Kamis, 28 Februari 2019

Cinta Monyet (?)

Assalamu'alaikum Wr. Wb.

  Percaya? apa yang disebut "cinta monyet?" Kayaknya sebagian besar percaya deh. Tapi, buat kalian yang gak percaya, kalian ada dipihak gue.

  Cinta, hmm... Gak tau harus mulai dari mana juga. Sebut saja cinta itu anugerah sekaligus beban hidup. Tak bisa dipungkiri, kedua elemen itu ada saat yang namanya cinta mulai keluar ke permukaan. Sudah sering dibahas memang, cinta itu universal dan maknanya sangat luas. Gak akan pernah habis kata-kata atau mungkin buku-buku membahas soal cinta. Ya, cinta, gitu-gitu aja sebenarnya, tapi rumit. Kadangkala manusia itu sendiri yang membuatnya rumit, atau semesta yang kadang memberi bumbu-bumbu tambahan. Cinta itu menurut gue putih, suci, transparan. Cinta dalam persepsi gue hanyalah kejujuran dan keberanian dalam bertindak (harusnya), tapi keadaan kerap mempersulit semuanya. Cinta itu harusnya simpel, sederhana, harusnya sih begitu, mungkin.

  Cinta monyet... awalnya gue percaya, tapi setelah perjalanan sejauh ini, teori itu sudah hangus layaknya kayu yang tersisa abu. Kenapa gue gak percaya? karena rasa yang mungkin dulu gue pernah rasain itu rasa-rasanya kalau sekarang dipikir-pikir lagi ga sebercanda yang orang dewasa pikir. Ya, seiring gue yang beranjak dewasa, gue jadi tau sudut pandang orang dewasa. Katanya yang "halah itu mah cinta monyet doang, boongan." Iya, gue ngerti. Tapi, pernah gak sih ngerasa kalo perasaan yang lo punya dulu ke seseorang tuh ampas-ampasnya masih ada sekarang? atau gak bisa ilang atau dilupain. Ok, udah move on, tapi tetep aja lo itu masih inget persis bagaimana rasanya, bagaimana rasanya jatuh cinta sama cewe yang rambutnya aja masih dikuncir. Ngerasain gak sih kalo lo masih inget semua omongan dia yang bikin lo terpacu (motivasi). Masih inget gak sih betapa deg-degannya kalo lo tiba-tiba diajak ngobrol sama cewe yang lo dulu suka? Masih inget gak sih betapa semangatnya hari-hari sekolah lo yang ngebosenin tiba-tiba jadi kepengen sekolah terus, cuma mau liat cewe bocah yang lo suka. Masih inget ga sih? apapun hal tentang cewe yang lo suka dulu, sampe hal yang mungkin nyakitin hati anak ingusan yang belum pantas tau soal cinta. Kalo cinta itu cuma buat orang dewasa, gua rasa itu ga adil.

  Bercerita tentang jatuh cinta, gue jadi inget pertama kali gue jatuh cinta. Kelas 1 SD sepertinya. Sebenarnya sih waktu itu cuma kayak kagum aja, tapi gua anggap itu kali pertamanya gua tau perasaan ke perempuan. Ga neko-neko sih, dia menurut gua kala itu seorang anak kecil yang manis, sudah itu saja. Berlanjut ke hari demi hari, minggu demi minggu, bulan demi bulan, tahun demi tahun. Tetap saja cinta pertama itu susah dilupain. Gini deh, gua jujur, sebenernya dulu itu di SD gua anak-anak cewenya cakep-cakep parah, ya karena gua masih bocah dan masih bego aja jadinya ga peduli. Cuma bukan masalah begonya gua, tapi karena pada saat itu cuma ada satu cewe doang di pikiran gue, cuma satu. Gua pikir gua aneh, tapi emang bener, itu alesannya gua gak bisa suka sama cewe lain waktu itu. Bukan karena gua memuja-muja atau udah buta makanya ga bisa liat yang lain. Tapi, gua rasa, kalau hati gua itu udah milih seseorang dan udah yakin, yang lain gak bakal mempan, sekeras apapun mencoba. Dipikir-pikir emang mustahil seorang anak kecil yang sekolah aja masih dianterin punya pemikiran serumit itu. Eitss, jangan salah, dulu gue seperti anak umumnya. Simpel, sesimpel "dia cantik, aku suka," dah gitu. Pemikiran-pemikiran itu muncul setelah gua bisa dibilang beranjak dewasa. Heh, gua udah punya ktp, masa iya masih ga pantes seolah tau tentang cinta. Bodolah, terserah. Dan yang lebih dari pemikiran gua ya soal yang gua rasain.

  Gua ga percaya cinta monyet. Kalo orang dewasa mikir cinta-cintaan anak kecil itu palsu, awas aja sampe yang ngomong kayak gitu kecilnya pernah naksir cewe, gua laknat ntar. Lagian, gua rasa anak kecil itulah yang punya cinta paling murni, paling transparan dibanding orang dewasa, kenapa? anak kecil tuh ga ribet kalo suka sama cewe, suka ya suka aja ga perlu banyak alesan. Gak kayak orang dewasa yang kadang ngeliat harta, gengsi, atau karena apalah, ribet. Terus kalo udah gitu masih berani ngatain anak kecil itu cinta monyet? apa ga lebih kayak monyet orang dewasa yang kebanyakan kepentingannya, gengsi. Coba deh bagi orang yang percaya cinta monyet terus waktu kecil pernah suka sama temen cewenya terus sekarang ngeliat temen cewenya tambah cakep dan kalo ketemu masih aja deg-degan, masih percaya kalo cinta lo dulu itu palsu? Kita itu hanya tumbuh dewasa. Tapi, masing-masing kita tetaplah dulunya anak kecil yang sama, yang masih suka bermain-main, menganggap hidup ini seperti dunia kartun, dan suka sama temen cewe yang gua yakin, pasti gabakal pernah bisa dilupain.

   Gua ga merencanakan ini semua terjadi. Gua ga berharap bisa selalu inget apa-apa yang dulu pernah terjadi.Tapi, sesuatu yang sudah terlanjur menjadi hal yang berarti, gak bakal pernah bisa dilupain, sekeras apapun mencoba. Semakin lo coba lupain, semakin nempel terus di otak dan gabakal bisa ilang. Emang bener kata orang, "Cinta pertama itu susah dilupain." Jadi, ya gak perlu dilupain. Cukup dikenang aja, biarin semuanya terjadi seperti seharusnya. Gua juga gak pernah nyesel kok pernah suka berbagai cewe di hidup ini. Banyak, tapi ga banyak yang spesial. Kalo waktu bisa diulang, gue cuma berharap bisa kembali ke masa-masa itu. Dimana jatuh cinta itu simpel banget, terasa sangat indah dan berwarna. Rasanya seperti ingin terjebak dalam waktu di mana semuanya masih sesederhana dulu. Gua ga percaya cinta monyet, gua gak bisa mentolerir manusia  disamakan dengan hewan. Kita memang masih kecil dahulu, cuma waktu aja yang membuat orang semakin menumbuhkan gengsinya masing-masing.

  Gausah khawatir, semua yang pernah menimpa masa kecil gua ga ada dendam. Ya, going with the flow aja. Move on? probably yes, i did it. Tapi, mungkin karena gua belum nemuin aja jadinya perasaan-perasaan yang dulu ada ya sekelebat gitu aja melintas. Gak ada yang bisa gua lakuin, selain menulis dan bercerita. Karena, kadang kisah itu bisa menarik kalo orang lain juga ngerasain hal yang sama kayak kita. Jadi, pesen gue gak usah khawatir sama masa lalu, mereka ada agar kita bisa berdiri tegak sekarang. Semua kata-kata atau momen yang dulu pernah terjadi, sekalipun itu saat masih kanak-kanak, bukan tak mungkin akan terus menjadi ingatan dan bahkan menjadi motivasi lebih seseorang untuk selalu menjadi orang yang lebih baik lagi. Untuk mengejar mimpi, untuk mengejar kesuksesan, perkataan orang-orang tertentu bisa membuat semangat menjadi berkali-kali lipat. Gua bisa sejauh ini, ada campur tangan dari orang-orang yang gua sayangi atau mungkin cewe yang dulu pernah gua kagumi. Memang lucu juga dulu seakan dunia masih sempit, kini terasa amat luas. Tapi kalo kita ingat tentang seseorang di masa lalu kita, seakan dunia itu kembali menyempit. Hanya ada tentang kita dan orang tersebut. Rindu itu pasti, sekedar ingin bertukar cerita selama kita tak ada di hidup masing-masing yang dulunya kita pernah sedekat mata. Sebagai apapun kita di masa depan, atau jadi apapun kita kini, masa lalu tetap punya ruang kedap tersendiri yang kelak akan kita masuki lagi bersama-sama. Bercerita tentang yang lalu, apapun itu, sungguh menarik.

  Pada akhirnya bagi kalian yang masih percaya dengan "cinta monyet," silakan teruskan. Tak ada masalah. Yang jadi masalah jika sampai bertengkar hanya masalah sepele ini. Jadi gak ada radikalisme, gua hanya mau mengutarakan opini gua aja. Jangan sekali-kali coba bohongin hati. Semua organ tubuh bisa bohong kecuali hati (bukan hati yang deket empedu), perasaan maksudnya ya. Belajar jujur aja, kalo ada kalanya lagi flashback yaudah nikmatin aja, gausah sok-sokan mau ngelupain atau sok-sokan gabisa flashback. Kawan, itu semua proses yang wajar. Gua yakin yang bersangkutan juga ga masalah kok, orang namanya kenangan, ya fungsinya untuk dikenang kan? Cukup nikmati, bermainlah di imajinasi seolah kita kembali ke masa itu. Jadikan otak sebagai proyeksi film tentang masa kecil kita yang kita tonton sendiri di alam khayal. Tapi, jangan terlalu larut, kenyataan tak kalah asiknya. Siapa tahu, kenyataan itu sama persis seperti apa yang kita bayangkan, siapa yang tahu?


  Bukan cinta monyet, tapi cinta seorang bocah kecil yang akan tumbuh dewasa.


Wassalamu'alaikum Wr. Wb.

Rabu, 20 Februari 2019

Sebuah Trotoar di Sudut Kota ini

Assalamu'alaikum Wr. Wb.

 Hidup tak selamanya soal apa yang kita inginkan, tak melulu soal ambisi. Hidup kadang juga memperhatikan hal-hal yang tak pernah dipikirkan sebelumnya. Soal bertahan hidup, menghadapi kerasnya dunia yang selama ini kita tahu tentang senang-senang dan kegelimpahan. Tapi, di sudut kota, masih banyak mereka yang merasakan dunia ini sebagai pil pahit yang harus diteguk setiap hari. Baju lusuh, badan kurus kerempeng, wajah kumal kelelahan, perut bergejolak minta dikasihani. Hal yang mungkin tak ingin orang lain lihat malah justru ingin kugali. Seberapa kita harus berperan dalam kehidupan yang terlampau singkat ini? jika cuma menyenangkan diri sendiri, kurasa kebahagiaan hakiki takkan pernah terjadi. Di sudut kota ini, masih banyak mereka yang melawan kejamnya dunia yang entah kenapa takdir selalu bekerja seperti itu. Selalu ada yang membuang karena tak membutuhkan sedangkan yang lain mengais sambil mengucap doa penuh syukur. Sesederhana itu, tapi maknanya sangatlah dalam.

  Di Jalan Merdeka, tempat kakiku menyusuri kota setelah kalah oleh hujan, suasana amatlah sunyi. Suara mesin dan klakson kendaraan seakan lenyap oleh angin yang bertiup membasuh wajah kota. Orang, kendaraan, berlalu lalang dengan dan tanpa tujuan. Aku selalu punya tujuan, jarang sekali bisa bepergian tanpa punya tujuan. Tapi, dikala trotoar masih basah dan langit yang perlahan menjingga, berjalan menyusuri kota layaknya ketentraman yang tak ada duanya, sekali-kali cobalah. Kota ini, selalu hangat walaupun udaranya kian menusuk jantung. Ditemani sisa ricik yang masih menempel di daun yang menolak digugurkan, langkahku kian melambat. Mengikuti jejak kedua orang di depanku, kupandangi semua yang ada di wajahku. Semua terasa damai sampai ketika aku tiba di ujung jalan, aku hendak menyebrang di zebra cross untuk sampai di sudut lain di Jalan Merdeka. Seorang pria bersama karung yang ia bawa di punggungnya menghampiriku, "Dek, saya lapar, belum makan." Sambil merintih ia berkata lirih. Aku pun tak tega, melihat parasnya yang tampak layu dan payah. Tapi, dikarenakan lampu hijau sudah hampir menyala, aku bergegas meninggalkan Bapak itu dan segera menyebrang ke sisi lain jalan. Sambil berjalan kupandangi Bapak itu yang seakan kembali menelan kekecewaan dan melangkahkan kaki yang tanpa dibungkus alas. Ada rasa sesal dalam hatiku yang menggangu, "Kenapa gak ku kasih uang aja ya tadi?" Sebenarnya aku ingin sekali memberi, tapi sisa uangku hanya cukup untuk membayar parkir motor yang nantinya akan mengantarkan aku pulang. Makanya aku mengurungkan niat membantu Bapak itu. Walaupun aku tak salah, tapi justru aku merasa sangat bersalah.

  Andai punya uang lebih, pastinya akan kubantu Bapak itu. Entahlah sepanjang jalan yang kutelusuri selanjutnya diwarnai rasa bersalah. Kenapa aku tak bisa menghapus derita orang lain? Bahagia itu sederhana. Sesederhana ketika melihat anak-anak kecil berlarian di masjid seraya belajar Al-Qur'an. Sesederhana melihat anak yang pulang lalu disambut peluk hangat ibunya yang sudah cemas menunggunya. Sesederhana menyaksikan senja dari beranda ditemani suara riuh anak-anak perumahan yang sedang bermain bola. Melihat orang lain bahagia di atas penderitaannya, juga termasuk kebahagiaan (bagiku) yang sangat berarti. Kelak aku ingin sukses, bukan semata-mata untuk diriku. Tapi juga untuk membahagiakan orang lain, menyaksikan senyum mengembang disetiap orang yang kita temui, menyaksikan penderitaan berganti menjadi kesenangan bersama. Sosok Gie juga yang menjadi inspirasiku, ia berani hidup dalam penderitaan agar ikut merasakan orang-orang yang benar-benar menderita. Aku selalu ingat dalam salah satu adegan film "GIE" dan juga ada di buku "Catatan Seorang Demonstran" yang ada adegan Gie melihat ada seseorang yang tengah memakan kulit mangga karena kelaparan. Karena kasihan Gie memberikan uang Rp 2,50 padahal uangnya saat itu pas-pasan. Dan kejadian itu terjadi sekitar 2 kilometer dari Istana Negara yang merupakan kediaman presiden. Ia menganggap tak adil bilamana masih ada saja orang yang memakan kulit mangga sedangkan "paduka" sedang menikmati santapan lezat bersama istri-istrinya yang cantik. Ia menyalahkan pemerintah dan kaum tua yang harus bertanggung jawab. Katanya generasi mudalah yang menanggung beban yang seharusnya diemban kaum tua. Ya, aku tahu Gie memang kurang senang dengan pemerintahan Soekarno. Tapi takkan kubahas soal politik, hanya tentang kemanusiaan.

  Aku tak ingin menentang pemerintah, aku tak mau menyalahkan pendahulu kita. Aku tak ingin menjadi Presiden, Gubernur atau kepala pemerintahan yang tugasnya menentramkan kota. Aku tak ingin jadi Robin Hood yang menjadi pahlawan orang-orang yang menderita. Aku tak mungkin bisa merubah takdir dan membuat semua orang menjadi orang yang bergelimang harta. Aku bukan Gie, aku tak mungkin menjadi Gie. Tapi aku bisa melakukan apa yang Gie lakukan dengan cara yang kubisa, cara yang sederhana. Cara agar setiap warga kota punya harta, yaitu senyum yang mengembang di antara pipinya. Senyum yang lebih menghangatkan kota, hingga rasa-rasanya saat akan meninggalkan pun dengan senyum kebahagiaan. Bukankah hakikatnya manusia ada untuk membantu manusia lain? membantu, hanya itu barangkali tujuan manusia lain Tuhan ciptakan. Agar beban hidup tak lagi terasa sebagai beban. Dengan memberi seorang pengamen yang walaupun tidak bersuara bagus, atau dengan memberi makan gelandangan yang meminta-minta. Memang, ada yang bilang jika orang yang meminta-minta tak mesti kita beri, beberapa orang berpendapat seperti itu. Alasannya karena nanti ia tak berusaha mencari pekerjaan. Dalam kasus ini, dalam membantu sesama, rasa-rasanya tak perlu kita terlalu mengaitkan hal macam itu. Jika ikhlas bukannya tak perlu berpikir panjang? Hanya membantu, itu saja. Hanya ingin senyum itu bisa mengembang dan ucapan terima kasih. Tapi bukan karena ingin diberi ucapan "terima kasih" tapi karena orang itu kini tersenyum tulus. Itu yang kumaksud membantu, membantu membuat dunia lebih baik dengan lebih banyak lekuk senyuman di atas penderitaan dan ketidakadilan.

  Tak ada yang salah dan benar dalam hidup ini. Semua perspektif bisa menilai dari kedua sudut itu. Tapi mari kita sepakati, bahwa membuat orang lain tersenyum di atas beban penderitaannya adalah perbuatan baik. Seakan kita turut bahagia menyaksikannya. Kini aku masih berjalan menyusuri Jalan Merdeka. Langit masih mendung, tapi kota masih saja sibuk. Entah apa yang mereka kejar, kebahagiaan macam apa yang mereka coba raih. Tapi, orang-orang itu mengajarkanku makna yang lebih berarti dari sekedar perjalanan, yaitu berhenti sejenak dan membantu sesama. Orang-orang itu mengajarkanku kecewa dengan keadaan itu sangat perlu dibatasi. Disaat kita membuang sesuatu, orang lain malah membutuhkannya. Disaat perut kita kenyang, orang lain berjuang demi sesuap nasi. Mereka mengajarkanku, bahwa memberi itu tak harus sesuatu yang besar dan mahal. Cukup dengan menukarkan kebahagiaan, senyuman barangkali. Dan tak perlu menjadi orang baik untuk berbuat baik, tak perlu menjadi orang jahat untuk berbuat jahat. Jadilah manusia biasa yang seutuhnya, tapi kalau mau jadi manusia luar biasa itu sangat tak ada salahnya. Yang diperlukan hanya sedikit rasa peka dan cinta kepada sekitar. Cinta tak melulu soal perempuan dan tahta, cinta itu adalah berbagi dengan sesama makhluk hidup. Dan aku yakin, semua orang adalah orang baik sesuai caranya masing-masing, bahkan pelaku kriminal sekalipun. Menjadi baik itu banyak caranya. Tapi, jika dengan melihat orang lain tersenyum di atas semua kesusahannya adalah sebuah kebaikan. Maka, akan sebisa mungkin akan kulakukan.


  Sore ini, di Jalan Merdeka.
  Dan yang ingin memerdekakan penderitaan.


Wasssalamu'alaikum Wr. Wb.

Jumat, 15 Februari 2019

Kita Bertumbuh

Assalamu'alaikum Wr. Wb.

   Sore, senyap, dingin, rintik, basah, hujan. Kata-kata apalagi yang mampu menafsirkan sore ini di kota Priangan? Sendu, mungkin. Bandung memang dingin, tapi kini makin dingin saja. Cepat, waktu berlalu terlalu cepat. 2019 sudah tergelincir di Februari, tak terasa masa SMA akan segera berakhir. Rasanya aku masih ingin berseragam putih abu-abu di sini. Menjalani rutinitas yang awalnya aku benci, lama-lama tak bisa kutanggalkan dari tubuhku. Bangun pagi (sering kesiangan) lalu memacu motor ke sekolah ditemani embun yang dingin. Jalanan macet yang selalu kunikmati dengan sepotong lagu 'Adhitia Sofyan', atau 'Alex Turner', dan musik menenangkan lainnya. Sampai di sekolah yang tenang, matahari sudah membuka matanya terang-terang. Atau kebiasaan datang ke tempat bimbel yang selalu membuatku bersemangat menghadapi ujian. Sial, semuanya kenapa cepat sekali berlalu? Jika bisa, aku ingin selamanya seperti ini. Menghadapi semua yang pelan-pelan menjadi ketergantungan. Aku ingin tinggal lebih lama lagi di sini. Aku ingin tetap menjadi anak bodoh yang terus datang ke sekolah. Aku ingin tetap ambisius dan datang ke tempat bimbel. Aku ingin tetap menikmati udara kota dengan lari pagi. Tak ada lagi yang kuinginkan, selain menetap lebih lama di sini.

  Begitu berartinya kota ini, sehingga rasa-rasanya punya daya gravitasi yang lebih kuat dari kota-kota sebelumnya. Apalagi setelah aku mendengar lagu "Forget Jakarta"-nya Adhitia Sofyan, aku makin yakin, bahwa aku bisa move-on dari Jakarta. Tapi jangan salah menerka, yang aku maksud biar aku bisa menjalani hidupku lebih baik dengan "melupakan Jakarta". Tapi, ya sebenarnya aku jelas tak pernah bisa melupakan Jakarta, rumahku di sana. Aku harus bisa melupakan segala kenangan buruk; entah itu patah hati, kegagalan, apapun hal buruk yang pernah terjadi di sana, harus ku buang jauh-jauh. Biarkan aku membuka peluang bagi kota lain untuk jadi keberhasilanku selanjutnya. Biarkan aku memberi kesempatan kota-kota lain untuk bisa memahamiku. Biarkan aku membuka hati agar cinta dan mimpi bisa kembali hidup di antara siang ramai dan malam yang gemulai. Juga, soal hati. Aku harus bisa menutup lembaran lama, harus meninggalkan yang harus aku tinggalkan. Harus bisa merelakan apa yang memang harus diikhlaskan. Harus bisa menghapus semua mendung yang lama bersarang di relung kepala yang menjamah jadi amarah tak bertuan. Aku harus bisa membuka hatiku, biar ada orang lain (di kota lain) yang bisa mengisinya. Kenapa? karena aku benar-benar susah sekali move-on dari Jakarta. Tapi setelah mendengar kata, "Maybe, it's time to move away", aku sadar. Biarkan semua, mau rasa yang sudah diungkapkan, atau rasa yang tak sempat diungkapkan, yang gagal bersarang, yang tak sampai, yang tak pernah sebagaimana yang kumau, selama itu di Jakarta, aku sudah seharusnya move-on. Aku tahu, kalian mungkin tahu, betapa berartinya Jakarta bagiku. Tapi jika hanya membuatku terus terbayang masa lalu dan tak bisa meraih masa depan dan menghadapi kenyataan? mengapa harus dipertahankan. Memang tak pernah mudah, aku tak tahu berapa bulan kuhabiskan merelakan semuanya. Yang pasti, hidup mesti terus berjalan, dimanapun itu. Akan selalu ada yang lebih baik, yakini. (ohiya coba deh, dengerin lagu Forget Jakarta, nanti mungkin bisa ngerti).

  Bandung, kini rumahku. Ayahku pernah bilang, ia sudah penat dengan Jakarta dan suatu saat ingin pindah ke kota lain. Aku sama sekali tak keberatan. Awalnya kupikir dengan meninggalkan Jakarta aku takkan pernah bisa utuh lagi. Tapi, kini sebaliknya. Bandung lebih memberi arti untukku, entah mengapa, aku tak mengerti. Makanya aku hanya berharap bisa lebih lama lagi di sini, semoga bisa melanjutkan kuliah di sini. Harapan tak selalu berakhir seperti yang dimau. Aku sudah memutuskan jika tak diterima kuliah di sini, Semarang dan Jogja adalah tujuan selanjutnya. Jakarta? aku ingin belajar hidup tanpa terlalu bergantung sesuatu lagi. Aku juga ingin menjelajahi kota-kota lainnya yang mungkin rezekiku ada di sana. Ayahku juga berpesan agar sebisa mungkin melanjutkan kuliah tidak di Jakarta. "Mau di Jakarta lagi? udah diluar aja, cari pengalaman," begitu kata ayahku. "Iya pah, dari lahir udah di Jakarta, mau eksplor tempat lain lagi," tegasku. Lama-lama aku bisa menjelma jadi manusia pada zaman "Paleolithikum", yang cara hidupnya selalu berpindah-pindah (no maden). Tapi karena Bandung sudah memberi rasa yang sangat spesial di hatiku, rasa-rasanya kini masih sangat berat untuk beranjak. Ya kotanya, orang-orangnya, semuanya sangat menyenangkan bagiku. Tapi, harusnya karena sudah beberapa kali berpindah seharusnya tak lagi begitu sulit. Iya, aku yakin juga begitu. Tapi kota ini terlalu spesial, aku sudah terlanjur jatuh cinta. Selayaknya sepasang kekasih yang menyayangi, bukankah begitu sulit untuk saling melepaskan. Aku yakin Bandung juga menerimaku sangat baik, aku bisa merasakannya. Dengan keramahan dan kesejukkan yang tak bisa kugambarkan secara nyata. Ikatan batin, urusan hati, selalu sulit diatasi.

  Sebenarnya mau di manapun nanti kakiku berdiri, seharusnya semua perjalanan ini membuatku semakin bertumbuh. Ya, kita mesti bertumbuh. Kita sama-sama dari embrio, tapi perkembangannya tak sama. Siap atau tidak, kita harus bertumbuh. Kenapa? karena akan ada fase di mana melepaskan semua masa kanak-kanak menjadi masa dewasa yang penuh resiko dan muslihat. Aku tak pernah siap, tapi aku juga tak mau tertinggal dengan orang lain. Kita harus bertumbuh, kita harus berani mengambil keputusan, berani keluar dari zona nyaman, berani melangkah walau kita takkan pernah tahu ada rintangan apa di depan sana. Bertumbuh... Bandung telah membantuku tumbuh menjadi orang yang lebih kuat, berani membuka mata dan menerima kenyataan sepahit apapun itu. Kota ini mengajarkan bahwa hidupku adalah yang ada di depanku, bukan selalu mereka yang pada keseharian tak bisa kusaksikan langsung. Kota ini mengajari bahwa harus menghargai keberadaan orang-orang di sekitar kita. Walau mereka adalah orang baru dihidup kita, tapi ternyata merekalah yang peduli. Kadang karena menganggap mereka adalah orang 'asing', sehingga kadang ironi sekali kita terlalu memikirkan orang yang jelas tak ada di keseharian dan mungkin tak peduli lagi dengan kita, sedekat apapun kita dahulu. Kota ini mengajarkan arti berani menghadapi hidup, tanpa bergantung pada orang lain. Ya, kuakui kita tetap butuh seseorang, tapi ada tak ada orang pun harus tetap membuktikan bahwa kita bisa terus maju. Aku bertumbuh, kamu bertumbuh, kita harus bertumbuh. Di manapun itu, dengan siapapun, kita harus bertumbuh!

  Jika akhirnya takdir berkata aku harus pergi lagi menyusuri kota lainnya, tak apa. Walau rasa berat hati dan sedih yang menumpuk akan menghampiri, berat meninggalkan yang sudah terlanjur dicintai. Tapi kita kan harus bertumbuh, kita harus mampu. Kenangan pasti akan selalu melintasi pikiran manusia. Seperti halnya Jakarta. Aku tegaskan lagi, aku hanya akan melupakan hal-hal yang kerap membuatku kehilangan arah dan gairah hidup. Aku tetap cinta Jakarta, itu adalah rumahku dan tempat semua keluarga dan teman-teman tercintaku berkumpul. Tapi, biarkan aku menjelajahi bumi ini, atau tidak, biarkan aku menetap di sini. Bukan tak cinta, hanya saja aku ingin menjadikan Jakarta hanya rumah, tujuan pulangku, untuk sementara ini. Tapi, bila suatu saat aku dapat pekerjaan di Jakarta dan menjanjikan, aku tak mungkin menolaknya. Jadi, tak perlu khawatir. Bandung merawatku dengan baik, orang-orangnya juga merawatku dengan sentuhan anggun. Kelak jika kalian akan meninggalkan Jakarta, coba hadapi. Kadang tak terlalu buruk juga, malah kadang lebih baik. Karena aku selalu yakin, dibalik kehilangan pasti akan digantikan sesuatu yang jauh lebih baik. Hanya tinggal bagaimana caranya kita pandai menerima. Caranya, jangan pernah berharap sesuatunya akan sama atau membandingkan dengan yang lama. Hadapi saja, nikmati, dan lupakan yang sekiranya tak terlalu mesti kau ingat. Agar bisa menerima keindahan dan keramahan kota-kota berikutnya yang mungkin aku atau kalian datangi. Asalkan satu, jangan pernah lupakan jalan menuju rumahmu.

  Kita (harus) bertumbuh, dari Kota Bandung,
  Dan semua yang hanyut dalam lagu dan langit mendung.


Wassalamu'alaikum Wr. Wb.

Sabtu, 09 Februari 2019

Guntur : Kecil-Kecil Cabe Rawit (3/3)

Assalamu'alaikum Wr. Wb.

  Sore sempat sedikit disiram gerimis, mungkin cuma kabut. Ya, kabut acapkali mengganggu kepala yang tengah merebahkan dirinya dari segala macam penat. Rasa khawatirku akan trek batu dan kerikil berubah menjadi rasa penasaran dan tak sabar segera ingin menyambanginya. Makin sulit, makin terpacu aku. Makin berat medannya, makin bahagia nantinya bila sampai di puncak tertinggi. Tapi malam ini, sepertinya doaku terkabul. Terlihat pemandangan kota dengan jelasnya, bintang bergelimangan tepat di atas kepalaku. Tak terlalu banyak bintang, tapi sudah cukup membuatku tak ingin beranjak kemana-mana. Ditemani sang rembulan yang kini tak lagi sendu karena teman-temannya sudah hadir membantunya menerangi dunia manusia yang disebut bumi. Kerlap-kerlip lampu kota juga tak kalah binarnya dengan para bintang di atas. Sungguh, terima kasih Tuhan. Rekan yang lain nampak dibuat takjub dan terharu melihat pemandangan yang mungkin saja di rumah mereka masing-masing tak ada. Rasa tenang juga bergelora menghilangkan semua penat dan resah. Alam sedang bersenandung, langit tengah tersenyum malam ini.

  Karena aku kasihan melihat Ponco memasak sendiri dan ia terus yang memasak, jadi aku menawarkan bantuanku agar aku bisa membantu mengurus makan malam terakhir di Guntur. Ia tanpa basa basi menyerahkan semua tugasnya padaku seakan melempar semua bebannya padaku. Ia langsung ke tenda dan mengambil kamera lalu mengambil foto karena suasana yang tengah bagus ini. Dasar barbar, aku berniat membantu malah di "kacungi." Tapi tak apa, memang aku kasihan saja melihat dia yang sedari kemarin mengurusi kami sampai tak sempat memanjakan dirinya sendiri. Mungkin sekarang momennya, aku pun sama sekali tak keberatan. Juga sedikit trauma karena tadi siang aku memberi tugas memasak nasi kepada Andri, malahan nasinya gosong sampai dasar nesting berwarna hitam. Untungnya nasi masih bisa dimakan, walau aku dan Ponco mendapat bagian "rengginang"nya. Maka dari itu lebih baik aku saja yang memasak nasi. Setelah makanan matang, tak sampai 10 menit kami melahap santapan. Mereka nampaknya benar-benar kelaparan. Sesudah makan Ponco dan rekan-rekan yang lain masih mengambil-ngambil gambar. Aku tak tertarik dan berniat untuk langsung beristirahat untuk summit besok. Ya, aku ingin benar-benar fit. Padahal waktu baru menunjukkan pukul 8 malam, tapi aku tak peduli. Sementara yang lain masih asik bermain, berbincang, mendengar lagu atau juga sekedar mendengar tetangga baru kita yang "berisik." Mereka sepertinya dari Bandung dan tak berbeda jauh umurnya dengan kita. Mereka acapkali berteriak dengan bahasa Sunda (aku dan Ponco mengerti, yang lainnya sepertinya tak mengerti) dan tertawa mendengar mereka mengucapkan bahasa Sunda.Memang lucu mendengarnya, apalagi mereka juga beradu argumen dengan tenda di belakang tenda Ade yang merupakan orang Sunda juga. Terjadilah Perang Badar, atau mungkin Perang Dingin, karena tak ada kontak fisik melainkan hanya saling olok yang memancing tawaku dan rekan-rekan.

  Oh iya aku lupa. Tadi sore kami kedatangan tamu spesial. Yaitu, Baginda Blek. Ya, ia adalah rekanku, Ade dan Ponco saat pendakian Pangrango. Blek juga teman lamaku di Jakarta saat masih SMA disana. Ia juga satu eskul dulu denganku, futsal. Ya walaupun tak begitu dekat juga dengan Blek, namun aku sudah mengenal dia dan ia juga sudah kenal baik denganku. Dan Blek juga harusnya ikut rombongan kami ke Guntur, karena ia juga yang mengusulkan setelah mendaki Pangrango untuk menyambangi Guntur. Tapi tiba-tiba beberapa hari sebelum mendaki ia membatalkan pendakian bersama kami dengan alasan yang tak jelas, aku sangat heran saat itu. Namun sebelum naik juga ia bilang kepadaku, "semoga ketemu di jalur ya a." Itu tandanya ia tetap ke Guntur tapi beda rombongan denganku. Sore tadi setelah aku mengambil air bersama Andri saat melewati tenda-tenda pendaki lain, lalu aku bertemu blek. Senang rasanya, namanya teman kalau bertemu pasti senang, apalagi di gunung. Setelah bertegur sapa dan berbasa-basi aku ajak Blek ke tenda dan menemui Ponco. Sesampainya di tenda aku membangunkan Ponco yang tengah lelap tertidur di tenda, "Nco, ada yang nyari noh." setengah sadar ia bangun dan agak kaget nampaknya, "Lah blek? nyampe juga lu, haha." Lalu kami menanyakan dia bersama siapa, dan ia menjawab ia bertiga bersama dua orang rekan yang tinggal dekat rumahnya dan baru mendaki, makanya ia membatalkan bersama kami karena kedua temannya itu meminta ia untuk menjadi leader. Tapi kenapa tak bilang saja ya? aneh kupikir, tapi ya sudahlah. Ia tak langsung kembali ke tenda, ia berbasa basi dulu sampai langit sudah mulai padam. Akhirnya ia izin kembali ke tenda dan berjanji untuk besok berangkat summit bersama denganku dan Ponco. Aku dan Ponco mengiyakan.

  Aku sudah tertidur pulas hingga terbangun oleh suara Arvyn, Barce juga mungkin Azki. Sekarang sekitar pukul 12, yang lain sepertinya sudah tidur. Mereka bertiga berisik sekali membahas tentang babi hutan yang katanya berkeliaran disekitar tenda kami. "Eh no ege tadi gua liat babi hutan, sumpah demi Allah, sumpah ce!" cakap Arvyn. "Iya apa?" Barce membalas ia nampaknya begitu panik. Azki malah ingin melihat dengan menyorotnya dengan senter. Entah benar atau tidak, suara di dekat tenda kami juga bising, mereka katanya ingin menangkap babi itu, gila. Bukannya menghindari, malah menantang, aneh-aneh saja. Bisa dibilang nekat tapi mungkin bagi beberapa orang itu adalah hal yang menarik dan memacu adrenaline. Aku jelas terganggu dan ternyata tetangga kami yang berisik itu masih berisik hingga tengah malam kini. Aku juga sempat parno bila tiba-tiba saja babi itu menyeruduk tenda dan aku sedang asyik berkabung dalam mimpi. Sempat terbesit pikiran seperti itu. Tapi, aku lebih takut lagi nanti dini hari kesiangan, lalu telat summit dan melewatkan sunrise yang sudah tak sabar ingin ku kecup di puncak nanti. Lalu aku kembali melanjutkan tidur yang terpotong.

view kota dari tenda

  Pukul 2 kurang aku sudah terbangun dari tidur. Langsung aku keluar tenda sembari mengumpulkan nyawa. Ini adalah waktunya summit. Aku membangunkan Ponco, ia sangat sulit dibangunkan bila sudah tidur. Setelah ia bangun, kami membangunkan Barce dan Andri agar kami bisa mengemas barang yang akan dibawa ke Puncak. Aku dan Ponco hanya membawa tas kecil untuk membawa sedikit makanan juga minum, dan benda-benda lainnya yang sekiranya dibutuhkan di atas. Ponco melihat persediaan air habis, maka ia memutuskan untuk mengisi air dulu. Lalu kami mengganjal perut dengan roti sebagai asupan untuk tenaga kami. Sekitar pukul 2.30 kami sudah siap berkemas, tinggal mengambil air dan merapikan bekas barang tadi yang kami keluarkan dari carrier. Karena rekan yang lain mendengar suara kami, alhasil semuanya bangun dan membantu kami mempersiapkan apa-apa yang akan dibawa. Pukul 2.45 Ponco memutuskan mengambil air karena sumber air ada di pos 3, beberapa meter dibawah tempat kami membangun tenda. Aku teringat Blek yang kemarin ingin summit bersama dan memutuskan Ponco untuk duluan mengambil air dan kami berjanji bertemu di awal jalur summit dari pos 3. Aku menunggu Blek sembari mengecek lagi barang-barang di tasku. Aku sudah berniat bila pukul 3 tepat ia tak menampakkan batang hidungnya, maka akan kutinggalkan. Sekarang pukul 3 bahkan lebih sedikit, aku pun bergegas menghampiri Ponco dan menitipkan pesan kepada rekan yang berada di tenda supaya jika Blek datang kemari bilang saja aku dan Ponco sudah berangkat. Aku berjalan ke bawah dengan iringan senter, dan akhirnya bertemu Ponco di pos 3 yang sudah menungguku dengan 2 botol minum penuh dengan amunisi air.

  Setelah berdoa, kami berangkat. Dengan punggung ditempeli tas kecil, tangan kanan memegang erat tracking pole, juga senter untuk menerangi jalan kami. Gelap, sudah pasti, di gunung tak ada lampu kecuali rembulan dan bintang. Kami memasuki trek ke puncak, awalnya masih banyak pohon dan rerumputan yang membantu kami menghindari terpeleset dari trek kerikil. Awalnya kami berdua, setelah berjalan beberapa menit kami bertemu rombongan lain dan tak sengaja untuk jalan berdampingan. Memang, betul-betul merepotkan trek satu ini. Lama-kelamaan pohon-pohon hilang, rerumputan tak lagi menjalar, hanya ada kerikil. Walau sudah dibantu trekking pole, tetap saja aku terpeleset, tak terhitung berapa kali wajahku hampir mencium tanah. Tak terhitung juga berapa langkah naikku dibalas dengan merosot turun ke bawah. Makin sulit, makin terpacu aku. Ponco nampaknya agak kelelahan, aku juga sebenarnya lelah dan jenuh, tapi aku sangat bersemangat hingga kerap Ponco jaraknya terpaut jauh denganku. Dalam kondisi ini tak mungkin aku meninggalkan Ponco, karena kita cuma berdua. Jika kenapa-kenapa tak akan ada yang membantu bila sendiri, itulah maksudnya di beberapa gunung ada larangan mendaki sendirian. Kami terus berjalan, berhenti, jalan lagi, berhenti. Begitu terus kami ulang, tapi semangat kami tak luntur. Langit masih gelap, bintang masih bergelimangan. Saat berhenti kumanfaatkan untuk sekedar menikmati keindahan ini.

 Ujung trek masih jauh dari pelupuk mata. Tapi aku selalu bilang, "ayo Nco, dikit lagi noh. Itu pohon terakhir!" Setengah geram Ponco berkata, "Bujug a, udah berapa kali lu ngomong gitu. Gua gapercaya kalo ada orang ngomong puncak noh di atas, puncak udah deket." Ponco makin geram. "Tapi kan emang puncak di atas, di bawah mah basecamp."Aku bercanda. "Iya a serah lu aja dah," ia menjawab seraya tertawa. Sepertinya sudah setengah dari trek lebih kami berjalan, lalu kami break untuk kesekian kali. Rombongan yang tadi bersama sudah tertinggal jauh karena langkah kami lebih cepat. Lalu kami melanjutkan lagi perjalanan. Aku yang baru bangkit dari dudukku karena berulang kali tergelincir, melihat Ponco diam sambil menyorotkan senternya ke salah satu semak-semak. "A, sini cepet!" Ponco sepertinya sedang menemukan sesuatu, lantas aku sigap menghampirinya. "Itu babi hutan kan a?"Aku cepat menerka, "Mana-mana?" aku bingung. Lalu Ponco menyorotkan senternya ke atas ke bawah. Benar, itu babi hutan, entah itu jantan atau betina aku tak tahu pasti, tapi benar babi hutan. Babi itu tengah tertidur pulas dibawah semak-semak. Tapi ukurannya tak terlalu besar, mungkin itu anak babi, entahlah. Aku takjub sekaligus ngeri karena baru kali ini melihat babi hutan sungguhan. "Et Nco jangan disorot mulu gila, ntar bangun. lu mau diseruduk?" Lalu, kami melanjutkan perjalanan lagi. Ada rasa ngeri bila saat tengah berjalan tiba-tiba kami bertemu lagi dengan babi hutan lainnya. Karena kata Ponco kita memang lewat dekat jalur "babi hutan." Yaitu seperti ada jalur, seperti jalur air, bagiku lebih seperti parit. Tapi kata Ponco itu memang dibuat untuk jalur babi agar tak berjalan di trek para pendaki. Entahlah, aku lebih yakin kalau itu jalur air, tapi biarlah. Yang jelas kini aku lebih was-was setelah melihat babi hutan tadi. Karena pasti akan ada babi-babi lainnya. Tapi rasa was-wasku sekali lagi kalah oleh gemuruh semangatku untuk segera sampai di Puncak.

  Setelah lelah berjerih payah, sekitar pukul 4.45 kami sampai di Puncak 1. Sungguh, bahagia keluar tak tertahankan. Ditengah angin yang sangat kencang aku berteriak kegirangan. Sungguh, pemandangannya sangat indah, mentari sudah mulai mau menampakkan dirinya. Tapi tujuan kami adalah puncak 3, jadi kami berjalan sedikit lagi ke atas. Sekitar pukul setengah 6 lebih, kami sampai di puncak tiga. ITU DIA!!! SUNRISE KAMI! kami berhasil. Kebahagiaan dan rasa haru menyelimuti kami. Tak peduli walau angin di Puncak sangat kencang sehingga hampir saja topiku terbang. Sungguh, anginnya kencang dan suhunya dingin. Tapi kebahagiaan dan mentari kembali menghangatkan kami.

Di Puncak Guntur bersama mentari yang agak malu-malu
ft. alang-alang
maafkan wajahku, ini salah mas-mas yang ambil foto. Tapi akan tetap ku abadikan untuk menghormati perjuangan kami dalam mengejar sunrise, Averyl dan Ponco.

   Aku sebenarnya ingin berlama-lama di Puncak. Tapi nampaknya Ponco sudah mulai kedinginan, aku menghargainya dan segera turun. Perjalanan turun hanya sekitar satu jam bahkan sepertinya hanya 40 menit. Perjalanan naik tadi sekitar 3 jam. Apalagi dari puncak satu ke pos 3 tempat kami camp, aku mengukur kira-kira hanya 20 menit. Memang begitu tipikal trek batuan kerikil nan pasir. Saat naik sangat sulit, tapi turun sangat dipermudah. Ya, alam memang selalu adil. Aku juga sambil berlari jadinya cepat, hehe. Sekitar jam 8 kami sampai tenda (kami baru turun sekitar jam 7 karena asik mengambil gambar). Kami langsung berbenah dan bersiap pulang. Tak ada sarapan, kami terlalu malas, hanya menghabiskan sisa snack saja. Sekitar pukul 10 kami sudah siap dan berkumpul untuk berdoa sebelum turun. Tak terasa, kami sudah ingin pulang lagi. Selesai berdoa kami rencananya ingin memberi sisa logistik ke Blek, tapi ia tak ada, nampaknya ia masih di atas atau mungkin sudah pulang duluan. Oh ya, sampah tak lupa kami bawa turun. Sampah kami maupun bukan, yang berada di area tenda kami, kami kumpulkan dan dimasukkan ke trashbag. "Jangan tinggalkan apapun kecuali jejak!" itu kata-kata yang selalu aku ingat agar supaya kita bisa melestarikan alam dengan tak meninggalkan sampah.

  Kami turun, tapi mampir dulu ke Curug, itu karena permintaanku. Karena dari semua rekan cuma aku, Ade dan Alby yang belum melihat langsung curug itu. Aku bilang aku belum tentu lagi kesini, makanya aku tak mau sedikitpun melewatkan momen terbaik disini. Setelah cuci muka, bersantai dan minum air sampai puas, kami lanjut turun. Tak butuh waktu lama kami sampai di pos 1 tempat perizinan dan kami laporan. Tadi sempat hujan sebentar, tapi deras yang membuat kami berteduh di warung beberapa meter sebelum pos satu. Sambil menunggu hujan, kami melahap gorengan dengan lahap karena kami semua belum sarapan. Setelah perizinan beres, kami meluncur ke basecamp. Disini terbagi lagi kaum cepat dan lambat. Yang cepat mungkin karena tak sabar ingin makan di basecamp. Aku termasuk yang cepat. Sesampainya di basecamp kami mandi, ganti baju, dan makan. Hujan turun deras sekali di basecamp. Aku berpikir pas sekali kami sudah sampai sini baru hujan menumpahkan keresahannya, sangat deras. Memang kami mendaki saat musim hujan, jadi tak heran. Tapi syukurnya di atas kami tak kebagian hujan deras, hanya gerimis kecil saja. Setelah kenyang dan bersih-bersih. Kami berjalan menuju gapura desa seperti yang kami lakukan saat berangkat untuk pulang ke Jakarta. Aku juga merasa dengan berjalan kami bisa makin mengenal satu sama lain. Jarak jauh, beban berat tak akan terasa bila dihadapi bersama teman-teman dan dihiasi canda tawa yang ikhlas. Sungguh sangat menyenangkan.

  Kami sudah di gapura dan tengah menunggu bis. Saat itu teringat dibenakku bahwa kami belum mengambil gambar semua rekan-rekan pendakian. Lalu, Ponco selaku sang fotografer langsung menyuruh kami berdiri berjejeran. "Satu..Dua..Tig..." saat ia hendak mengambil gambar aku tiba-tiba berteriak, "Eh itu jurusan Lebak Bulus ayo cepet ntar nunggu lagi lama." Semua buyar dan langsung mencari carriernya yang disandarkan di dinding dan siap-siap naik bis karena sudah terlalu lelah dan ingin segera pulang. Alhasil, kami tak jadi mengabadikan gambar kami. Sampai di Jakarta kami pun tak sempat berfoto karena jalanan penuh dan para mobil sudah meng-klakson. Kami tak ingin membuat keributan dan angkot jurusan ke rumah masing-masing juga sudah menunggu. Akhirnya ucapan kata "terima kasih." Atau, "semoga ketemu di pendakian selanjutnya!" lah yang keluar dari mulut masing-masing. Diiringi jabat tangan, kami berpisah. Ya, mungkin baru kali ini aku mendaki tapi tak ada foto "full-team"nya. Tapi, senang rasanya walau baru sebentar bertemu, kami layaknya saudara. Gunung memang selalu istimewa dimataku. Selalu membuat pertemanan jadi lebih mudah, selalu membuat hal yang tak berarti menjadi begitu berarti, selalu memberikan pelajaran yang tak tergantikan. Guntur, terima kasih atas semuanya, bersua lagi atau tidak, kau akan tetap kuingat. Sekali lagi, terima kasih Guntur.

Guntur, 2018.

Wassalamu'alaikum Wr. Wb.