Minggu, 29 September 2019

Cikuray, Bagas dan Matahari Pagi (1/2)

Assalamu'alaikum Wr. Wb.

  Tabik! Salam dingin Jatinewyork, Bandung dan sekitarnya.

  Malas, satu kata yang masih berada dalam ubun-ubun saya. Memang sudah lama sekali setelah terakhir muncak dan baru berkenan bercerita sekarang. Alasan menulis dan berbagi masih sama; ingin membuat pembaca merasakan keseruannya ataupun bisa mengimajinasikannya dalam kepala masing-masing. Sudah, tak usah basa-basi.

  Perjalanan dimulai hari Jum'at, 2 Agustus 2019. Saya, Arvyn (adik saya), dan Dimas (teman satu SMA dulu di Jakarta). Kami berangkat dari Terminal Lebak Bulus menuju Terminal Guntur Garut. Singkat cerita kami sampai di Garut langsung nyarter mobil pick-up dan langsung menuju basecamp Pemancar. Perjalanan menuju basecamp kami disuguhkan pemandangan sangat apik; kebun teh yang tak habis memanjakan mata, para petani rajin yang tak punya kata lelah, udara segar khas pegunungan, serta Cikuray yang menunggu dengan gagahnya di ufuk jauh sana. Jujur, sudah lama sekali saya merindukan suasana ini. Suasana yang hanya bisa didapatkan saat mendaki. Entah, rasa rindu macam apa dan magnet apa yang selalu mampu menarik sukma saya agar selalu kembali, kembali dan kembali ke gunung lagi.

  Setelah melalui perjalanan mobil menuju basecamp yang jalanannya jauh dari kata "rapi" dan tak beraspal yang berhasil membuat bokong pegal tak karuan, akhirnya sampailah kami. Tanpa lama-lama kami bersiap-siap, packing ulang barang dan segera memulai pendakian. Didahului doa dan briefing singkat, kami berangkat sekitar pukul 9 pagi. Lelah, engap, sesak adalah kata-kata yang selalu menggambarkan awal pendakian kami kali ini. Maklum, persiapan asal-asalan, olahraga jarang, hanya didorong oleh kerinduan maka nekat kami lancarkan sepenuh jiwa. Asli, jalur Cikuray memang tak kenal ampun. Dari pos 1 pun kami telah disuguhkan pemandangan asik; menanjak, menanjak, pegal, menanjak. Memang mahaasyik dan mahakampret mengingat benar-benar fisik kami (terutama Dimas) yang kian menjompo akibat malas berolahraga. Terasa betis dan paha serasa mau copot dari tulang yang menempelinya sejak lahir.

  Dengan jalan compang-camping, pos-pos kami berhasil lalui dengan lambat dan lesu. Tapi tetap, perasaan melepas rindu ini benar-benar mengasyikkan walau sebenarnya menyiksa kami sendiri. Fisik dan stamina yang sudah larut dimakan kemalasan menjadikan pendakian kali ini terasa berat. Ya, walaupun bagiku pribadi tak ada pendakian yang mudah. Semua punya tingkat kesulitan dan tantangan yang berbeda, juga punya ciri khas tersendiri. Kami sempat molor waktu saat menuju pos 2 dan 3. Alasannya kami karena belum "nyetel" atau pundak belum berdaptasi dengan berat carrier kami yang menempel di badan. Oh iya, ini juga pertama kali saya mendaki saat musim kemarau, yang artinya matahari tak bosan-bosannya menyengat. Kena matahari panas, neduh sebentar dingin menilik, haduh memang serba salah. Kami benar-benar "ngaret" di pos 3 menuju ke pos 4 karena merasa kami sudah terlalu lelah. Akhirnya pada awalnya saya bertugas sebagai sweeper beralih fungsi jadi yang paling depan untuk terus memaksa kami tak molor lagi, mengingat masih ada sampai pos 7 yang harus kita lewati untuk mendirikan tenda.

  Saya baru tahu, ternyata musim kemarau tak lebih baik dari mendaki di musim penghujan, kenapa? Karena saat musim kemarau semua hewan di hutan keluar dan aktif. Sudah terlihat sekali sejak pos 2 kami selalu dibuntuti oleh tawon hutan. Bukan tawon biasa dan banyak sekali jumlahnya. Ditambah saya memakan madu sambil berjalan dan barangkali jatuh mengenai baju yang sangat mengundang tawon itu. Sungguh, menjengkelkan. Selain itu suhu juga lebih dingin dibanding musim penghujan yang selama ini saya rasakan lebih hangat. Selain itu memang benar-benar semua hewan keluar. Tak hanya hewan-hewan serangga, tapi juga yang besar dan bertaring. Mulai dari Bagas, hingga Kocheng Oren. Teman-temanku selalu bilang bahwa Cikuray memang terkenal akan banyaknya babi hutan. Dan sangat disarankan untuk ngecamp di atas pos 7. Dan dalam mindset saya, jika mau aman setidaknya kita harus sampai di pos 7 untuk makan dan jarak ke tempat camp tidak jauh yang hanya beberapa meter dari pos 7. Namun angan hanyalah sebatas angan. Di pos 7 saat kami sedang mempersiapkan makan siang yang terlalu terlambat, Bagas, hadir mengendus nasi setengah matang yang sedang dibolak-balik.

  Ya, pertama kali saya berhadapan langsung dengan babi hutan sungguhan, bukan Arvyn atau Dimas (mungkin inilah karma, saya sering meledeki Arvyn atau Dimas sebagai babi hutan), tapi makhluknya sungguhan. Ada sekitar 15 menit kami berpandang-pandang, semoga tak satu dari kami jatuh cinta. Gila! mati langkah aku, kaku sekejap tubuh melihat Bagas yang ngiler minta makan. Ia juga tak berkutik, tapi karena pisauku ada di carrier yang kutinggal dekat kompor yang jaraknya lebih dekat dari Bagas. Lari juga sudah tak kuasa, jalur sempit tentu mempermudah Bagas menyeruduk bokong kami. Akhirnya, entah Tuhan mengabulkan doa kami, Bagas pun akhirnya pergi, entah kemana. Nasi matang dan makan walau tergesa-gesa tetap dilanjut untuk mengisi tenaga menuju tempat camp. Sebenarnya sebelum pos 7 pun, perjalanan dari pos 6 ke pos 7, ada satu hewan buas lagi yang sempat kulihat dengan mata kepala sendiri. Di pos 7 Bagas dilihat oleh kami bertiga. Namun, kali ini aku yang melihatnya, hanya aku sendiri. Iya, macan tutul, begitulah mata ini mencoba meyakinkan sukma. Entahlah, seperti anakannya, atau mungkin saja kucing hutan. Tapi, merinding sudah terlanjur menjalar ke seluruh tubuh. Saat itu aku paling depan berjalan, karena melihat macan, aku pun memutuskan membeku dan menunggu teman-teman sejenak hanya untuk memperingatkan. Aku bilang dengan terbisik-bisik, "Bro, bro.. ati-ati tadi gua liat macan, seriusan dah! anaknya si kayaknya soalnya agak kecil." Bukannya antisipasi, mendengar ucapanku, teman-temanku malah lebih panik. Arvyn bilang, "Eh apa balik aja ya?" Dimas menimpali, "Iyaiya dah, yuk balik aja." Dengan panik gorila mereka membisu dan terkaku tak bisa menggerakkan sendi-sendinya yang mau copot rasanya. Lalu saya, "Udah pelan-pelan aja, udah kesono kok macannye." Seolah aku paling tenang, padahal hampir mati aku terkejut. Ya karena aku yang lihat langsung!

  Saat itu juga kami bersama rombongan lain yang kutahu ada salah satunya yang sudah beberapa kali ke Cikuray. Tapi, setelah mendengar kata ajaibku tentang "macan tutul", panik juga tak bisa disembunyikan dalam raut wajahnya. Haha, ini sungguh lucu sekali. Dalam kepanikan dan hidup mati masih bisa saja tertawa melihat raut-raut wajah yang antara hidup dan mati juga. Panik, hopeless, juga mau pulang. Tapi apa mau dikata? Jalan sudah sejauh ini, perjuangan harus dituntaskan, harus selesai. Semua niat, usaha dan tekad harus dibulatkan. Walau lagi-lagi aku selalu ingat apa kata Leader pendakian perdanaku yang katanya, "Puncak hanyalah bonus, rumah itu tetap tujuan utama!" Oke, aku sangat paham omongan itu. Tapi, selagi rasa-rasanya kita mampu, kita yakin bisa dan merasakan alam masih merestui kita, maka menyerah bukanlah sifat yang tepat. Setelah apa yang kita upayakan, setelah apa yang sudah terlanjur menjadi duka asa derita. Masa iya mau menyerah? Jiwa pejuang itu lahir di setiap manusia yang terlahir di negeri ini. Negeri ini negeri para pejuang, pantang menyerah sebelum waktunya mengalah. Lalu dengan mengorbankan aku sebagai tumbal (ya, aku disuruh jalan duluan, sialan wkwk), kami tetap berjalan. Pelan namun pasti dan akhirnya sampai di pos 7 dan agak lama setelah itu bersua dengan Bagas. Ya, kejadian macan itu terjadi sebelum bersua dengan Bagas. Dan setelah di pos 7 kami memutuskan makan karena sudah lewat 3 jam dari jam makan siang, saat itu pukul 3 lewat. Kelompok pendaki yang bersama kami meminta izin duluan karena katanya pos tempat camp sudah tidak jauh lagi.

  Makin was-was saya melangkah setelah Bagas mengejutkan kami. Kami berjalan agak cepat karena matahari sudah hampir tenggelam di ujung cakrawala. Tenda harus sudah siap sebelum semuanya terlambat menjadi gelap. Syukur, setelah berjalan sekitar 20 menit, benar, memang tak jauh, tapi karena kami khususnya aku sudah amat kelelahan, maka dengan sisa tenaga kami berjuang sekuat tenaga. Sesampainya di pos tempat camp sekitar setengah 5 sore, bahkan sudah mau jam 5. Buru-buru kami mendirikan tenda. Yang kuketahui selanjutnya, kami benar-benar ngecamp dibawah puncak, persis. Saya kira butuh beberapa menit lagi ke puncak, ternyata ngesot pun sampai. Syukur, tapi agak jengkel saya. Tak butuh waktu lama tenda pun siap. Langsung kami berbenah dan merapikan barang kami agar bisa bersantai, masak, ataupun tidur. Aku langsung ganti baju dan merapikan barang-barangku. Arvyn dan Dimas juga sigap. Tapi setelah itu Dimas bilangnya mau mengecek jalur menuju puncak besok, baik, tak ada masalah. Selang beberapa menit ia kembali dan sangat cepat. Dan benar, memang sangat dekat. Lalu ia mengajak Arvyn mengambil gambar sunset karena matahari sedang cantik katanya. Arvyn tak berpikir panjang menyetujui (atau sebenarnya si cebong ini tak memikirkan apa-apa, hanya mengiyakan) dan segera mengambil ponsel lantas langsung berjalan ke puncak. Dengan sekejap mereka hilang dari pandangan. Aku? Terlalu lelah untuk berjalan; malas. Aku memilih menjaga tenda dan menikmati senja dengan terpejam; tidur. Aku juga berbincang dengan pendaki yang tendanya di sampingku, ya, mendaki memang menambah relasi, mungkin saja. Aku sudah pusing sekali semenjak telat makan dan Bagas dan macan uwaw. Aku juga makan roti untuk mengganjal perut. Dan karena tenda kami dekat puncak, maka senja masih terlhat samar-samar menembus celah dedaunan yang menyilaukan mata. Sebenarnya, tak kalah keren dengan di puncak, kataku. Sensasi baru, cara memandang yang berbeda.

  Kukeluarkan kepalaku dari dalam tenda, kakiku didalam. Aku sudah berselimut sleeping bag, hawa sudah dingin. Tapi kepala tetap hangat oleh semburat jingga yang kulihat menembus celah dedaunan yang menyilaukan mata, namun syahdu. Entah, Arvyn dan Dimas mungkin saja sudah berganti beberapa pose. Aku, memiringkan badan ke kiri, sambil menikmati udara yang sejuk cenderung dingin, menikmati suasana yang kurindukan; ketenangan dalam alam yang senyap. Seolah ingin terus dan terus bercerita. Novel tanpa akhir, cerita tanpa ujung. Senja perlahan turun dari singgasananya, anggun dan secara perlahan. Tak sadar, saat itu juga aku sudah terlelap di hadapan semburat cahaya jingga yang menembus celah dedaunan. Oh iya, ini adalah pertama kali selama aku mendaki melihat sunset yang tak ada awan, tak ada mendung, tak ada distraksi. Ini pertama kalinya, senja benar-benar memperlihatkan padaku di atas sini, di bawah situ. Pertama kali, sesempurna ini.









  Bersambung...


Wassalamu'alaikum Wr. Wb.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar