Assalamu'alaikum Wr. Wb.
Dalam hidup pasti kita semua akan dihadapkan berbagai pilihan. Tempat tinggal misalnya. Menjadi no maden adalah suatu pengorbanan perasaan. Kenapa? karena begitu banyak kenyamanan yang harus berakhir segera menyambut tantangan baru yang tak terduga. Atau tidak, coba saja sendiri. Semua keputusan punya konsekuensi masing-masing. Tapi tidak dengan kesepian, barangkali. Memang prospek hidup berpindah adalah punya teman yang banyak. Tapi tidak selalu kenyataannya begitu. Bagaimana berpindah membawamu ke dalam keterasingan? Bagaimana jika berpindah membuatmu sulit beradaptasi? Bagaimana sebenarnya hanya fisikmu saja yang berpindah? Hati tetap tertinggal pada bayang-bayang masa lalu. Kalau begitu ini adalah kisah tentang sebuah perjalanan.
Bandung, kota impian saya sejak duduk di bangku SMP. Kini mimpi ini terwujud, secara ironi dan tidak sengaja. Bandung adalah kota ke-3 yang saya jamah. Tak butuh waktu lama untuk jatuh cinta pada kota ini. Tapi belum sampai pada tahap bahagia. Bukan karena konflik di Riau yang sebelumnya menyimpan perjalanan panjang yang penuh derita. Tapi bukan disana, bukan (Yang penasaran ada apa dengan riau, nih!). Masalah ini adalah masalah di kota kelahiran, Jakarta. Pernahkah kalian iri terhadap orang lain? Walaupun kita seharusnya mensyukuri apa yang ada pada diri kita. Tapi bukan itu, yang saya maksud betapa orang lain itu mudah diterima, mudah sekali mendapat penghargaan atas apa-apa yang ia lakukan. Begitu mudah diterima dengan segala minus dan keburukannya. Semua teman terbaik saya selama ini berada di Jakarta. Dengan berpindah bukan tak mungkin saya hilang perlahan di ingatan mereka. Karena sejatinya manusia akan selalu mengingat apa yang dekat dan selalu muncul dihidupnya. Sebenarnya saya tak memandang rendah arti pertemanan. Tapi dengan kehidupan saya yang sudah 3 kali berpindah, rasa-rasanya saya tak lagi merasakan pertemanan yang murni seperti dahulu. Memang tidak semuanya, tapi terus terang saya kecewa. Waktu mengubah mereka jadi es yang sangat dingin. Entah apapun itu dahulu, kini tak bisa lagi saya rasakan kehangatannya (pada beberapa saja).
Gengsi itu adalah pembunuh paling ampuh selain nuklir. Dengan hilangnya rasa transparan menjadikan seseorang menjadi orang yang tidak kita kenal lagi. Tapi kenapa? Jujur saja sekarang saya sendiri bingung menafsirkan apa itu arti pertemanan yang sebenarnya. Iya saya memang punya sahabat yang punya kedekatan emosional yang baik dengan saya. Tapi tak banyak, atau satu barangkali. Dan kalian harus tahu, seseorang itu harus punya teman yang nyata. Dalam artian ada dihari-harinya. Kalian akan mengerti pada masanya kalian memahami makna kata "kesepian". Coba bayangkan saja, tapi semoga kalian tak pernah sendirian. Karena se-egois apapun, manusia terlahir sebagai makhuk sosial. Tak bisa dipungkiri lagi. Sulit sekali untuk saya terima semua ini. Itu yang saya maksud "iri" kepada orang lain. Saya tak bermaksud mengumbar agar mendapat empati, tidak. Saya hanya ingin kalian hargai teman yang ada di hidup kalian. Yang lebih menyakitkan daripada tak mempunyai teman adalah merasa tak dihargai. Padahal dulu sangatlah akrab. Tapi karena satu masalah, semuanya berubah. Dan meskipun sudah berusaha menjadi baik, bila kertas sudah 'lecek' tak akan bisa lurus kembali. Dan semuanya yang dulunya penuh arti, kini tak lagi berarti.
Kebahagiaan itu kita yang ciptakan, bukan orang lain. Tapi bagaimana jika orang lain yang menyebabkan kebahagiaan kita menjadi tertunda? Barangkali karena iri atau tak senang pada orang lain. Semua itu didasarkan pada kekecewaan dan kekecewaan didasarkan pada masalah yang (sebenarnya) belum selesai. Laki-laki harus selalu bisa menyelesaikan semua masalah yang ada dihidupnya. Perlu ditanyakan kebenaran statusnya sebagai laki-laki jika tak bisa menyelesaikan masalahnya, atau barangkali tidak mau menyelesaikannya. Itulah manusia, terkadang egois itu menyelimuti jiwanya dan kepintaran membuatnya menghilangkan rasa humanisme. semuanya bagi saya terasa sangat irasional, terasa amat fantastis. Seakan hidup ini seperti mimpi, tak ada bedanya. Sulit sekali membedakannya. Tapi saya yakin, nanti akan saya temukan komunitas yang kembali lagi membuat saya begitu hidup. Tapi sekarang, saya tak bisa membohongi diri sendiri. Bahwa saya masih terpaku bayang-bayang masa lalu. Mungkin mereka sudah menemukan pengganti saya, jauh sebelum saya merasa seperti sekarang. Tapi sayalah yang belum bisa menggantikan mereka dari pikiran saya. Butuh seseorang atau orang-orang yang nantinya akan mengisi kehampaan hati ini. Ya sabar, hanya kesabaranlah yang akan menuntunmu. Biar nanti kita akhirnya bisa ikhlas untuk memilih jalan masing-masing tanpa ada lagi dendam yang tersisa. Bahkan jika tak usah berhubungan lagi tak masalah. Masa lalu memang milik kita bersama, tapi masa depan hak masing-masing.
Tetap saja mungkin memorinya tidak bisa atau sulit saya lupakan. Tapi terima kasih. Saya tak mau jadi manusia gengsi yang mengucapkan rasa terima kasih saja tak mampu. Setidaknya jika tidak bisa memandang lagi sebagai kawan, pandanglah sebagai manusia. Manusia sekebal apapun perlu merasa dihargai. Mengertilah sedikit, jangan meminta bila tak membutuhkan. Hidup ini kadang bukan soal kita, tapi soal orang lain juga. Berpikirlah multiperspektif, jangan pandang sesuatu dari satu sudut pandang saja. Selalu pikir "what if i was him/her?". Selalu utamakan perasaan orang lain, walaupun kadang dunia tak seadil itu. Tetap ada saja yang menyakiti tanpa merasa disakiti orang lain. Kembali lagi, kehidupan berpindah akan membawamu pada hal yang kamu takkan pernah duga sebelumnya. Tapi jangan takut, teman itu akan selalu ada. Tenang saja, Tuhan tak akan membiarkan kamu sendirian. Hanya saja waktu menunggu untuk setiap orang yang takkan pernah sama. Pada akhirnya dimanapun kamu, keluarga itu adalah satu-satunya yang tak pernah berubah. Takkan pernah membuang kamu, takkan pernah mencampakkan kamu. Bukan hanya sekedar dihargai, kamu akan dicintai. Jadi jangan takut, melangkahlah seluas langkah kaki kamu bisa berjalan, jelajahi dunia. Biar sendiri, nikmati saja. Berbahagialah dalam "kesendirian"mu.
Dan mungkin saja suatu saat teman atau sahabatmu tak kamu panggil lagi kawan. Tapi sudah terasa menjadi bagian keluargamu. Like Dominic Toretto said, "i got no friends, i got family". Itu berarti temanmu itu sudah layaknya keluarga. Tak hanya menghargaimu sebagai manusia, tapi mencintaimu dengan tulus. Pertemanan itu sangat terasa palsu, entah kenapa. Tapi keluarga itu berbeda, sangat murni. Tapi saya tak menghakimi semua teman itu palsu, sangat tidak saya tekankan. Hanya saja saya begitu bingung hingga saya menganggap 'kebanyakan' itu palsu karena adanya kepentingan. entahlah, kalian coba tafsirkan saja sendiri apa makna teman menurut kalian. Saya jelas makhluk sosial, saya jelas membutuhkan teman. Tapi saya jauh lebih butuh keluarga. Dan pada akhirnya saya tetap tidak tahu apa makna teman yang sebenarnya. Tapi jika ditanya makna keluarga dan betapa pentingnya bagi saya, saya benar-benar tahu jawabannya.
Sekian dulu, salam anak rantau!
Wassalamu'alaikum Wr. Wb.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar