Rabu, 10 Juli 2019

Contoh Gagal

Assalamu'alaikum Wr. Wb.

  Tabik!


  Sudah lihat kan? Gambar di atas yang buram tapi jelas menggambarkan makna yang timpang. Iya, di sebelah kiriku adalah Misbahul Munir, pemain Barito Putera U18. Gambar itu persis diambil sesaat laga Persib BandungU18 vs Barito Putera U18 dalam event Liga 1 U18. Laga yang dilakoni pada Minggu, 7 Juli 2019 di Stadion Arcamanik merupakan pertemuan kami kembali setelah lama tak bersua. Munir atau biasa kami panggil Ami adalah rekan lamaku bermain sepakbola. Sejak tahun 2014, di mana anak jangkung besar itu pertama kali menjajakan kakinya di lapangan rumput yang sama denganku. Aku ingat betul pertama kali bersua dengannya, seperti bukan atlet sama sekali, tak meyakinkan. Para pelatih pun dulu tak yakin, tapi sangat tertarik kepada postur badannya yang sangat ideal. Benar-benar pertama kalilah aku bertemu dengan Ami di tahun 2014 itu, sudah kurang lebih 5 tahun berselang, kini anak jangkung itu sudah dapat bermain di kasta tertinggi liga Indonesia. Betapa bangganya saat akupun dapat kesempatan menyaksikan ia langsung bermain di lapangan hijau. 

  Semua rasa campur aduk antara senang, bangga, sedih, kecewa, menyesal, geram, lega. Ya, aku bangga sekali karena rekanku dulu, yang kutahu sampai isi otak kampangnya sekarang sudah lebih dulu sukses. Aku sedih, kecewa karena merasakan atmosfer yang dulu pernah kurasakan, saat itu juga mendadak menggebu-gebu. Di mana saat aku masih punya mimpi besar menjadi salah satu anak yang kusaksikan dari tribun atas ini. Di mana laga yang pernah aku janjikan kepada langit yang dulu mungkin saja mulai dikabulkan. Di mana harapanku yang sebesar semburat senja yang hangat tak lagi menghangatkan. Aku sendiri bingung sekali saat itu. Disisi lain aku sangat amat bangga dan senang, disisi lain seperti membuka luka lama, membuka memori buruk masa lalu yang sempat ingin kubuang jauh-jauh. Karena patah hati terhebatku dulu sayangnya bukan dari seorang wanita, tapi dari apa yang (dulunya) paling kucintai dan selalu kusebut dalam doa, sepakbola. Jadi, mana bisa lupa aku atas apa yang pernah merobek jala hati sehingga meninggalkan luka sobek tak terelakkan.

  Melihat Ami memang jauh sekali perkembangannya dari dulu. Mungkin sekarang tak bisa dengan mudah lagi kulewati bahkan kukolongin dia haha, atau bisa kita coba Mi? Rasa-rasanya ia memang pantas berada di sana. Pengorbanan dan perjuangannya pasti tak mudah. Aku tahu karena aku paham betul bagaimana berkorban. Entah memang aku dulu yang lebih giat berlatih atau dia, yang pasti Tuhan sudah punya takdir yang tertuliskan di langit. Ia memang menjadi seperti apa yang sekarang pasti ada sebab dari apa yang ia tanam dahulu. Semua remehan, cemooh, kata-kata yang merendahkan, sakit, pengorbanan, kehilangan waktu remaja, aku juga melaluinya. Hanya saja aku lebih cepat berhenti atau aku sudah tak punya mimpi yang sama lagi atau, aku memang terlahir bukan untuk menjadi pemain bola. Banyak spekulasi banyak pemikiran banyak sebab-akibat. Tapi, yang sudah biar sudah, yang terhenti lanjut kembali, yang terjatuh bangkit lagi.

  "Mi Ami, kalo lu baca ini ya gua jadi nostalgia aja, masa-masa dulu berjuang bareng dari nol. Sama si Ali juga, Athalla juga, di mana semua masih belum jadi apa-apa. Main kemana-mana bareng, bawa GMSA juara, latihan cuma berempat atau berlima juga. Dulu cuy, dulu banget itu, parah gakerasa aja waktu udah cepet bgt. Kite seleksi bareng ke Riau waktu itu gua doang yang lolos dan sekarang lu yang jadi duluan di atas cuy. Seleksi yang mau ke Singapur tapi lu ama Ali gaada paspor jadi gua berangkat sendiri wkwk. Pokoknya gua nikmatin masa-masa kita berjuang dulu, masa-masa kita main bareng dulu, ya entar sih gamps lah main lagi. Intinya keep going forward cuk, ojo kendor!"

  Dan disini kelihatan jelas, Ami sebagai contoh yang (menuju puncak) sukses. Aku? Tiada lain adalah contoh gagalnya. Iya, aku gagal, aku gagal total. Aku memang tak meneruskan mimpiku sejak kecil sekali. Alasan? Ada. Tapi tak usah dan tak perlu kusampaikan. Yang jelas aku, Muhammad Averyl Aziz adalah contoh orang yang gagal. Aku berhenti dan melanjutkan hidupku di dunia yang lain, apa salahnya? Malu? Aku sangat bangga menjadi contoh gagal. Dengar, tak ada gagal yang gagal, semua kegagalan pasti keberhasilan. Aku sendiri sudah berhasil, berhasil menjadi orang gagal dan aku bangga. Aku jadi punya bualan dan bercandaan saat bertemu teman lamaku (apalagi yang gagal juga wkwk). Titik tertinggi dari sebuah kegagalan adalah di mana kita bisa menertawakan kegagalan kita sendiri, tapi setelah itu bangkit dan menyusun rencana lain. Sedih? Untuk apa? Kisah kegagalan sungguh jauh lebih asik ditertawakan bersama teman-teman sambil meneguk kopi yang dingin. Aku bangga gagal agar bisa melihat kawan-kawanku sukses. Aku bangga gagal agar orang lain bisa belajar dariku, dan aku belajar dari keberhasilan orang lain. Sebenarnya kata gagal itu hanyalah bualan. Selama manusia masih hidup, masih bergerak, masih punya akal sehat, gagal itu cuma mitos dan angin lalu. Besok gagal, nanti sukses, atau sebaliknya. Jadi gagal itu tak ada bukan? Hanya diksi saja menurutku.

  Gagal itu kalau perasaan sudah menganggap orang itu sendiri gagal. Walaupun ditinjau dari segi karir atlet dan dikaji dibidang Antropologi, aku memang gagal. Tapi aku biasa saja, tidak merasa gagal sama sekali. Semisal aku orang gagal yang menjadi kisah inspirasi orang lain, apakah aku masih orang gagal? Persetan dengan kata gagal, sungguh memanipulasi dan menyesatkan! Gagal, gagal, gagal... sebaiknya buang jauh-jauh kata sialan itu. Ganti saja dengan "belum berhasil", karena cepat atau lambat hanya masalah waktu, keberhasilan sudah menunggu di garis finish. Tinggal kita mau jalan, berlari, diam, lewat jalan pintas, tersasar, itu pilihan. Dan satu lagi, ukuran kesuksesan atau keberhasilan adalah diri sendiri. Sebanyak apapun rumah atau harta atau popularitas belum tentu sebagai keberhasilan, bisa jadi sebuah kegagalan bila orang itu berpikir demikian. Bisa saja orang sederhana dan tak punya apa-apa tapi merasa bahagia dan merasa hidupnya telah sukses atau berhasil. Who knows? Semuanya tergantung pada jiwa raga dan diri sendiri, pada persepsi dan pola pikir serta menghargai apapun itu usaha yang kita bangun, entah nanti hasilnya apa.


 Jadi, untuk kali ini aku adalah contoh gagal atau selamanya akan dikenal sebagai orang gagal dan aku tak ada masalah sama sekali. Tapi, tunggu sampai orang gagal ini bisa berhasil dan menjadi orang berhasil kelak, di bidang apapun di tempat dan waktu manapun. Sampai nanti aku mendapat predikat menjadi orang yang berhasil. Atau mungkin, orang gagal yang berhasil.


Wassalamu'alaikum Wr. Wb.

1 komentar: