Sabtu, 09 Februari 2019

Guntur : Kecil-Kecil Cabe Rawit (3/3)

Assalamu'alaikum Wr. Wb.

  Sore sempat sedikit disiram gerimis, mungkin cuma kabut. Ya, kabut acapkali mengganggu kepala yang tengah merebahkan dirinya dari segala macam penat. Rasa khawatirku akan trek batu dan kerikil berubah menjadi rasa penasaran dan tak sabar segera ingin menyambanginya. Makin sulit, makin terpacu aku. Makin berat medannya, makin bahagia nantinya bila sampai di puncak tertinggi. Tapi malam ini, sepertinya doaku terkabul. Terlihat pemandangan kota dengan jelasnya, bintang bergelimangan tepat di atas kepalaku. Tak terlalu banyak bintang, tapi sudah cukup membuatku tak ingin beranjak kemana-mana. Ditemani sang rembulan yang kini tak lagi sendu karena teman-temannya sudah hadir membantunya menerangi dunia manusia yang disebut bumi. Kerlap-kerlip lampu kota juga tak kalah binarnya dengan para bintang di atas. Sungguh, terima kasih Tuhan. Rekan yang lain nampak dibuat takjub dan terharu melihat pemandangan yang mungkin saja di rumah mereka masing-masing tak ada. Rasa tenang juga bergelora menghilangkan semua penat dan resah. Alam sedang bersenandung, langit tengah tersenyum malam ini.

  Karena aku kasihan melihat Ponco memasak sendiri dan ia terus yang memasak, jadi aku menawarkan bantuanku agar aku bisa membantu mengurus makan malam terakhir di Guntur. Ia tanpa basa basi menyerahkan semua tugasnya padaku seakan melempar semua bebannya padaku. Ia langsung ke tenda dan mengambil kamera lalu mengambil foto karena suasana yang tengah bagus ini. Dasar barbar, aku berniat membantu malah di "kacungi." Tapi tak apa, memang aku kasihan saja melihat dia yang sedari kemarin mengurusi kami sampai tak sempat memanjakan dirinya sendiri. Mungkin sekarang momennya, aku pun sama sekali tak keberatan. Juga sedikit trauma karena tadi siang aku memberi tugas memasak nasi kepada Andri, malahan nasinya gosong sampai dasar nesting berwarna hitam. Untungnya nasi masih bisa dimakan, walau aku dan Ponco mendapat bagian "rengginang"nya. Maka dari itu lebih baik aku saja yang memasak nasi. Setelah makanan matang, tak sampai 10 menit kami melahap santapan. Mereka nampaknya benar-benar kelaparan. Sesudah makan Ponco dan rekan-rekan yang lain masih mengambil-ngambil gambar. Aku tak tertarik dan berniat untuk langsung beristirahat untuk summit besok. Ya, aku ingin benar-benar fit. Padahal waktu baru menunjukkan pukul 8 malam, tapi aku tak peduli. Sementara yang lain masih asik bermain, berbincang, mendengar lagu atau juga sekedar mendengar tetangga baru kita yang "berisik." Mereka sepertinya dari Bandung dan tak berbeda jauh umurnya dengan kita. Mereka acapkali berteriak dengan bahasa Sunda (aku dan Ponco mengerti, yang lainnya sepertinya tak mengerti) dan tertawa mendengar mereka mengucapkan bahasa Sunda.Memang lucu mendengarnya, apalagi mereka juga beradu argumen dengan tenda di belakang tenda Ade yang merupakan orang Sunda juga. Terjadilah Perang Badar, atau mungkin Perang Dingin, karena tak ada kontak fisik melainkan hanya saling olok yang memancing tawaku dan rekan-rekan.

  Oh iya aku lupa. Tadi sore kami kedatangan tamu spesial. Yaitu, Baginda Blek. Ya, ia adalah rekanku, Ade dan Ponco saat pendakian Pangrango. Blek juga teman lamaku di Jakarta saat masih SMA disana. Ia juga satu eskul dulu denganku, futsal. Ya walaupun tak begitu dekat juga dengan Blek, namun aku sudah mengenal dia dan ia juga sudah kenal baik denganku. Dan Blek juga harusnya ikut rombongan kami ke Guntur, karena ia juga yang mengusulkan setelah mendaki Pangrango untuk menyambangi Guntur. Tapi tiba-tiba beberapa hari sebelum mendaki ia membatalkan pendakian bersama kami dengan alasan yang tak jelas, aku sangat heran saat itu. Namun sebelum naik juga ia bilang kepadaku, "semoga ketemu di jalur ya a." Itu tandanya ia tetap ke Guntur tapi beda rombongan denganku. Sore tadi setelah aku mengambil air bersama Andri saat melewati tenda-tenda pendaki lain, lalu aku bertemu blek. Senang rasanya, namanya teman kalau bertemu pasti senang, apalagi di gunung. Setelah bertegur sapa dan berbasa-basi aku ajak Blek ke tenda dan menemui Ponco. Sesampainya di tenda aku membangunkan Ponco yang tengah lelap tertidur di tenda, "Nco, ada yang nyari noh." setengah sadar ia bangun dan agak kaget nampaknya, "Lah blek? nyampe juga lu, haha." Lalu kami menanyakan dia bersama siapa, dan ia menjawab ia bertiga bersama dua orang rekan yang tinggal dekat rumahnya dan baru mendaki, makanya ia membatalkan bersama kami karena kedua temannya itu meminta ia untuk menjadi leader. Tapi kenapa tak bilang saja ya? aneh kupikir, tapi ya sudahlah. Ia tak langsung kembali ke tenda, ia berbasa basi dulu sampai langit sudah mulai padam. Akhirnya ia izin kembali ke tenda dan berjanji untuk besok berangkat summit bersama denganku dan Ponco. Aku dan Ponco mengiyakan.

  Aku sudah tertidur pulas hingga terbangun oleh suara Arvyn, Barce juga mungkin Azki. Sekarang sekitar pukul 12, yang lain sepertinya sudah tidur. Mereka bertiga berisik sekali membahas tentang babi hutan yang katanya berkeliaran disekitar tenda kami. "Eh no ege tadi gua liat babi hutan, sumpah demi Allah, sumpah ce!" cakap Arvyn. "Iya apa?" Barce membalas ia nampaknya begitu panik. Azki malah ingin melihat dengan menyorotnya dengan senter. Entah benar atau tidak, suara di dekat tenda kami juga bising, mereka katanya ingin menangkap babi itu, gila. Bukannya menghindari, malah menantang, aneh-aneh saja. Bisa dibilang nekat tapi mungkin bagi beberapa orang itu adalah hal yang menarik dan memacu adrenaline. Aku jelas terganggu dan ternyata tetangga kami yang berisik itu masih berisik hingga tengah malam kini. Aku juga sempat parno bila tiba-tiba saja babi itu menyeruduk tenda dan aku sedang asyik berkabung dalam mimpi. Sempat terbesit pikiran seperti itu. Tapi, aku lebih takut lagi nanti dini hari kesiangan, lalu telat summit dan melewatkan sunrise yang sudah tak sabar ingin ku kecup di puncak nanti. Lalu aku kembali melanjutkan tidur yang terpotong.

view kota dari tenda

  Pukul 2 kurang aku sudah terbangun dari tidur. Langsung aku keluar tenda sembari mengumpulkan nyawa. Ini adalah waktunya summit. Aku membangunkan Ponco, ia sangat sulit dibangunkan bila sudah tidur. Setelah ia bangun, kami membangunkan Barce dan Andri agar kami bisa mengemas barang yang akan dibawa ke Puncak. Aku dan Ponco hanya membawa tas kecil untuk membawa sedikit makanan juga minum, dan benda-benda lainnya yang sekiranya dibutuhkan di atas. Ponco melihat persediaan air habis, maka ia memutuskan untuk mengisi air dulu. Lalu kami mengganjal perut dengan roti sebagai asupan untuk tenaga kami. Sekitar pukul 2.30 kami sudah siap berkemas, tinggal mengambil air dan merapikan bekas barang tadi yang kami keluarkan dari carrier. Karena rekan yang lain mendengar suara kami, alhasil semuanya bangun dan membantu kami mempersiapkan apa-apa yang akan dibawa. Pukul 2.45 Ponco memutuskan mengambil air karena sumber air ada di pos 3, beberapa meter dibawah tempat kami membangun tenda. Aku teringat Blek yang kemarin ingin summit bersama dan memutuskan Ponco untuk duluan mengambil air dan kami berjanji bertemu di awal jalur summit dari pos 3. Aku menunggu Blek sembari mengecek lagi barang-barang di tasku. Aku sudah berniat bila pukul 3 tepat ia tak menampakkan batang hidungnya, maka akan kutinggalkan. Sekarang pukul 3 bahkan lebih sedikit, aku pun bergegas menghampiri Ponco dan menitipkan pesan kepada rekan yang berada di tenda supaya jika Blek datang kemari bilang saja aku dan Ponco sudah berangkat. Aku berjalan ke bawah dengan iringan senter, dan akhirnya bertemu Ponco di pos 3 yang sudah menungguku dengan 2 botol minum penuh dengan amunisi air.

  Setelah berdoa, kami berangkat. Dengan punggung ditempeli tas kecil, tangan kanan memegang erat tracking pole, juga senter untuk menerangi jalan kami. Gelap, sudah pasti, di gunung tak ada lampu kecuali rembulan dan bintang. Kami memasuki trek ke puncak, awalnya masih banyak pohon dan rerumputan yang membantu kami menghindari terpeleset dari trek kerikil. Awalnya kami berdua, setelah berjalan beberapa menit kami bertemu rombongan lain dan tak sengaja untuk jalan berdampingan. Memang, betul-betul merepotkan trek satu ini. Lama-kelamaan pohon-pohon hilang, rerumputan tak lagi menjalar, hanya ada kerikil. Walau sudah dibantu trekking pole, tetap saja aku terpeleset, tak terhitung berapa kali wajahku hampir mencium tanah. Tak terhitung juga berapa langkah naikku dibalas dengan merosot turun ke bawah. Makin sulit, makin terpacu aku. Ponco nampaknya agak kelelahan, aku juga sebenarnya lelah dan jenuh, tapi aku sangat bersemangat hingga kerap Ponco jaraknya terpaut jauh denganku. Dalam kondisi ini tak mungkin aku meninggalkan Ponco, karena kita cuma berdua. Jika kenapa-kenapa tak akan ada yang membantu bila sendiri, itulah maksudnya di beberapa gunung ada larangan mendaki sendirian. Kami terus berjalan, berhenti, jalan lagi, berhenti. Begitu terus kami ulang, tapi semangat kami tak luntur. Langit masih gelap, bintang masih bergelimangan. Saat berhenti kumanfaatkan untuk sekedar menikmati keindahan ini.

 Ujung trek masih jauh dari pelupuk mata. Tapi aku selalu bilang, "ayo Nco, dikit lagi noh. Itu pohon terakhir!" Setengah geram Ponco berkata, "Bujug a, udah berapa kali lu ngomong gitu. Gua gapercaya kalo ada orang ngomong puncak noh di atas, puncak udah deket." Ponco makin geram. "Tapi kan emang puncak di atas, di bawah mah basecamp."Aku bercanda. "Iya a serah lu aja dah," ia menjawab seraya tertawa. Sepertinya sudah setengah dari trek lebih kami berjalan, lalu kami break untuk kesekian kali. Rombongan yang tadi bersama sudah tertinggal jauh karena langkah kami lebih cepat. Lalu kami melanjutkan lagi perjalanan. Aku yang baru bangkit dari dudukku karena berulang kali tergelincir, melihat Ponco diam sambil menyorotkan senternya ke salah satu semak-semak. "A, sini cepet!" Ponco sepertinya sedang menemukan sesuatu, lantas aku sigap menghampirinya. "Itu babi hutan kan a?"Aku cepat menerka, "Mana-mana?" aku bingung. Lalu Ponco menyorotkan senternya ke atas ke bawah. Benar, itu babi hutan, entah itu jantan atau betina aku tak tahu pasti, tapi benar babi hutan. Babi itu tengah tertidur pulas dibawah semak-semak. Tapi ukurannya tak terlalu besar, mungkin itu anak babi, entahlah. Aku takjub sekaligus ngeri karena baru kali ini melihat babi hutan sungguhan. "Et Nco jangan disorot mulu gila, ntar bangun. lu mau diseruduk?" Lalu, kami melanjutkan perjalanan lagi. Ada rasa ngeri bila saat tengah berjalan tiba-tiba kami bertemu lagi dengan babi hutan lainnya. Karena kata Ponco kita memang lewat dekat jalur "babi hutan." Yaitu seperti ada jalur, seperti jalur air, bagiku lebih seperti parit. Tapi kata Ponco itu memang dibuat untuk jalur babi agar tak berjalan di trek para pendaki. Entahlah, aku lebih yakin kalau itu jalur air, tapi biarlah. Yang jelas kini aku lebih was-was setelah melihat babi hutan tadi. Karena pasti akan ada babi-babi lainnya. Tapi rasa was-wasku sekali lagi kalah oleh gemuruh semangatku untuk segera sampai di Puncak.

  Setelah lelah berjerih payah, sekitar pukul 4.45 kami sampai di Puncak 1. Sungguh, bahagia keluar tak tertahankan. Ditengah angin yang sangat kencang aku berteriak kegirangan. Sungguh, pemandangannya sangat indah, mentari sudah mulai mau menampakkan dirinya. Tapi tujuan kami adalah puncak 3, jadi kami berjalan sedikit lagi ke atas. Sekitar pukul setengah 6 lebih, kami sampai di puncak tiga. ITU DIA!!! SUNRISE KAMI! kami berhasil. Kebahagiaan dan rasa haru menyelimuti kami. Tak peduli walau angin di Puncak sangat kencang sehingga hampir saja topiku terbang. Sungguh, anginnya kencang dan suhunya dingin. Tapi kebahagiaan dan mentari kembali menghangatkan kami.

Di Puncak Guntur bersama mentari yang agak malu-malu
ft. alang-alang
maafkan wajahku, ini salah mas-mas yang ambil foto. Tapi akan tetap ku abadikan untuk menghormati perjuangan kami dalam mengejar sunrise, Averyl dan Ponco.

   Aku sebenarnya ingin berlama-lama di Puncak. Tapi nampaknya Ponco sudah mulai kedinginan, aku menghargainya dan segera turun. Perjalanan turun hanya sekitar satu jam bahkan sepertinya hanya 40 menit. Perjalanan naik tadi sekitar 3 jam. Apalagi dari puncak satu ke pos 3 tempat kami camp, aku mengukur kira-kira hanya 20 menit. Memang begitu tipikal trek batuan kerikil nan pasir. Saat naik sangat sulit, tapi turun sangat dipermudah. Ya, alam memang selalu adil. Aku juga sambil berlari jadinya cepat, hehe. Sekitar jam 8 kami sampai tenda (kami baru turun sekitar jam 7 karena asik mengambil gambar). Kami langsung berbenah dan bersiap pulang. Tak ada sarapan, kami terlalu malas, hanya menghabiskan sisa snack saja. Sekitar pukul 10 kami sudah siap dan berkumpul untuk berdoa sebelum turun. Tak terasa, kami sudah ingin pulang lagi. Selesai berdoa kami rencananya ingin memberi sisa logistik ke Blek, tapi ia tak ada, nampaknya ia masih di atas atau mungkin sudah pulang duluan. Oh ya, sampah tak lupa kami bawa turun. Sampah kami maupun bukan, yang berada di area tenda kami, kami kumpulkan dan dimasukkan ke trashbag. "Jangan tinggalkan apapun kecuali jejak!" itu kata-kata yang selalu aku ingat agar supaya kita bisa melestarikan alam dengan tak meninggalkan sampah.

  Kami turun, tapi mampir dulu ke Curug, itu karena permintaanku. Karena dari semua rekan cuma aku, Ade dan Alby yang belum melihat langsung curug itu. Aku bilang aku belum tentu lagi kesini, makanya aku tak mau sedikitpun melewatkan momen terbaik disini. Setelah cuci muka, bersantai dan minum air sampai puas, kami lanjut turun. Tak butuh waktu lama kami sampai di pos 1 tempat perizinan dan kami laporan. Tadi sempat hujan sebentar, tapi deras yang membuat kami berteduh di warung beberapa meter sebelum pos satu. Sambil menunggu hujan, kami melahap gorengan dengan lahap karena kami semua belum sarapan. Setelah perizinan beres, kami meluncur ke basecamp. Disini terbagi lagi kaum cepat dan lambat. Yang cepat mungkin karena tak sabar ingin makan di basecamp. Aku termasuk yang cepat. Sesampainya di basecamp kami mandi, ganti baju, dan makan. Hujan turun deras sekali di basecamp. Aku berpikir pas sekali kami sudah sampai sini baru hujan menumpahkan keresahannya, sangat deras. Memang kami mendaki saat musim hujan, jadi tak heran. Tapi syukurnya di atas kami tak kebagian hujan deras, hanya gerimis kecil saja. Setelah kenyang dan bersih-bersih. Kami berjalan menuju gapura desa seperti yang kami lakukan saat berangkat untuk pulang ke Jakarta. Aku juga merasa dengan berjalan kami bisa makin mengenal satu sama lain. Jarak jauh, beban berat tak akan terasa bila dihadapi bersama teman-teman dan dihiasi canda tawa yang ikhlas. Sungguh sangat menyenangkan.

  Kami sudah di gapura dan tengah menunggu bis. Saat itu teringat dibenakku bahwa kami belum mengambil gambar semua rekan-rekan pendakian. Lalu, Ponco selaku sang fotografer langsung menyuruh kami berdiri berjejeran. "Satu..Dua..Tig..." saat ia hendak mengambil gambar aku tiba-tiba berteriak, "Eh itu jurusan Lebak Bulus ayo cepet ntar nunggu lagi lama." Semua buyar dan langsung mencari carriernya yang disandarkan di dinding dan siap-siap naik bis karena sudah terlalu lelah dan ingin segera pulang. Alhasil, kami tak jadi mengabadikan gambar kami. Sampai di Jakarta kami pun tak sempat berfoto karena jalanan penuh dan para mobil sudah meng-klakson. Kami tak ingin membuat keributan dan angkot jurusan ke rumah masing-masing juga sudah menunggu. Akhirnya ucapan kata "terima kasih." Atau, "semoga ketemu di pendakian selanjutnya!" lah yang keluar dari mulut masing-masing. Diiringi jabat tangan, kami berpisah. Ya, mungkin baru kali ini aku mendaki tapi tak ada foto "full-team"nya. Tapi, senang rasanya walau baru sebentar bertemu, kami layaknya saudara. Gunung memang selalu istimewa dimataku. Selalu membuat pertemanan jadi lebih mudah, selalu membuat hal yang tak berarti menjadi begitu berarti, selalu memberikan pelajaran yang tak tergantikan. Guntur, terima kasih atas semuanya, bersua lagi atau tidak, kau akan tetap kuingat. Sekali lagi, terima kasih Guntur.

Guntur, 2018.

Wassalamu'alaikum Wr. Wb.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar