Rasus. Yang kerap mengisi adalah proyeksi seorang perempuan, yang bisa kuanggap "sempurna" tentunya. Tanpa disadari aku telah lama selalu menciptakan bayangan itu, fungsinya? Untuk memompa semangat, untuk dijadikan alasan aku berkorban buat semua hal yang orang sebut mimpi. Sebagai penolak rasa sakit, peredam luka, pemacu semangat. Selalu ada satu sosok di kepala yang membuat aku harus bisa berhasil agar bisa menjadi "pantas".
Selama itu, aku hidup dalam satu bayangan perempuan yang bisa aku miliki tanpa takut lepas. Bisa aku simpan tanpa bisa diambil orang lain. Bisa aku cintai, tanpa perlu dicintai
kembali. Sungguh menyenangkan, juga menyedihkan dalam waktu yang bersamaan. Dimulai barangkali saat aku duduk di Sekolah Dasar, satu wajah, satu nama muncul di kepalaku sebagai sosok yang membuatku tidak malas sekolah. Yang membuatku mau belajar agar setidaknya jangan tinggal kelas. Sekolah Menengah Pertama juga, mendorong aku rajin sekolah, rajin latihan dan bekerja keras demi mimpi. Walau kadang juga nama itu membuat hati pedih. Tapi, justru malah membuatku makin terpacu untuk bisa seperti yang aku impikan. Mau itu menyakiti atau tidak, satu wajah, satu nama selalu ada dalam kepala. Selalu, menemani selalu.
Sampai di Sekolah Menengah Atas, ada pula wajah itu. Mungkin di masa ini makin berat isi kepala, makin dalam makna, makin liar imaji. Namun, asa dan semangat justru makin kencang. Rela tiap hari berlatih keras, berlatih lebih keras dan lebih keras lagi. Selalu, tujuannya adalah untuknya. Satu wajah, satu nama di kepala, tetap kubawa saat aku pergi meninggalkan indah masa sekolah untuk merantau mengejar mimpi. Ya, merantau jauh ke seberang pulau juga barangkali karena bisikan nama di kepala. Sampai aku di sana, menerima kerasnya mimpi, kerasnya dunia di tempat orang di mana banyak kebencian dan kepentingan melebur, perlahan merebut mimpiku. Masih, tentu masih bertahan karena nama di kepala. Terlewati semua latihan yang menyiksa, semua bentakan pelatih, semua masalah dengan teman atau di sekolah yang jauh dari apa yang diharapkan. Semua hampir disesali, kecuali saat ingat apa tujuan dan mimpi, juga nama di kepala.
Nama, wajah, hal itu selalu ada menemani. Dan pastinya di kehidupan nyata, tak benar-benar menjadi kenyataan. Seperti orang sungguhan yang menjelma menjadi tokoh fiksi di kepalaku, tak ada yang bisa menahan imajinasi seseorang. Hingga sampai mimpi direnggut, semua sia-sia, pengorbanan sejak dini tak ada hasil, benar kata mereka dulu bahwa aku takkan pernah bisa menjadi seperti apa yang aku inginkan. Tapi, sebuah nama, sebuah wajah masih saja ada. Walau tak sama, sempat berganti-ganti wajah dari zaman sekolah hingga sekarang. Tapi, tetap. Wajah-wajah, nama-nama silih berganti menemani, membuat diri jadi lebih baik, dan yang paling penting: membuat hidup ini jauh lebih berarti, membuat dunia ini penuh warna.
Dan sekarang. Wajah-wajah itu sudah tak ada. Nama-nama itu sudah tak lagi nyata di kepala, tak terlihat. Beginilah mungkin yang dirasakan Rasus saat Srintil menjadi ronggeng. Hilang sudah bayangan tentang ibunya dalam Srintil. Musnah sudah, harapan, keindahan, satu-satunya yang membuat hidup ini memiliki arti. Wajah dan nama selalu begitu saja hadir, bukan sesuatu yang kupaksa, kuciptakan dengan perintah otak. Entahlah, aku tak tahu apa namanya. Yang jelas kini, agak berat rasanya hidup tanpa wajah dan nama di kepala. Sungguh berbeda terasa, berbeda tampak dunia dalam mata. Mungkin kini kenyataan sudah mengajarkan bahwa hidup ada di depan mata, bukan di balik mata. Hidup tanpa bayangan seseorang yang mampu memberi semangat, atau mungkin semangat itulah yang musnah bersama mimpi yang telah mampus.
Kini, pertanyaannya bukan lagi siapa, bukan lagi siapa nama atau wajah itu. Tapi, bagaimana. Bagaimana hidup ke depannya mulai dari sekarang. Entah akan berat nian terasa atau lebih baik. Bagaimana? Sepertinya akan sulit. Sulit lagi menemukan warna selain gabungan antara hitam dan putih. Ironi? Tak masalah bila memang begitu adanya. Mungkin hampa adalah diksi yang lebih tepat. Barangkali.
Setelah kejadian yang merenggut ibunya, aku tahu Rasus tak punya bayangan atau proyeksi bagaimana raut wajah ibunya. Rasus masih amat kecil kala itu. Maka, Srintil-lah yang ia jadikan sebagai "sosok" ibunya. Keanehan, ketidakpatutan yang terasa amat saat mengetahui perihal ini. Tapi, ya mau bagaimana lagi? Mungkin bila aku terlahir sebagai Rasus pun aku akan melakukan hal serupa. Bagaimana bisa hidup tanpa tak adanya ibu? Baik, bila seandainya Rasus sudah cukup besar untuk ingat seperti apa raut wajah ibunya, akan sedikit lebih baik. Bagaimana bila kita tahu bahwa di hidup ini kita mempunya ibu, mempunyai seseorang yang kita tak tahu seperti apa raut wajahnya, seperti apa rupanya? Terlalu sulit barangkali, sulit kali menjalani sisa hidup dengan cara seperti itu.
Pun bagaimana aku hidup dari waktu ke waktu. Tanpa disadari dan disadari, aku juga seperti Rasus. Selalu punya sesosok wajah yang kerap mengisi kepala. Bedanya, bukan bayangan ibu. Syukur tiada bandingan nasibku tak seburuk Rasus. Yang kerap mengisi adalah proyeksi seorang perempuan, yang bisa kuanggap "sempurna" tentunya. Tanpa disadari aku telah lama selalu menciptakan bayangan itu, fungsinya? Untuk memompa semangat, untuk dijadikan alasan aku berkorban buat semua hal yang orang sebut mimpi. Sebagai penolak rasa sakit, peredam luka, pemacu semangat. Selalu ada satu sosok di kepala yang membuat aku harus bisa berhasil agar bisa menjadi "pantas".
Selama itu, aku hidup dalam satu bayangan perempuan yang bisa aku miliki tanpa takut lepas. Bisa aku simpan tanpa bisa diambil orang lain. Bisa aku cintai, tanpa perlu dicintai
kembali. Sungguh menyenangkan, juga menyedihkan dalam waktu yang bersamaan. Dimulai barangkali saat aku duduk di Sekolah Dasar, satu wajah, satu nama muncul di kepalaku sebagai sosok yang membuatku tidak malas sekolah. Yang membuatku mau belajar agar setidaknya jangan tinggal kelas. Sekolah Menengah Pertama juga, mendorong aku rajin sekolah, rajin latihan dan bekerja keras demi mimpi. Walau kadang juga nama itu membuat hati pedih. Tapi, justru malah membuatku makin terpacu untuk bisa seperti yang aku impikan. Mau itu menyakiti atau tidak, satu wajah, satu nama selalu ada dalam kepala. Selalu, menemani selalu.
Sampai di Sekolah Menengah Atas, ada pula wajah itu. Mungkin di masa ini makin berat isi kepala, makin dalam makna, makin liar imaji. Namun, asa dan semangat justru makin kencang. Rela tiap hari berlatih keras, berlatih lebih keras dan lebih keras lagi. Selalu, tujuannya adalah untuknya. Satu wajah, satu nama di kepala, tetap kubawa saat aku pergi meninggalkan indah masa sekolah untuk merantau mengejar mimpi. Ya, merantau jauh ke seberang pulau juga barangkali karena bisikan nama di kepala. Sampai aku di sana, menerima kerasnya mimpi, kerasnya dunia di tempat orang di mana banyak kebencian dan kepentingan melebur, perlahan merebut mimpiku. Masih, tentu masih bertahan karena nama di kepala. Terlewati semua latihan yang menyiksa, semua bentakan pelatih, semua masalah dengan teman atau di sekolah yang jauh dari apa yang diharapkan. Semua hampir disesali, kecuali saat ingat apa tujuan dan mimpi, juga nama di kepala.
Nama, wajah, hal itu selalu ada menemani. Dan pastinya di kehidupan nyata, tak benar-benar menjadi kenyataan. Seperti orang sungguhan yang menjelma menjadi tokoh fiksi di kepalaku, tak ada yang bisa menahan imajinasi seseorang. Hingga sampai mimpi direnggut, semua sia-sia, pengorbanan sejak dini tak ada hasil, benar kata mereka dulu bahwa aku takkan pernah bisa menjadi seperti apa yang aku inginkan. Tapi, sebuah nama, sebuah wajah masih saja ada. Walau tak sama, sempat berganti-ganti wajah dari zaman sekolah hingga sekarang. Tapi, tetap. Wajah-wajah, nama-nama silih berganti menemani, membuat diri jadi lebih baik, dan yang paling penting: membuat hidup ini jauh lebih berarti, membuat dunia ini penuh warna.
Dan sekarang. Wajah-wajah itu sudah tak ada. Nama-nama itu sudah tak lagi nyata di kepala, tak terlihat. Beginilah mungkin yang dirasakan Rasus saat Srintil menjadi ronggeng. Hilang sudah bayangan tentang ibunya dalam Srintil. Musnah sudah, harapan, keindahan, satu-satunya yang membuat hidup ini memiliki arti. Wajah dan nama selalu begitu saja hadir, bukan sesuatu yang kupaksa, kuciptakan dengan perintah otak. Entahlah, aku tak tahu apa namanya. Yang jelas kini, agak berat rasanya hidup tanpa wajah dan nama di kepala. Sungguh berbeda terasa, berbeda tampak dunia dalam mata. Mungkin kini kenyataan sudah mengajarkan bahwa hidup ada di depan mata, bukan di balik mata. Hidup tanpa bayangan seseorang yang mampu memberi semangat, atau mungkin semangat itulah yang musnah bersama mimpi yang telah mampus.
Kini, pertanyaannya bukan lagi siapa, bukan lagi siapa nama atau wajah itu. Tapi, bagaimana. Bagaimana hidup ke depannya mulai dari sekarang. Entah akan berat nian terasa atau lebih baik. Bagaimana? Sepertinya akan sulit. Sulit lagi menemukan warna selain gabungan antara hitam dan putih. Ironi? Tak masalah bila memang begitu adanya. Mungkin hampa adalah diksi yang lebih tepat. Barangkali.
Langganan:
Postingan (Atom)