Jumat, 02 November 2018

Menghadapi Ketakutan

Assalamu'alaikum Wr. Wb.

  Jujur, selama saya hidup. Baru kali ini saya merasakan rasa takut yang luar biasa. Keraguan dan rasa takut akan menghadapi "yang tanda tanya". Saya tidak pernah merasa setakut ini dalam sepanjang hidup saya, terlebih saya orang yang optimis dan punya 'fighting spirit', dulunya. Waktu mengubah seseorang menjadi lebih menghargai realitas kehidupan, saya termasuk. Saya takut akan nantinya saya kembali tidak bisa mendapatkan apa yang saya inginkan, atau sekalipun yang dibutuhkan. Saya berpikir bahwasanya saya tidak lebih dari manusia yang serba kekurangan, setelah tahu apa yang saya ketahui dan kuasai masih sangat amat terbatas. Yang saya takutkan adalah SBMPTN. Banyak yang mengatakan tahun depan akan jauh lebih sulit dan persaingan lebih ketat membuat saya pesimis, mengingat saya lemah di matematika dan terlebih saya ternyata kurang juga di Bahasa Inggris yang selama ini saya remehkan. Saya tahu itu semenjak beberapa jam yang lalu, saat bimbel. Saya merasa saya masih sangat kurang. Saya tidak merasa bodoh, saya yakin saya mampu di pelajaran Bahasa Indonesia, Sejarah, dan Geografi. Tapi untuk lulus tes, saya tak bisa menghindarinya.

  Pemikiran-pemikiran saya langsung mengacau dan tak beraturan semenjak beberapa jam lalu. Seolah sekejap cinta terasa kelu di lidah, tak ada rasa apapun, hambar. Tak bisa lagi saya rasakan manisnya paras perempuan-perempuan itu. Rasa takut itu menyebar ke seluruh tubuh mematikan indera dalam sekaligus. Soal semangat? saya sudah lama kehilangan semangat. Dalam artian semangat yang dulu orang-orang tahu saya. Jadi bukan lagi semangat yang terserang oleh realita, tapi kepercayaan akan humanisme.  Saya tak tahu mana yang lebih buruk, yang pasti seseorang bisa terus berjuang (mendendam dalam arti positif) didasarkan oleh kekecewaan. Saya makin yakin manusia memang pada dasarnya individulisme, ya harus saya akui makhluk sosial juga. Tapi sendiri itu mengajarkan saya, kadang ada atau tak ada orang lain itu tak ada bedanya. Bila kita masih saja dihantui rasa ketakutan dan keraguan menghadapi hidup. Tak ada seorangpun yang mampu membantu, kecuali Tuhan dan saya yakin itu. Tapi saya artikan makna kata sendiri itu dalam bentuk nyata. Bila ada yang menyatakan , "kamu tidak sendiri, Tuhan bersamamu". Itu tidak salah, tapi itu berarti orang itu tak benar-benar mendalami rasanya sendiri atau tak bisa menafsirkan apa itu arti kesendirian.

  Sudah saya coba, berada di keramaian, mencoba berbaur. Tapi apa yang saya dapat? tetap sendiri. Karena tak ada koneksi dan hubungan timbal-balik. Dan yang terpenting dalam aspek pertemanan, ketulusan. Tak banyak saya temui, tapi saya punya sedikit yang tulus berteman tanpa asas yang lain. Tapi mereka nyatanya sudah tak hadir lagi di hidup saya, mereka ada dan nyata, tapi cuma di khayalan. Maksud saya, yang saya anggap nyata itu bila saya bisa melihat langsung memakai mata, merasakan kehangatannya, dan menyadari ikatan batin saat bersamanya. Tetap saja, sendiri itu tak bisa ditolak, yang memperparah adalah pemikiran dan spekulasi-spekulasi yang berbau pesimis. Pernah saya berpikir, alangkah lebih baik menjadi bodoh, ditimbang harus menjadi "cerdas". Akal itu beban dan pada umur yang saya kira harusnya saya menghabiskan masa muda dengan kenakalan, main-main, mulai kasmaran dan jatuh cinta, kebodohan antar teman sebaya, nongkrong berbagi tawa dan melakukan hal yang takkan bisa diulang di masa muda. Saya tak pernah memilih seperti ini, tapi mungkin alam yang memilih saya untuk menanggung beban ini. dimana saat anak muda lain sibuk menulis kata-kata mesra pada pujaan hatinya, saya memilih menulis tentang apa-apa yang dunia ini tengah amarahkan, terlebih pada jiwa saya. Dimana yang lain berkumpul dan bercerita tentang hari yang tak ingin mereka lewatkan, saya memilih berpikir untuk tidak sama sekali menikmati masa ini dan ingin segera mendapatkan kebebasan yang hakiki. Berbahagialah dalam masa muda kalian, jangan pernah lewatkan. Jangan sekali-kali berpikir yang tidak-tidak, masa muda itu zaman masa bodo, jangan kalian sia-siakan. Kalimat ini tak ada artinya padaku.

  menghadapi ketakutan berarti menghadapi masalah-masalah. Karena sudah seperti yang saya bilang, hidup ini adalah tentang menanggung beban. Manusia tidak akan bisa lari dari masalah. Jangan pernah katakan bahwa masalah itu akan selesai. Itu bodoh, dengar kawan, yang abadi di dunia ini adalah masalah. Kebahagiaan yang sebenarnya itu tidak ada. Orang itu bahagia karena dia melupakan atau mengesampingkan masalahnya, bukan berarti masalah itu menghilang. Tapi bagaimana dengan manusia yang mempunyai kesadaran tinggi? bahagia takkan pernah bisa didapatkan. Ini ironi tapi saya berpikiran demikian dan menganggap ini fakta. Tak ada kebahagiaan yang hakiki, yang selamanya itu masalah. Masalah itu tidak pernah selesai, hanya 'rehat' saja untuk seorang yang menghentikan pemikiran kritisnya. Tapi bagi orang yang terus berpikiran kritis, masalah takkan pernah berhenti. Dan bisa saya bayangkan, kelahiran=masalah. Kenapa? bukannya kelahiran itu anugerah? itu memang benar dan sama sekali tak salah. Tapi coba pikirkan, kelahiran itu adalah masalah baru, baik itu dari segi orang lain (terutama orangtuanya) ataupun segi internal si bayi itu yang mau tidak mau akan tumbuh dewasa, kecuali dia dipanggil duluan. Dan saya ingin kalian tahu, saya tidak sama sekali mengharapkan kematian. Karena saya yakin kematian bukanlah akhir dari masalah, tapi babak baru ke tingkat yang lebih "menyeramkan" lagi dari masalah. Yang saya inginkan hanya kedamaian. Ingin sekali hari-hari saya habiskan membaca kumpulan puisi Sapardi Djoko Damono atau sekedar menghabiskan waktu di lembah mandalawangi.

  Tapi tak bisa, hidup tak sesimpel itu. Kita dihadapkan pada pilihan yaitu menhadapinya atau menghadapinya. Tak ada jalan lari, tak ada kata menyerah, tak bisa kita menyangkalnya. Masalah tak bisa disingkirkan atau diselesaikan. Kita hanya bisa mengahadapinya, meskipun ketakutan dan keraguan selalu ada, tapi tak ada jalan lain. Dan dengan kemajemukan dan individualisme manusia, jangan harap bisa mendapat pertolongan dari orang lain. Masalah itu bersifat individu, artinya semua makhluk di dunia ini akan mengahdadapi masalahnya masing-masing. Jangan bodoh dengan menyerahkan bebanmu pada orang lain, tak ada yang bisa "menggendongnya" kecuali punggung kita sendiri. Tak ada yang bisa menolongmu kecuali dirimu sendiri, dan jangan lupakan Tuhan. Dulu saya pikir kita bisa melakukan sesuatu sebagai "pelarian" dari masalah. Setelah sadar sekarang saya pikir itu tindakan bodoh dan sia-sia. Kenapa? jika kalian lari , makin cepat kalian menghadapi masalah baru. Dahulu saya senang berlari, tapi saya sekarang lebih suka berjalan pelan. Karena hanya pengecut yang berlari, dan dengan berjalan pelan, selalu siap dengan penuh keberanian menghadapi apa yang ada di depan mata. Itu adalah sifat patriot, pejuang yang sesungguhnya. Makanya saya sekarang agak konyol bila disuruh berlari. Sepak bola bisa dibilang kini bukan lagi pelarian saya, malah menambah masalah baru, saya lebih suka berjalan pelan, agar tidak ada yang terlewat, terus saya hadapi. Saya juga merasa saya tak punya lagi tempat pelarian, yang ada bila saya menganggap tempat itu sebagai pelarian, maka saya akan merasa bodoh dan merasa makin-makin tersiksa, sungguh malah makin menyiksa. Tak ada tempat pelarian, dimanapun itu, yang ada hanyalah rumah. Dan jujur saya kini tengah kebingungan karena tak ada tempat yang saya rasa sekarang sebagai rumah, yang benar-benar rumah. Mungkin karena saya terlalu sering berpindah. Berbahagialah kalian yang menetap.

  Dalam kehidupan pasti kita dihadapkan oleh ketakutan dan keraguan, itu tanda bagi orang-orang yang berpikir. Tak ada yang bisa dilakukan selain mengahadapinya, tentu dengan berani. Saya ingin terus menghadapi kesusahan ini, ingin susah dalam hidup ini. Di aspek ekonomi, moral, sosial dan pribadi saya. Agar saya dapat merasakan orang-orang yang hidupnya benar-benar susah. Agar saya dapat merasakan sendiri penderitaan-penderitaan rakyat yang suaranya bahkan tak terdengar ke pintu rumahnya sendiri. Bertahan mengahadapi kejamnya hidup. Maka saya bersyukur, Tuhan memberi kesusahan pada saya, saya amat sangat bersyukur. Saya bangga. Saya tidak ingin merasakan menjadi kaum borjuis, terlalu jauh, saya ingin realita. Biarlah tubuh ini kurus kering sebagai simbol peduli dan empati pada penderitaan rakyat, yang setidaknya ingin mendapat keadilan, hanya sedikit keadilan. Maka, nikmatilah ketakutan dan keraguan, nikmatilah kesusahan dan penderitaan, nikmatilah kesunyian dan kesendirian. Berbahagialah dalam ketakutan dan keragu-raguan, berbahagialah dalam kesusahan dan penderitaan, berbahagialah dalam kesunyian dan kesendirian. Berbahagialah dalam realita-realitamu.

 Berbahagialah, meski kebahagiaan itu hanya fatamorgana.


Wassalamu'alaikum Wr. Wb.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar