Kata Aji, "Dari yang sudah-sudah, cinta hanyalah bualan." Barangkali kata-katanya bukan hanya bualan. Yang dipercaya semua orang adalah yang terkasih adalah pil penuh kebahagiaan, yang walau ada sedikit rasa pahit dan mungkin efek samping. Tapi intinya sama, menyembuhkan. Menarik membahas soal apa yang tak pernah bisa terealisasi, seperti proyeksi ratu idaman, mungkin? Yang jadi masalah dunia kini begitu aneh justru karena terlalu banyak memahami orang, terlalu masuk ke dalam orang, terlalu mengenal orang. Terlalu banyak, terlalu banyak pedalaman yang disusuri hingga diri lepas dalam kendali genggaman sendiri. Ya, seperti sudah diblilang sebelumnya; kehilangan acuan, pegangan, arah, proyeksi, hasrat. Apakah sebuah bualan belaka?
Pertanyaan yang selalu sama muncul sebagai pening: apa lebih baik kembali ke kehidupan yang dulu? Di mana menjadi tidak tahu apa-apa rasanya jauh lebih menyenangkan. Menjadi manusia sederhana yang tahunya cuma usaha dan melihat ke depan. Realita di depan mata tertutup kabut angan dan ingin yang begitu tebal sehingga buta adalah kata yang paling tepat. Terbutakan. Tapi, bukankah lebih baik tidak bisa melihat daripada harus melihat sesuatu yang tak pernah ingin dilihat? Menjadi tidak tahu jauh lebih menyenangkan, karena di situlah justru letak kebahagiaannya. Di mana tak perlu ada rasa bersalah, rasa simpati yang berlebihan atas apa yang orang lain rasakan. Bukankah pula sesuatu yang berlebih tak pernah baik?
Lebih baik menjadi bodoh daripada harus mengetahui apa-apa yang membuat kesenangan lenyap. Buat apa menjadi pintar jika semua hal kesenangan yang sudah akrab melekat tanggal satu per satu dengan paksa? Hidup adalah belajar merelakan, tapi tak pernah dilarang untuk berusaha mempertahankan. Lagi pula, mungkin terlalu sering berpindah membuat selalu saja kehilangan momen, kehilangan waktu yang paling berharga: masa silam kanak-kanak, masa sekolah, masa menyenangkan berkumpul bersama teman. Kehilangan waktu untuk setidaknya meyakinkan bahwa dunia tak sebrengsek yang terlihat nyata kini. Tapi, sayangnya waktu itu tak pernah ada. Memaksakan diri berharap kerja keras dan usaha akan segera terbayarkan oleh kemenangan, kesuksesan mimpi. Tapi, manusia suka lupa, bahwa untuk diberi tidak boleh pamrih. Orang mana yang melakukan sesuatu tanpa ada motif? Lantas, yang mana yang cuma bualan?
Akankah lebih baik bila hidup tanpa cinta? Bakal lebih baik gak sih? Kalau polanya tetap sama, buat apa mengulangi hal-hal bodoh yang akhirnya sudah diketahui. Seperti semisal jatuh cinta, cinta, cinta mulai kacau, berantakan, bajingan. Bukankah selalu seperti itu? Lebih baik gak sih kalau hidup tanpa adanya hal-hal yang lumrah, yang terlalu wajar sehingga jika ditinggalkan gak akan berdampak apa-apa. Semisal harus percaya orang, harus berbagi semuanya, harus harus harus. Semua orang lupa dibalik semua keharusan itu, terdapat satu orang yang dirugikan, sedangkan yang lain mendapat kesenangan, kadang. Simbiosis Parasitisme. Sebut saja demikian, tak sependapat? Setan pun tak peduli.
Dari yang sudah-sudah cinta hanyalah bualan. Yang nanti-nanti juga sepertinya sama saja. Yang selanjutnya akan menjadi bualan. Siap-siap atau tak pernah siap pun mungkin akan tetap menghadap. Yang bisa dilakukan cuma satu, barangkali. Mencoba mematahkan statement sendiri. Atau yang lain, mencoba mencari pelarian, atau datang sendiri. Atau pula, tak perlu melakukan apa-apa lagi bila semua prasangka akhirnya terbukti nyata. Karena, dari yang sudah-sudah memang begitu adanya dan bukanlah bualan belaka. Coba saja. Dari yang sudah-sudah... Ya sudah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar