Hidup tak selamanya soal apa yang kita inginkan, tak melulu soal ambisi. Hidup kadang juga memperhatikan hal-hal yang tak pernah dipikirkan sebelumnya. Soal bertahan hidup, menghadapi kerasnya dunia yang selama ini kita tahu tentang senang-senang dan kegelimpahan. Tapi, di sudut kota, masih banyak mereka yang merasakan dunia ini sebagai pil pahit yang harus diteguk setiap hari. Baju lusuh, badan kurus kerempeng, wajah kumal kelelahan, perut bergejolak minta dikasihani. Hal yang mungkin tak ingin orang lain lihat malah justru ingin kugali. Seberapa kita harus berperan dalam kehidupan yang terlampau singkat ini? jika cuma menyenangkan diri sendiri, kurasa kebahagiaan hakiki takkan pernah terjadi. Di sudut kota ini, masih banyak mereka yang melawan kejamnya dunia yang entah kenapa takdir selalu bekerja seperti itu. Selalu ada yang membuang karena tak membutuhkan sedangkan yang lain mengais sambil mengucap doa penuh syukur. Sesederhana itu, tapi maknanya sangatlah dalam.
Di Jalan Merdeka, tempat kakiku menyusuri kota setelah kalah oleh hujan, suasana amatlah sunyi. Suara mesin dan klakson kendaraan seakan lenyap oleh angin yang bertiup membasuh wajah kota. Orang, kendaraan, berlalu lalang dengan dan tanpa tujuan. Aku selalu punya tujuan, jarang sekali bisa bepergian tanpa punya tujuan. Tapi, dikala trotoar masih basah dan langit yang perlahan menjingga, berjalan menyusuri kota layaknya ketentraman yang tak ada duanya, sekali-kali cobalah. Kota ini, selalu hangat walaupun udaranya kian menusuk jantung. Ditemani sisa ricik yang masih menempel di daun yang menolak digugurkan, langkahku kian melambat. Mengikuti jejak kedua orang di depanku, kupandangi semua yang ada di wajahku. Semua terasa damai sampai ketika aku tiba di ujung jalan, aku hendak menyebrang di zebra cross untuk sampai di sudut lain di Jalan Merdeka. Seorang pria bersama karung yang ia bawa di punggungnya menghampiriku, "Dek, saya lapar, belum makan." Sambil merintih ia berkata lirih. Aku pun tak tega, melihat parasnya yang tampak layu dan payah. Tapi, dikarenakan lampu hijau sudah hampir menyala, aku bergegas meninggalkan Bapak itu dan segera menyebrang ke sisi lain jalan. Sambil berjalan kupandangi Bapak itu yang seakan kembali menelan kekecewaan dan melangkahkan kaki yang tanpa dibungkus alas. Ada rasa sesal dalam hatiku yang menggangu, "Kenapa gak ku kasih uang aja ya tadi?" Sebenarnya aku ingin sekali memberi, tapi sisa uangku hanya cukup untuk membayar parkir motor yang nantinya akan mengantarkan aku pulang. Makanya aku mengurungkan niat membantu Bapak itu. Walaupun aku tak salah, tapi justru aku merasa sangat bersalah.
Andai punya uang lebih, pastinya akan kubantu Bapak itu. Entahlah sepanjang jalan yang kutelusuri selanjutnya diwarnai rasa bersalah. Kenapa aku tak bisa menghapus derita orang lain? Bahagia itu sederhana. Sesederhana ketika melihat anak-anak kecil berlarian di masjid seraya belajar Al-Qur'an. Sesederhana melihat anak yang pulang lalu disambut peluk hangat ibunya yang sudah cemas menunggunya. Sesederhana menyaksikan senja dari beranda ditemani suara riuh anak-anak perumahan yang sedang bermain bola. Melihat orang lain bahagia di atas penderitaannya, juga termasuk kebahagiaan (bagiku) yang sangat berarti. Kelak aku ingin sukses, bukan semata-mata untuk diriku. Tapi juga untuk membahagiakan orang lain, menyaksikan senyum mengembang disetiap orang yang kita temui, menyaksikan penderitaan berganti menjadi kesenangan bersama. Sosok Gie juga yang menjadi inspirasiku, ia berani hidup dalam penderitaan agar ikut merasakan orang-orang yang benar-benar menderita. Aku selalu ingat dalam salah satu adegan film "GIE" dan juga ada di buku "Catatan Seorang Demonstran" yang ada adegan Gie melihat ada seseorang yang tengah memakan kulit mangga karena kelaparan. Karena kasihan Gie memberikan uang Rp 2,50 padahal uangnya saat itu pas-pasan. Dan kejadian itu terjadi sekitar 2 kilometer dari Istana Negara yang merupakan kediaman presiden. Ia menganggap tak adil bilamana masih ada saja orang yang memakan kulit mangga sedangkan "paduka" sedang menikmati santapan lezat bersama istri-istrinya yang cantik. Ia menyalahkan pemerintah dan kaum tua yang harus bertanggung jawab. Katanya generasi mudalah yang menanggung beban yang seharusnya diemban kaum tua. Ya, aku tahu Gie memang kurang senang dengan pemerintahan Soekarno. Tapi takkan kubahas soal politik, hanya tentang kemanusiaan.
Aku tak ingin menentang pemerintah, aku tak mau menyalahkan pendahulu kita. Aku tak ingin menjadi Presiden, Gubernur atau kepala pemerintahan yang tugasnya menentramkan kota. Aku tak ingin jadi Robin Hood yang menjadi pahlawan orang-orang yang menderita. Aku tak mungkin bisa merubah takdir dan membuat semua orang menjadi orang yang bergelimang harta. Aku bukan Gie, aku tak mungkin menjadi Gie. Tapi aku bisa melakukan apa yang Gie lakukan dengan cara yang kubisa, cara yang sederhana. Cara agar setiap warga kota punya harta, yaitu senyum yang mengembang di antara pipinya. Senyum yang lebih menghangatkan kota, hingga rasa-rasanya saat akan meninggalkan pun dengan senyum kebahagiaan. Bukankah hakikatnya manusia ada untuk membantu manusia lain? membantu, hanya itu barangkali tujuan manusia lain Tuhan ciptakan. Agar beban hidup tak lagi terasa sebagai beban. Dengan memberi seorang pengamen yang walaupun tidak bersuara bagus, atau dengan memberi makan gelandangan yang meminta-minta. Memang, ada yang bilang jika orang yang meminta-minta tak mesti kita beri, beberapa orang berpendapat seperti itu. Alasannya karena nanti ia tak berusaha mencari pekerjaan. Dalam kasus ini, dalam membantu sesama, rasa-rasanya tak perlu kita terlalu mengaitkan hal macam itu. Jika ikhlas bukannya tak perlu berpikir panjang? Hanya membantu, itu saja. Hanya ingin senyum itu bisa mengembang dan ucapan terima kasih. Tapi bukan karena ingin diberi ucapan "terima kasih" tapi karena orang itu kini tersenyum tulus. Itu yang kumaksud membantu, membantu membuat dunia lebih baik dengan lebih banyak lekuk senyuman di atas penderitaan dan ketidakadilan.
Tak ada yang salah dan benar dalam hidup ini. Semua perspektif bisa menilai dari kedua sudut itu. Tapi mari kita sepakati, bahwa membuat orang lain tersenyum di atas beban penderitaannya adalah perbuatan baik. Seakan kita turut bahagia menyaksikannya. Kini aku masih berjalan menyusuri Jalan Merdeka. Langit masih mendung, tapi kota masih saja sibuk. Entah apa yang mereka kejar, kebahagiaan macam apa yang mereka coba raih. Tapi, orang-orang itu mengajarkanku makna yang lebih berarti dari sekedar perjalanan, yaitu berhenti sejenak dan membantu sesama. Orang-orang itu mengajarkanku kecewa dengan keadaan itu sangat perlu dibatasi. Disaat kita membuang sesuatu, orang lain malah membutuhkannya. Disaat perut kita kenyang, orang lain berjuang demi sesuap nasi. Mereka mengajarkanku, bahwa memberi itu tak harus sesuatu yang besar dan mahal. Cukup dengan menukarkan kebahagiaan, senyuman barangkali. Dan tak perlu menjadi orang baik untuk berbuat baik, tak perlu menjadi orang jahat untuk berbuat jahat. Jadilah manusia biasa yang seutuhnya, tapi kalau mau jadi manusia luar biasa itu sangat tak ada salahnya. Yang diperlukan hanya sedikit rasa peka dan cinta kepada sekitar. Cinta tak melulu soal perempuan dan tahta, cinta itu adalah berbagi dengan sesama makhluk hidup. Dan aku yakin, semua orang adalah orang baik sesuai caranya masing-masing, bahkan pelaku kriminal sekalipun. Menjadi baik itu banyak caranya. Tapi, jika dengan melihat orang lain tersenyum di atas semua kesusahannya adalah sebuah kebaikan. Maka, akan sebisa mungkin akan kulakukan.
Sore ini, di Jalan Merdeka.
Dan yang ingin memerdekakan penderitaan.
Wasssalamu'alaikum Wr. Wb.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar