Kamis, 29 November 2018

Seperti Halnya Hari Esok


Jangan beri kabar padaku
Biar aku yang merengkuh rindu
Hingga tertangis lirih tersedu-sedu
Yang kuingin hari itu, dimana semuanya
menjadi satu

Seperti halnya hari esok
Kuingin semua yang kutemui tak 
berbelok
Menanggalkan lalu meninggalkan yang
tak elok
Akan menjadi masalah bila imajiku terlalu
bobrok

Listrik padam, semua terpendam
Aku mengidam, bertemu kamu yang 
muram
Dikala malam ingin sekali lagi bergumam
Apakah kau masih memelukku semesra 
alam?

Jangan kau pergi, jangan kau lari
Aku disini sepi
Menunggu datangnya suatu hari
Dimana aku dan dirimu ditelan sanubari
Dalam hangatnya kehampaan hati

Semoga yang tertinggal tak dendam
Aku hanya manusia haram
Bermuram durja serta dalam
Menghiasi hari-hari yang terlanjur karam

Tanpamu selayaknya,
Mungkin esok akan tiba.


-Uyyi, 28 November 2018

Senin, 26 November 2018

No Maden

Assalamu'alaikum Wr. Wb.

  Dalam hidup pasti kita semua akan dihadapkan berbagai pilihan. Tempat tinggal misalnya. Menjadi no maden adalah suatu pengorbanan perasaan. Kenapa? karena begitu banyak kenyamanan yang harus berakhir segera menyambut tantangan baru yang tak terduga. Atau tidak, coba saja sendiri. Semua keputusan punya konsekuensi masing-masing. Tapi tidak dengan kesepian, barangkali. Memang prospek hidup berpindah adalah punya teman yang banyak. Tapi tidak selalu kenyataannya begitu. Bagaimana berpindah membawamu ke dalam keterasingan? Bagaimana jika berpindah membuatmu sulit beradaptasi? Bagaimana sebenarnya hanya fisikmu saja yang berpindah? Hati tetap tertinggal pada bayang-bayang masa lalu. Kalau begitu ini adalah kisah tentang sebuah perjalanan.

 Bandung, kota impian saya sejak duduk di bangku SMP. Kini mimpi ini terwujud, secara ironi dan tidak sengaja. Bandung adalah kota ke-3 yang saya jamah. Tak butuh waktu lama untuk jatuh cinta pada kota ini. Tapi belum sampai pada tahap bahagia. Bukan karena konflik di Riau yang sebelumnya menyimpan perjalanan panjang yang penuh derita. Tapi bukan disana, bukan (Yang penasaran ada apa dengan riau, nih!). Masalah ini adalah masalah di kota kelahiran, Jakarta. Pernahkah kalian iri terhadap orang lain? Walaupun kita seharusnya mensyukuri apa yang ada pada diri kita. Tapi bukan itu, yang saya maksud betapa orang lain itu mudah diterima, mudah sekali mendapat penghargaan atas apa-apa yang ia lakukan. Begitu mudah diterima dengan segala minus dan keburukannya. Semua teman terbaik saya selama ini berada di Jakarta. Dengan berpindah bukan tak mungkin saya hilang perlahan di ingatan mereka. Karena sejatinya manusia akan selalu mengingat apa yang dekat dan selalu muncul dihidupnya. Sebenarnya saya tak memandang rendah arti pertemanan. Tapi dengan kehidupan saya yang sudah 3 kali berpindah, rasa-rasanya saya tak lagi merasakan pertemanan yang murni seperti dahulu. Memang tidak semuanya, tapi terus terang saya kecewa. Waktu mengubah mereka jadi es yang sangat dingin. Entah apapun itu dahulu, kini tak bisa lagi saya rasakan kehangatannya (pada beberapa saja).

  Gengsi itu adalah pembunuh paling ampuh selain nuklir. Dengan hilangnya rasa transparan menjadikan seseorang menjadi orang yang tidak kita kenal lagi. Tapi kenapa? Jujur saja sekarang saya sendiri bingung menafsirkan apa itu arti pertemanan yang sebenarnya. Iya saya memang punya sahabat yang punya kedekatan emosional yang baik dengan saya. Tapi tak banyak, atau satu barangkali. Dan kalian harus tahu, seseorang itu harus punya teman yang nyata. Dalam artian ada dihari-harinya. Kalian akan mengerti pada masanya kalian memahami makna kata "kesepian". Coba bayangkan saja, tapi semoga kalian tak pernah sendirian. Karena se-egois apapun, manusia terlahir sebagai makhuk sosial. Tak bisa dipungkiri lagi. Sulit sekali untuk saya terima semua ini. Itu yang saya maksud "iri" kepada orang lain. Saya tak bermaksud mengumbar agar mendapat empati, tidak. Saya hanya ingin kalian hargai teman yang ada di hidup kalian. Yang lebih menyakitkan daripada tak mempunyai teman adalah merasa tak dihargai. Padahal dulu sangatlah akrab. Tapi karena satu masalah, semuanya berubah. Dan meskipun sudah berusaha menjadi baik, bila kertas sudah 'lecek' tak akan bisa lurus kembali. Dan semuanya yang dulunya penuh arti, kini tak lagi berarti.

  Kebahagiaan itu kita yang ciptakan, bukan orang lain. Tapi bagaimana jika orang lain yang menyebabkan kebahagiaan kita menjadi tertunda? Barangkali karena iri atau tak senang pada orang lain. Semua itu didasarkan pada kekecewaan dan kekecewaan didasarkan pada masalah yang (sebenarnya) belum selesai. Laki-laki harus selalu bisa menyelesaikan semua masalah yang ada dihidupnya. Perlu ditanyakan kebenaran statusnya sebagai laki-laki jika tak bisa menyelesaikan masalahnya, atau barangkali tidak mau menyelesaikannya. Itulah manusia, terkadang egois itu menyelimuti jiwanya dan kepintaran membuatnya menghilangkan rasa humanisme. semuanya bagi saya terasa sangat irasional, terasa amat fantastis. Seakan hidup ini seperti mimpi, tak ada bedanya. Sulit sekali membedakannya. Tapi saya yakin, nanti akan saya temukan komunitas yang kembali lagi membuat saya begitu hidup. Tapi sekarang, saya tak bisa membohongi diri sendiri. Bahwa saya masih terpaku bayang-bayang masa lalu. Mungkin mereka sudah menemukan pengganti saya, jauh sebelum saya merasa seperti sekarang. Tapi sayalah yang belum bisa menggantikan mereka dari pikiran saya. Butuh seseorang atau orang-orang yang nantinya akan mengisi kehampaan hati ini. Ya sabar, hanya kesabaranlah yang akan menuntunmu. Biar nanti kita akhirnya bisa ikhlas untuk memilih jalan masing-masing tanpa ada lagi dendam yang tersisa. Bahkan jika tak usah berhubungan lagi tak masalah. Masa lalu memang milik kita bersama, tapi masa depan hak masing-masing.

  Tetap saja mungkin memorinya tidak bisa atau sulit saya lupakan. Tapi terima kasih. Saya tak mau jadi manusia gengsi yang mengucapkan rasa terima kasih saja tak mampu. Setidaknya jika tidak bisa memandang lagi sebagai kawan, pandanglah sebagai manusia. Manusia sekebal apapun perlu merasa dihargai. Mengertilah sedikit, jangan meminta bila tak membutuhkan. Hidup ini kadang bukan soal kita, tapi soal orang lain juga. Berpikirlah multiperspektif, jangan pandang sesuatu dari satu sudut pandang saja. Selalu pikir "what if i was him/her?". Selalu utamakan perasaan orang lain, walaupun kadang dunia tak seadil itu. Tetap ada saja yang menyakiti tanpa merasa disakiti orang lain. Kembali lagi, kehidupan berpindah akan membawamu pada hal yang kamu takkan pernah duga sebelumnya. Tapi jangan takut, teman itu akan selalu ada. Tenang saja, Tuhan tak akan membiarkan kamu sendirian. Hanya saja waktu menunggu untuk setiap orang yang takkan pernah sama. Pada akhirnya dimanapun kamu, keluarga itu adalah satu-satunya yang tak pernah berubah. Takkan pernah membuang kamu, takkan pernah mencampakkan kamu. Bukan hanya sekedar dihargai, kamu akan dicintai. Jadi jangan takut, melangkahlah seluas langkah kaki kamu bisa berjalan, jelajahi dunia. Biar sendiri, nikmati saja. Berbahagialah dalam "kesendirian"mu.

 Dan mungkin saja suatu saat teman atau sahabatmu tak kamu panggil lagi kawan. Tapi sudah terasa menjadi bagian keluargamu. Like Dominic Toretto said, "i got no friends, i got family". Itu berarti temanmu itu sudah layaknya keluarga. Tak hanya menghargaimu sebagai manusia, tapi mencintaimu dengan tulus. Pertemanan itu sangat terasa palsu, entah kenapa. Tapi keluarga itu berbeda, sangat murni. Tapi saya tak menghakimi semua teman itu palsu, sangat tidak saya tekankan. Hanya saja saya begitu bingung hingga saya menganggap 'kebanyakan' itu palsu karena adanya kepentingan. entahlah, kalian coba tafsirkan saja sendiri apa makna teman menurut kalian. Saya jelas makhluk sosial, saya jelas membutuhkan teman. Tapi saya jauh lebih butuh keluarga. Dan pada akhirnya saya tetap tidak tahu apa makna teman yang sebenarnya. Tapi jika ditanya makna keluarga dan betapa pentingnya bagi saya, saya benar-benar tahu jawabannya.

Sekian dulu, salam anak rantau!


Wassalamu'alaikum Wr. Wb.

Kamis, 22 November 2018

Mengenang Masa Kecil

Assalamu'alaikum Wr. Wb.

  Hidup ini rangkaian puzzle, semuanya merangkai satu demi satu hingga kamu jadi seperti ini. Hanya sayangnya beberapa potongan itu ada saja yang hilang, atau terlupakan. Sebenarnya ia tak hilang, hanya saja perlu sedikit menyusun kembali untuk sekali lagi memutar kenangan-kenangan yang mulai lenyap dimakan "kedewasaan" dan waktu. Potongan-potongan itu tak bersembunyi. Kamu hanya lupa meletakkannya disuatu tempat. Ia tersedu sepi dan selalu menunggu agar ditemukan, agar kenangan (yang terlupakan) dapat sekali lagi diputar. Hanya untuk sekedar diingat dan tak jarang membuatmu sedih, bahwa masa itu tak pernah kembali. Dan dibalik kesenangan beranjak dewasa, terdapat secuil kekecewaan mengapa masa-masa itu, masa-masa kecil terlalu cepat berlalu. Ada orang yang bilang "saya gak mau jadi dewasa, jadi dewasa itu gak enak". Enak tidak enak, suka tak suka kita sudah dipastikan akan melewati masa itu. Dimana kita harus benar-benar meninggalkan jiwa kanak-kanak kita untuk menyambut kehidupan sebagai makhluk individu. Memang, menjadi dewasa adalah pilihan. Tapi waktulah yang memaksa kita seakan-akan pada akhirnya tak punya pilihan, selain meninggalkan warna-warni masa kecil.

  Kenangan itu seperti lagu yang sudah lama tak diputar. Begitu sekali terdengar gendang telinga, otak seperti sekejap berjalan mundur terus kebelakang sampai pada titik terjauh ingatan. Dan yang lebih menyedihkan, kenangan itu tak datang dalam versi lengkap. Hanya gambaran sekilas dari apa yang seharusnya otak ingat. Tapi ada untungnya juga, andai saja otak ini mampu mengingat semuanya secara detail. Percayalah, takkan bergerak kamu ke hari esok dan 'stuck' dalam kenangan akan mimpi jadi kanak-kanak selamanya. Bermimpi pada masa tak pernah lelah berlari walaupun yang dikejar hanya panas terik. Memang menyenangkan, tapi harus berakhir segera.

  Berbesar hatilah, biarkan kesenanganmu dulu sekarang dirasakan oleh anak-anak yang sedang dalam permainannya. Biarkan kebahagiaanmu mereka yang tafsirkan. Karena secara tak sadar teman sepermainanmu juga sudah beranjak dewasa. Mungkin saja mereka ingat saat dulu bermain bersama, tapi mereka pasti punya rasa senang dan rasa kecewa yang sama dengan kita. Hanya bisa tertawa dikala anak-anak kecil itu sedang bermain bola plastik dengan baju lusuh dan badan kurus kerempeng tertawa padahal tim mereka yang kalah. Persis kami dahulu, yang rindu perdebatan singkat sebelum sang pemilik bola pulang atau azan magrib berkumandang menandakan pulang. Atau saat main petak umpet, ada yang tak kunjung ditemukan, padahal ia pulang. Atau saat malam bulan Ramadhan kamu memilih bermain sarung dibanding solat tarawih (atau sebenarnya solat dulu baru main) dan sekarang rasa-rasanya tidak bisa lagi seperti itu. Dan walaupun ingin, rekan kita seumuran takkan ada lagi yang bersedia.

  Dan orang-orang yang hadir pada masa kecil, kemana mereka semua? sehatkah? rindu itu kadang bisa aneh juga. Kadang kehadiran sosok yang menghiasi masa kecil kita kerap dilupakan. Padahal kehadiran mereka (mungkin) punya andil dalam mempengaruhi kepribadian dan pola pikir kita kelak ketika dewasa. Kemana gerangan mereka semua? apakah mereka bangga melihat saya sekarang? Seumpama, pelatih saya semenjak kecil sudah banyak sekali mengingat saya bermain bola sejak masih belia. Apakah mereka bangga melihat saya sekarang? Apakah mereka masih mengingat saya? Apakah mereka sehat dimanapun itu? Atau mungkin saja, apakah mereka masih hidup? Kadang kerinduan itu menjadi sangat aneh dan canggung kepada orang lama yang dulu ada di hari dan hidup kita. Tanpa memandang dendam atau sejahat apakah mereka dulu, tetap saja rindu tak mengenal tingkah. Bahkan mungkin, kesalahan atau kejahatan merekalah yang membentuk kita lahir menjadi orang yang lebih kuat bahkan tak tertandingi kelak. Walaupun dari segi ajaran mereka berbeda bidang (sepakbola misalnya) tapi yang saya tahu, semua ilmu dalam bentuk apapun, jika benar penyampaiannya, itu adalah pelajaran hidup juga. Jadi jangan pernah memandang remeh orang lain. mungkin sekarang kamu tak rasakan, tapi nanti beberapa tahun kelak. Ketika kamu sudah berada di fase harus benar-benar meninggalkan masa kanak-kanak dan mulai bertarung dengan kehidupan "orang dewasa".

  Saya bukanlah sosok orang dewasa. Saya hanyalah seorang remaja tanggung yang tak bisa lagi kembali ke gemerlapnya masa kanak-kanak. Hanya tinggal menunggu waktu untuk menghadapi hidup sebenarnya. Tak ada kata kembali atau lari dari apa yang seharusnya akan dihadapi. Hanya mempersiapkan kepada apa-apa yang tidak ada dalam diri seorang anak kecil. Cinta misalnya. Cinta menurut pandangan mereka adalah waktu senja. Karena itulah saat berbahagia mereka bermain bersama teman-teman. Kini saya masih mencintai senja, tapi dengan sedikit konteks yang lebih berbeda. Senja; ketenangan, kedamaian, tempat menuangkan segelas cerita. Cinta menurut anak kecil yaitu kepada bola dekilnya, pada kelereng-kelerengnya, pada sepeda hiasnya. Tapi kita takkan mengenal cinta tanpa bertumbuh dewasa. Jadi jangan juga memandang dewasa itu sebagai kemungkaran. Semakin dewasa kita akan lebih memaknai tentang cinta, dan pada akhirnya memang  cinta itu sangat luas. Tapi setidaknya perasaan kepada "kaum hawa" akan mulai timbul, ya seiring beranjak dewasa.

  Menjadi dewasa memang terkenal dengan masalah dan kerumitannya. Tapi jangan takut! kita umat manusia memang dilahirkan berkenalan dengan masalah. Hanya saja tingkat dan jenisnya berbeda dengan masalah anak kecil. Lagipula seakan kita sudah terlatih menghadapi masalah sejak kecil, jadi tak perlu terlalu khawatir. Biar semesta bekerja sesuai tugas yang sudah diberikan. Dan semoga anak-anak saat ini masih bisa merasakan bermain dalam hangatnya senja dan tawa antarteman. Jangan sampai teknologi mematikan kesenangan alamiah mereka. Karena yang seperti itu, sampai tua pun gak akan bisa dibeli, gak ada harganya sob. Karena sampai tua dan menuju liang lahatpun kenangan itu pasti akan selalu mengesankan.

  Yaitu anak kecil yang bermimpi besar.


Wassalamu'alaikum Wr. Wb.

Jumat, 02 November 2018

Menghadapi Ketakutan

Assalamu'alaikum Wr. Wb.

  Jujur, selama saya hidup. Baru kali ini saya merasakan rasa takut yang luar biasa. Keraguan dan rasa takut akan menghadapi "yang tanda tanya". Saya tidak pernah merasa setakut ini dalam sepanjang hidup saya, terlebih saya orang yang optimis dan punya 'fighting spirit', dulunya. Waktu mengubah seseorang menjadi lebih menghargai realitas kehidupan, saya termasuk. Saya takut akan nantinya saya kembali tidak bisa mendapatkan apa yang saya inginkan, atau sekalipun yang dibutuhkan. Saya berpikir bahwasanya saya tidak lebih dari manusia yang serba kekurangan, setelah tahu apa yang saya ketahui dan kuasai masih sangat amat terbatas. Yang saya takutkan adalah SBMPTN. Banyak yang mengatakan tahun depan akan jauh lebih sulit dan persaingan lebih ketat membuat saya pesimis, mengingat saya lemah di matematika dan terlebih saya ternyata kurang juga di Bahasa Inggris yang selama ini saya remehkan. Saya tahu itu semenjak beberapa jam yang lalu, saat bimbel. Saya merasa saya masih sangat kurang. Saya tidak merasa bodoh, saya yakin saya mampu di pelajaran Bahasa Indonesia, Sejarah, dan Geografi. Tapi untuk lulus tes, saya tak bisa menghindarinya.

  Pemikiran-pemikiran saya langsung mengacau dan tak beraturan semenjak beberapa jam lalu. Seolah sekejap cinta terasa kelu di lidah, tak ada rasa apapun, hambar. Tak bisa lagi saya rasakan manisnya paras perempuan-perempuan itu. Rasa takut itu menyebar ke seluruh tubuh mematikan indera dalam sekaligus. Soal semangat? saya sudah lama kehilangan semangat. Dalam artian semangat yang dulu orang-orang tahu saya. Jadi bukan lagi semangat yang terserang oleh realita, tapi kepercayaan akan humanisme.  Saya tak tahu mana yang lebih buruk, yang pasti seseorang bisa terus berjuang (mendendam dalam arti positif) didasarkan oleh kekecewaan. Saya makin yakin manusia memang pada dasarnya individulisme, ya harus saya akui makhluk sosial juga. Tapi sendiri itu mengajarkan saya, kadang ada atau tak ada orang lain itu tak ada bedanya. Bila kita masih saja dihantui rasa ketakutan dan keraguan menghadapi hidup. Tak ada seorangpun yang mampu membantu, kecuali Tuhan dan saya yakin itu. Tapi saya artikan makna kata sendiri itu dalam bentuk nyata. Bila ada yang menyatakan , "kamu tidak sendiri, Tuhan bersamamu". Itu tidak salah, tapi itu berarti orang itu tak benar-benar mendalami rasanya sendiri atau tak bisa menafsirkan apa itu arti kesendirian.

  Sudah saya coba, berada di keramaian, mencoba berbaur. Tapi apa yang saya dapat? tetap sendiri. Karena tak ada koneksi dan hubungan timbal-balik. Dan yang terpenting dalam aspek pertemanan, ketulusan. Tak banyak saya temui, tapi saya punya sedikit yang tulus berteman tanpa asas yang lain. Tapi mereka nyatanya sudah tak hadir lagi di hidup saya, mereka ada dan nyata, tapi cuma di khayalan. Maksud saya, yang saya anggap nyata itu bila saya bisa melihat langsung memakai mata, merasakan kehangatannya, dan menyadari ikatan batin saat bersamanya. Tetap saja, sendiri itu tak bisa ditolak, yang memperparah adalah pemikiran dan spekulasi-spekulasi yang berbau pesimis. Pernah saya berpikir, alangkah lebih baik menjadi bodoh, ditimbang harus menjadi "cerdas". Akal itu beban dan pada umur yang saya kira harusnya saya menghabiskan masa muda dengan kenakalan, main-main, mulai kasmaran dan jatuh cinta, kebodohan antar teman sebaya, nongkrong berbagi tawa dan melakukan hal yang takkan bisa diulang di masa muda. Saya tak pernah memilih seperti ini, tapi mungkin alam yang memilih saya untuk menanggung beban ini. dimana saat anak muda lain sibuk menulis kata-kata mesra pada pujaan hatinya, saya memilih menulis tentang apa-apa yang dunia ini tengah amarahkan, terlebih pada jiwa saya. Dimana yang lain berkumpul dan bercerita tentang hari yang tak ingin mereka lewatkan, saya memilih berpikir untuk tidak sama sekali menikmati masa ini dan ingin segera mendapatkan kebebasan yang hakiki. Berbahagialah dalam masa muda kalian, jangan pernah lewatkan. Jangan sekali-kali berpikir yang tidak-tidak, masa muda itu zaman masa bodo, jangan kalian sia-siakan. Kalimat ini tak ada artinya padaku.

  menghadapi ketakutan berarti menghadapi masalah-masalah. Karena sudah seperti yang saya bilang, hidup ini adalah tentang menanggung beban. Manusia tidak akan bisa lari dari masalah. Jangan pernah katakan bahwa masalah itu akan selesai. Itu bodoh, dengar kawan, yang abadi di dunia ini adalah masalah. Kebahagiaan yang sebenarnya itu tidak ada. Orang itu bahagia karena dia melupakan atau mengesampingkan masalahnya, bukan berarti masalah itu menghilang. Tapi bagaimana dengan manusia yang mempunyai kesadaran tinggi? bahagia takkan pernah bisa didapatkan. Ini ironi tapi saya berpikiran demikian dan menganggap ini fakta. Tak ada kebahagiaan yang hakiki, yang selamanya itu masalah. Masalah itu tidak pernah selesai, hanya 'rehat' saja untuk seorang yang menghentikan pemikiran kritisnya. Tapi bagi orang yang terus berpikiran kritis, masalah takkan pernah berhenti. Dan bisa saya bayangkan, kelahiran=masalah. Kenapa? bukannya kelahiran itu anugerah? itu memang benar dan sama sekali tak salah. Tapi coba pikirkan, kelahiran itu adalah masalah baru, baik itu dari segi orang lain (terutama orangtuanya) ataupun segi internal si bayi itu yang mau tidak mau akan tumbuh dewasa, kecuali dia dipanggil duluan. Dan saya ingin kalian tahu, saya tidak sama sekali mengharapkan kematian. Karena saya yakin kematian bukanlah akhir dari masalah, tapi babak baru ke tingkat yang lebih "menyeramkan" lagi dari masalah. Yang saya inginkan hanya kedamaian. Ingin sekali hari-hari saya habiskan membaca kumpulan puisi Sapardi Djoko Damono atau sekedar menghabiskan waktu di lembah mandalawangi.

  Tapi tak bisa, hidup tak sesimpel itu. Kita dihadapkan pada pilihan yaitu menhadapinya atau menghadapinya. Tak ada jalan lari, tak ada kata menyerah, tak bisa kita menyangkalnya. Masalah tak bisa disingkirkan atau diselesaikan. Kita hanya bisa mengahadapinya, meskipun ketakutan dan keraguan selalu ada, tapi tak ada jalan lain. Dan dengan kemajemukan dan individualisme manusia, jangan harap bisa mendapat pertolongan dari orang lain. Masalah itu bersifat individu, artinya semua makhluk di dunia ini akan mengahdadapi masalahnya masing-masing. Jangan bodoh dengan menyerahkan bebanmu pada orang lain, tak ada yang bisa "menggendongnya" kecuali punggung kita sendiri. Tak ada yang bisa menolongmu kecuali dirimu sendiri, dan jangan lupakan Tuhan. Dulu saya pikir kita bisa melakukan sesuatu sebagai "pelarian" dari masalah. Setelah sadar sekarang saya pikir itu tindakan bodoh dan sia-sia. Kenapa? jika kalian lari , makin cepat kalian menghadapi masalah baru. Dahulu saya senang berlari, tapi saya sekarang lebih suka berjalan pelan. Karena hanya pengecut yang berlari, dan dengan berjalan pelan, selalu siap dengan penuh keberanian menghadapi apa yang ada di depan mata. Itu adalah sifat patriot, pejuang yang sesungguhnya. Makanya saya sekarang agak konyol bila disuruh berlari. Sepak bola bisa dibilang kini bukan lagi pelarian saya, malah menambah masalah baru, saya lebih suka berjalan pelan, agar tidak ada yang terlewat, terus saya hadapi. Saya juga merasa saya tak punya lagi tempat pelarian, yang ada bila saya menganggap tempat itu sebagai pelarian, maka saya akan merasa bodoh dan merasa makin-makin tersiksa, sungguh malah makin menyiksa. Tak ada tempat pelarian, dimanapun itu, yang ada hanyalah rumah. Dan jujur saya kini tengah kebingungan karena tak ada tempat yang saya rasa sekarang sebagai rumah, yang benar-benar rumah. Mungkin karena saya terlalu sering berpindah. Berbahagialah kalian yang menetap.

  Dalam kehidupan pasti kita dihadapkan oleh ketakutan dan keraguan, itu tanda bagi orang-orang yang berpikir. Tak ada yang bisa dilakukan selain mengahadapinya, tentu dengan berani. Saya ingin terus menghadapi kesusahan ini, ingin susah dalam hidup ini. Di aspek ekonomi, moral, sosial dan pribadi saya. Agar saya dapat merasakan orang-orang yang hidupnya benar-benar susah. Agar saya dapat merasakan sendiri penderitaan-penderitaan rakyat yang suaranya bahkan tak terdengar ke pintu rumahnya sendiri. Bertahan mengahadapi kejamnya hidup. Maka saya bersyukur, Tuhan memberi kesusahan pada saya, saya amat sangat bersyukur. Saya bangga. Saya tidak ingin merasakan menjadi kaum borjuis, terlalu jauh, saya ingin realita. Biarlah tubuh ini kurus kering sebagai simbol peduli dan empati pada penderitaan rakyat, yang setidaknya ingin mendapat keadilan, hanya sedikit keadilan. Maka, nikmatilah ketakutan dan keraguan, nikmatilah kesusahan dan penderitaan, nikmatilah kesunyian dan kesendirian. Berbahagialah dalam ketakutan dan keragu-raguan, berbahagialah dalam kesusahan dan penderitaan, berbahagialah dalam kesunyian dan kesendirian. Berbahagialah dalam realita-realitamu.

 Berbahagialah, meski kebahagiaan itu hanya fatamorgana.


Wassalamu'alaikum Wr. Wb.