Sebenarnya, bukan gak bisa dilupakan. Hanya saja jika hal sudah terlalu membekas di dada dan di kepala, suatu saat pasti akan teringat kembali. Dan hari itu adalah hari ini, saat ini, detik ini. Menulis beberapa kata ini menandakan ingatan yang kembali terpecut oleh entah hal apa. Bukan tak bisa dilupakan. Hanya terlupakan sejenak yang pasti akan teringat kembali. Cerita yang sebenarnya tak mau lagi diingat-ingat, diungkit-ungkit, atau sekedar direnungi. Ya, bisa apa lagi jika kepala maunya begitu. Sudah lama juga, hampir sudah 2 tahun berlalu. Sudah ada jejak juga dalam tulisan Patah Hati Terhebat. Tentu, dengan bahasa yang jauh lebih acakadul dari sekarang. Tapi, satu yang selalu mungkin tak pernah berubah: kejujuran.
Semuanya gak akan pernah terjadi bilamana aku tak jadi pergi merantau. Pada tahun 2017, meninggalkan semuanya di ibu kota, mungkin pilihan terberat dalam hidup kala itu. Tak usah dibahas apa saja yang telah dikorbankan, sebut saja semua. Hari-hari berjalan amat berat seminggu berada di perantauan. Sakit selama seminggu pula yang membuat manajer berpikir aku tak betah di asrama. "Gak kok, ini cuma aku suka adaptasi cuaca kalo pindah, suka demam dikit, hehe." Padahal sebenarnya bisa dibilang psikis amat terpukul karena benar-benar merasa kehilangan semuanya, terutama masa sekolah. Film-film bangsat yang mempropagandakan bahwa masa SMA adalah yang paling indah. Otak merespons dan benar terjadi. Sayang hanya setahun bertahan, sisanya adalah perjuangan merealisasikan mimpi.
Pada awalnya, semua kupikir seperti yang kuinginkan. Pendidikan sepak bola, latihan rutin, progress bertahap. Tanpa kutahu, umurku masih sangat muda untuk memahami betapa dunia ini dipenuhi hasrat dan kepentingan. Mimpi anak kecil sudah tidak dipedulikan di depan peluang bisnis mengundang uang. Keparat. Awalnya semua ditegakkan sesuai keadilan dan kemampuan, akademik maupun non akademik. Lama-kelamaan, hidup tak sabar dan memilih mana yang lebih menguntungkan daripada membuang waktu dan uang demi aset yang tak pernah diyakini. Semuanya benar-benar objektif, benar-benar terasa adil walau saat terkena amukan pelatih bukan kepalang. Tak apa, itu benar. Semua kiranya menjadi berubah haluan seiring "orang baik" mulai disingkirkan. Maka, keadilan hanyalah mimpi bagi orang sepertiku.
Dimulai dari Pak Ardi, tetiba di suatu siang setelah cekcok urusan apa entah dengan pelatih, tapi pasti ia sudah berpikir amat matang. Ia mengundurkan diri dari CEO akademi (seingatku itulah jabatannya), ia meninggalkan kami, meninggalkan aku. Di mana ia adalah sebagai ketua yayasan yang memberi dukungan penuh di dalam dan di luar lapangan. Ia juga yang kerap memeriksa nilai rapot kami karena baginya sepak bola tanpa kemampuan nalar adalah percuma, aku amat suka konsepnya. Ia pula yang memberi apresiasi saat aku mengikuti olimpiade sejarah dan bahasa inggris padahal aku sekolah di sekolah atlet. Ia juga yang membanggakan aku yang bisa meraih lima besar di kelas, bisa dibilang salah satu dari akademi yang mampu meraih peringkat kelas. Juga Pak Bahar, rekan Pak Ardi dan "ayah" bagi kami anak-anak asrama. Semua yang kami lakukan ia perhatikan, semua keluh kesah, semua pengorbanan Pak Bahar mengerti karena ia pula yang menjemput aku dan teman yang lain saat tiba di Bandara. Ia adalah malaikat, pengasuh kami, sosok orang tua saat di lapangan ada pelatih, ia berperan penuh di luar lapangan. Siang itu, setelah Pak Ardi mengumumkan keluar, Pak Bahar pun demikian. Lihatlah, pelindungku pun sudah pergi. Masih, masih bisa bertahan, masih sangat baik-baik saja walau terasa amat pedih.
Lalu selanjutnya, pelatih kepala. Yang akhirnya kuketahui hanya dialah satu-satunya keobjektifan yang nyata. Coach RO, kami memanggilnya dengan sebutan itu, kami semua. Semenjak awal dialah yang mungkin memilihku dan percaya akan kemampuanku, disaat pelatih lain hanya menganggapku pecundang, bajingan tengik. Pada saat ia masih ada, keadilan masih amat ditegakkan, jatah main, omelan yang memang itu benar-benar objektif. Masih diberi kesempatan, itu yang paling penting. Walau bentakannya pernah membuat dendam, dimarahi dan diteriaki di depan wajah, menyaksikan wajahnya memerah karena amarah. Semua, semua itu rasanya saat berarti apalagi saat keputusannya hengkang, alasannya untuk menuju pelatih yang lebih profesional. Lagi-lagi kutahu, itu adalah alasan klise, pasti ada ketidaksesuaian dan benar, aku tahu kebenarannya. Persetan dengan kebenaran atau tidaknya, yang penting kutahu sudah motifnya. Setelah ia pergi, mimpi buruk benar-benar menjadi denotasi. Semenjak ia pergi sampai aku keluar, atau dikeluarkan, aku hanya bermain dua atau tiga kali dari semua kompetisi resmi. Dibuang karena buruk masih bisa diterima, dibuang karena tak diberi kesempatan yang amat bajingan. Sampai aku sering berkelahi di lapangan, dimarahi karena tak sengaja membuat teman cedera padahal juga aku dikritik karena katanya aku terlalu "lembek". Lalu, kutunjukkan semuanya dan malah lagi-lagi hanya cibiran dan cibiran. Jika memang tak layak aku di sana, sudah pecat saja daripada dipermainkan. Sama seperti budak yang lebih memilih mati daripada disiksa sampai mampus.
Dan akhirnya, memang bukanlah tempatku di sana. Yang awalnya menuai air mata bahagia atas berhasilnya dari cipratan impian. Tapi berakhir tragis dan cuma menyesal menyesal dan menyesal yang kelak. Apa jadinya bila dulu tak kutinggalkan semua? Sudah belajar ikhlas, namun yang sampai sekarang tak bisa kulupakan saat hari-hari terakhirku di akademi. Disaat pemain lain mendapat penanganan soal cedera apa pun, tercolek saja bisa langsung diobati. Aku, mataku sudah beberapa hari buram, sulit melihat karena ada debu mungkin yang masuk. Saat latihan aku konsultasi pada fisioterapi. Yang terjadi aku malah diolok-olok oleh para pelatih, di hadapan semua jajaran pelatih dan teman-teman. Anjing! Ia berkata kira-kira, "Matamu kenapa lagi? Bisulan ha?" Dengan aksen Jawa pelatih itu mengolok-olok. Memang aku sudah dicoret, tapi mengapa seakan-akan aku hanya sampah busuk? Pelatih yang lain nampak menahan tawa, teman-teman diam. Selucu itukah hidup bagi para bajingan-bajingan tengik. Aku sudah berniat merelakan dan mengikhlaskan tentang semua kegagalan, namun saat diperlakukan layaknya kambing congek begini begitu terpukul rasanya. Hilang semua rasa hormat, hari-hari selanjutnya aku tak mau lagi datang ke lapangan. Karena buat apa bila hanya dihina-hina dan diolok-olok saja. Aku dan Doni kawanku yang juga harus pulang mogok latihan, toh mereka takkan peduli juga.
Sudah ingin saja pulang, meninggalkan semua mimpi buruk keparat di perantauan. Entah memang kota itu terkutuk atau aku tak sengaja saja bertemu orang-orang yang membuat tempat itu seperti neraka dunia. Hari terakhir, kuputuskan datang latihan, saat terakhir. Bagaimana pula itu adalah kenangan terakhir. Sepanjang latihan pelatih sudah tak peduli performaku, namun semua memori selama setahun terakhir terus bermunculan di lapangan. Mulai dari awal seleksi, berhasil masuk, suka duka, hingga akhir yang tak manusiawi. Di penghujung latihan, mengesampingkan dendam atas perlakuan bajingan sebelumnya, aku pamit seraya berterima kasih pada semua pelatih. Karena bagaimana juga, aku dapat banyak sekali pelajaran hidup, terutama tentang tidak adil dan kerasnya dunia. Air mata tak bisa kutahan lagi, tumpah ruah saat aku melepas sepatu dan menginjakkan kaki untuk terakhir kalinya di Pekanbaru. Di asrama juga lama aku memandangi seluruh sudut, ya, selamat tinggal. Pamit kepada semua teman, terutama teman sekamar dan sahabatku dalam segala situasi: Deno, Doni (ia siangnya pulang juga), Yoga, Azwar (sudah liburan duluan, ia tak dicoret), dan Farensyah. Merekalah satu-satunya penguat. Dan berakhir sudah. Kisah yang sebenarnya tak mau diingat-ingat lagi. Ya, mau bagaimana lagi. Andai saja otak bisa bunuh diri, bisa membunuh memorinya sendiri. Kecuali lupa ingatan, tapi itu sama sekali bukan hal yang lucu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar