Selasa, 18 Desember 2018

Tentang Cinta dan Kota

Assalamu'alaikum Wr. Wb.

  Cinta, semudah itu mengucapkannya di lidah, mudah direalisasikan pada sebagian orang, tapi tak sedikit yang mengerti apa arti cinta itu sendiri. Umumnya remaja menafsirkan cinta itu, yap, pada perempuan. Saya bisa mengerti itu, tapi saya rasa itu kurang tepat untuk saya saat ini. Saya telah jatuh cinta pada sebuah kota yang sejuk dan dingin. Ya, Bandung. Saya menyadari saat walaupun saya tak banyak memiliki teman disini, tapi entah, Bandung selalu sulit untuk saya tinggalkan. Walaupun saya terlanjur cinta Jakarta yang notabene adalah kota kelahiran saya dan tempat saya menghabiskan waktu 16 tahun saya. Selanjutnya adalah perpindahan yang akhirnya membawa saya kesini. Entahlah, saya tak bisa menafsirkan perasaan saya pada kota ini. Seperti halnya jatuh cinta, tak perlu pakai alasan bukan? Itulah mengapa jika saya menyukai sesuatu tanpa punya alasan, maka itu adalah cinta. Sebetulnya jika kalian menerka karena saya cocok dengan "orang-orang" Bandung, saya rasa itu bukanlah sebab saya jatuh cinta pada kota ini. Walau tentu budaya dan kebiasaan masyarakatnya berbeda dengan Jakarta dan Pekanbaru, tapi setiap kota saya tetap menemukan orang-orang yang menarik sesuai dengan ciri kedaerahannya. Saya juga acapkali tak suka seseorang kerena bawaan kedaerahannya, mau itu di Jakarta, Riau ataupun Bandung. Yang pasti saya mengatakan ini atas akal sehat dan kesadaran saya.

  Baiklah, jika ingin saya gambarkan sekilas tentang Bandung dari sudut pandang saya, mari berimajinasi. Bandung, adalah kota yang sebenarnya tak terlalu besar, tapi cukup luas untuk saya telusuri jalannya. Pohon rindang seringkali menghiasi jalan-jalan yang kini sudah sesak oleh kendaraan. Saya suka saat jalanan kosong, larut malam. Dimana menyusuri jalan yang sepi, dingin menyergap dan keheningan membawa saya jauh menyusuri ketenangan. Bandung bagi saya, selalu memberi kesan tenang. Entah kenapa. Karena sejuk, mungkin. Karena tak seramai Jakarta (tapi saya rasa hampir sama saja), bisa jadi. Entahlah saya tak tahu. Bandung bagi saya sudah seperti rumah saya, dan sempat terpikir di benak saya akan sungguh menetap disini. Entahlah baru sekadar rencana dan angan saja. Tapi akan menjadi realita jika dapat "Mojang Bandung", haha saya hanya bergurau. Tapi dari gurauan ada benarnya juga. Kemungkinan saya menetap di Bandung akan semakin besar peluangnya bila saya berjodoh dengan pribumi Bandung. Dan saya tak bisa bohong, memang tak salah Bandung dicap mempunyai kota yang "cantik", karena memang garareulis awewena, asli. Sama seperti kota kelahirannya, wajah-wajah mereka melambangkan ketenangan, entah. Sebagian besar yang saya lihat begitu, tapi bukan semua, camkan! Memang ayu dan benar-benar... sudahlah saya kehabisan kata-kata. Pokoknya extraordinary.

  Kalo bicara soal wanita, selain Jakarta dan Bandung (Riau tak se-spesial kota-kota ini), Jogja adalah salah satu yang terbaik. Kenapa? saya pernah menjamahnya walau tak lama. Tapi sudah tergambar bagaimana "cantiknya" Jogja. Walaupun punya kesan dan aura yang berbeda (menurut saya) dengan Bandung atau Jakarta, tapi ia punya daya tarik tersendiri juga. Perasaan saya sangat amat seperti bagaimana ya, agak sulit diucapkan. Hmm, sepertinya layaknya hidup dalam kota yang masih seperti suasana desa. Sangat terasa tradisional dengan khas keraton Jawa yang melegenda. Terasa suci dan seperti tak ada hal yang berbau kata-kata kasar disana. Hmm, seperti sangat kaku dan baku, tapi saya suka itu. Terasa sangat formal tapi eksotis. Yang dari banyak bangunan layaknya kerajaan Jawa yang kental dalam perasaan indera saya. Entahlah begitu eksotis berbeda dengan Bandung. Tapi saya belum sempat jatuh cinta pada Jogja, tak tahu apakah bisa, tapi yang jelas sampai saat ini Bandung dan segala hiruk pikuknya yang mencuri hati saya. Kalau Jakarta tak perlu dibahas lagi, itu sudah menjadi kecintaan saya sejak lahir, jadi saya rasa tak perlu lagi menggambarkan betapa berartinya Jakarta untuk saya. Karena selama orangtua saya di Jakarta dan sampai kapanpun jakarta akan tetap menjadi tempat pulang anak kecil yang coba menjelajahi dunia.

  Rencana untuk berpulang ke Jakarta akan segera saya realisasikan. Tapi walau rasa gembira tak terhankan dalam dada, rasa sedih seakan takut kehilangan tiba-tiba muncul. Saya agak takut jika harus pergi (ya walaupun pasti akan kembali lagi) dari Bandung. Walau hanya beberapa bulan saja, Bandung sudah menjadi seperti sesuatu hal yang saya sulit tinggalkan. Rasanya hampir sama ketika saya pertama kali ingin pergi jauh merantau ke Riau. Sebenarnya saat di Jakarta yang membuat hati ini berat meninggalkannya adalah karena saya tak mau meninggalkan kenangan bersama kota itu dan masa keindahan remaja yang baru saja saya jajaki. Tapi, andai saya dahulu tidak pindah ke Riau, saya mungkin sudah bahagia bersama masa remaja yang dibilang orang paling indah, masa SMA. Tapi takkan saya belajar dari hidup ini bahwa takdir punya caranya sendiri mempertemukan kita pada orang-orang yang sudah ditakdirkan hadir dan mengisi kehidupan kita kelak.


lengangnya jalan Ir. H. Juanda/Dago

sore di jalan Buah Batu
  Bandung memang rumah, tapi saya rasakan masih sebagai "tempat". Lain halnya kota seribu cerita Jakarta. Jakarta memang rumah saya, tapi jauh dari hanya sebagai tempat, tapi pada orang-orang didalamnya. Mungkin kalian suatu saat akan mengerti. Dimana titik tertinggi dari yang disebut rumah bukanlah lagi pada tempat, tapi pada "seseorang" atau bahkan "orang-orangnya". Bandung belum sekarang, tapi mungkin saja hari esok, esok, esoknya akan tiba. Tunggu saja dan nikmati.

  Salam Hangat, Rumah Tercinta,
  Jakarta.


Wassalamu'alaikum Wr. Wb.

Senin, 03 Desember 2018

2.16

Terbangun
Ingin melanjutkan tidur
Tak ingin melanjutkan hidup

Semoga ia esok datang
Ya, harapan
Menjadikan satu-satunya alasan

Untuk hidup, harus menunggu petang
Tidak, untuk kedamaian
Dan karena untuk mencari ketenangan

Lebih dari sekedar senyummu saja
Lebih jauh,
Merasa dimilikimu utuh.


-Uyyi, 20 November 2018

2.22


Takkan kau temui meski kau cari
Aku tak ada (barangkali) di hidupmu
Kamu terlalu sibuk mencintai diri sendiri
Aku masih terbayang pilu

Takkan kau rasakan meski kau raba
Dingin tanganku pagi buta
Yang selalu ingin menggenggam nyata
Tapi pada siapa?

Takkan kau lihat meski seksama
Aku tak ada
Hanya bias menjadikan aksara
Dan partikel kecil dalam semesta

Tapi jika barangkali kau ingin temui aku
Tidurlah, lepas penatmu
Dari tak terjamah ku kecup dingin dahi itu
Sambil mengucap doa;

Selamat tidur cantik,
Esok kebahagiaanmu telah menanti
Untuk sekali lagi merasa dirimu dicintai
Tanda tanya tak lagi berarti

Selama kau hidup di dunia, tak ada
satupun yang aku sesali
Kecuali ketiadaanku.


-Uyyi, 20 November 2018

2.29

Aku pergi
Aku lekas menjadi-jadi
Ingin kembali mengarungi mimpi

Barangkali, diperjalanan aku merasa

haus
Lalu menemukan telaga
Barangkali itulah dirimu

Dingin dan melepas penat

Meredam apapun yang berat
Dan mencintai tanpa syarat

Aku musafir

Kau sungai yang menjelma fatamorgana
Semua pengelana hanya mencintai air

Tapi kali ini tak kutemui bahkan setelah

pintu kayu membangunkanku dari mimpi
yang teramat haus

Aku selalu ingin haus dalam hidup ini.



-Uyyi, 20 November 2018

Sabtu, 01 Desember 2018

Awal Langkah

Assalamu'alaikum Wr. Wb.

  Mungkin ini adalah lanjutan dari kisah sebelumnya (No Maden), tentang bagaimana seorang perantau bocah yang kehilangan arah dan komunitas serta semangat hidupnya karena sudah terpaut jauh jaraknya dengan teman-temannya di kota asalnya. Seorang yang tak bisa lepas dari bayang-bayang masa lalunya sehingga sulit membuka diri menerima kenyataan dan keadaan sebenarnya. Ya benar, hidup selalu tentang berpindah. Tak cuma tempat tinggal saja yang berpindah, bisa akhlak, bisa teman-teman, atau pacar barangkali, bisa komunitas, hobi dan masih banyak lagi karena pada dasarnya perpindahan itu luas. Dan perpindahan berarti perubahan. Mau apa tidak kita berubah? mau apa tidak kita keluar dari zona nyaman? mau atau tidak kita menghadapi yang 'asing'? maukah kita bebas dari bayang-bayng yang mengahantui? Seakan kita tidak bergerak, kita tidak kemana-mana. Sementara orang lain bahkan kawan-kawanmu bergerak, kamu masih diam terpaku dengan masa lalumu yang indah barangkali, ataupun kalut. Saya adalah bocah itu. Yang selama beberapa bulan atau beberapa tahun belakangan ini masih terjebak di antara cerita masa lalu. Memang tidak ada salahnya, tapi lihat apa akibatnya. Saya buta terhadap sekitar, saya terlalu dingin menerima uluran tangan orang lain, saya terlalu egois menutup diri, saya selalu mencap 'ini bukanlah komunitas' saya, saya terlalu sombong mempertahankan ego. Apa yang saya dapat? NOL. Saya makin terpuruk, makin tersiksa oleh pikiran sendiri.

  Betapa bodohnya saya selama ini hanya hidup dan bergantung pada angan-angan dan fantasi. Sungguh bodoh dan ironi yang saya baru sadari. Saya pikir semuanya akan terjadi secara persis dengan apa yang ada di ekspektasi saya. Dan nyatanya saat ekspektasi mulai menjadi realita, sayalah satu-satunya yang malah merusak ekspektasi itu sendiri. Dengan keegoisan saya tentunya. Ini bukan salah teman dan kenangan saya terdahulu, ini bukan salah para luka yang tak pernah sembuh. Ini murni salah saya. Saya rasa sayalah yang belum siap menghadapi kenyataan hidup, sehingga masih saja kecewa atas apa yang sudah ditakdirkan kepada saya. Saya yang terlaru larut, hingga kadang tak menghiraukan apa yang ada disekitar saya. Saya terlalu merasa sayalah yang paling dikecewakan diantara semua makhluk dihadapan saya. Saya sekarang juga tak mengerti mengapa saya seegois dan sebodoh itu. Padahal saya bisa berbagi dengan orang disekitar saya, saya bisa mengenal mereka lebih dalam, bisa bertukar cerita, bisa kembali merasakan hangatnya pertemanan, bisa sekali lagi merasa sebagai manusia seutuhnya, yang pantas dianggap ada. Saya bisa mendapatkan rasa seperti dulu lagi melalui orang-orang baru di hidup saya. Jika ini adalah titik balik, semoga saja begitu.

  Akhirnya sekarang saya mengerti makna perkataan ibu saya, saya benar-benar paham. Apa yang dia katakan benar beberapa minggu lalu. Sebelum saya menulis No Maden dan sesudah saya menulis Menghadapi Ketakutan. Beliau lah awalnya yang menyadarkan saya betapa saya salah memandang dan berperilaku pada hidup, khususnya hidup saya. Saya sekarang paham maksud beliau menyinggung sikap saya yang "egois dan terlalu dingin". Karena beliau mengerti keadaan saya, dia yang paham. Yang dia inginkan saya bisa mencari teman-teman baru di kota yang saya tinggali sekarang ini. Dia hanya ingin saya mendapat teman-teman baru agar bisa 'bertumbuh'. Agar saya menjadi semakin dewasa dan bisa menghadapi perbedaan dan perubahan yang akan selalu datang silih berganti. Yang saya bilang sebelumnya prospek No Maden adalah mempunyai banyak teman, itu sangat tepat. Hanya seseoranglah kadang terlalu egois dengan dirinya sendiri. Yang beliau inginkan agar saya dapat menjadi orang yang selalu terbuka dengan apa yang baru. Agar saya bisa (selalu) cepat beradaptasi. Mengingat saya adalah orang yang sangat amat lambat dalam hal beradaptasi. Ya alasannya tetap sama, karena saya terlalu menutup diri. Itulah yang ibu saya inginkan, agar saya bisa cepat beradaptasi. Beliau takut bila saya terus seperti ini, saya akan menghancurkan hidup dan karir saya sendiri. Sama saja seperti menikam diri sendiri. Saya sekarang benar-benar paham betapa mahalnya perkataan itu yang tak bisa saya beli sampai kapan pun.

  Begitulah kekuatan dari seorang ibu. Disaat berhadapan dengan saya (anaknya) yang keras kepala dan tidak mau kalah, apalagi saat emosi. Dia tetap bisa menyadarkan saya. Walaupun saya butuh waktu mencernanya. Pada akhirnya, memang itulah jawaban masalah saya beberapa bulan kebelakang ini. Tinggal saya yang memulainya. Awal langkah saya. Untuk keluar (lagi) dari zona nyaman yang sudah saya bangun sejak kecil. Dari komunitas yang sudah lama sekali saya tinggali, dari sikap lama yang saya pertahankan. Rata-rata guru di sekolah juga selalu bilang, "jika kita tidak mengikuti perkembangan zaman, kita akan lenyap dimakannya". Awal langkah saya mengikhlaskan masa lalu yang sudah-sudah. Membuka mata dan melihat ke depan. Masih banyak yang harus saya hadapi. Beberapa peluang sudah mulai muncul dan kini saya makin yakin, bahwa inilah takdir saya. Saya menerima kekecewaan yang bagi pribadi saya sangatlah mengecewakan, tapi sekarang saya malah yakin Tuhan memang sengaja melakukan ini pada hidup saya. Saya sudah ditakdirkan begini. Jika saya tak melalui proses yang panjang seperti kemarin, percayalah saya takkan sampai disini.

  Tinggal memulai langkah-langkah kecil sebelum bisa berlari sekencang dahulu. Atau bahkan saya harus belajar merangkak lagi, mulai menikmati detail demi detail perjuangannya. Syukur, jujur setelah menulis beberapa kalimat di atas saya semakin merasa bebas, saya merasa kini mulai tahu lagi kemana tujuan hidup saya. Saya mulai menemukan ritmenya, saya mulai bisa merasakan hiruk pikuknya. Tentu saja berkat ibu saya tercinta, berterima kasih saja saya rasa belum cukup. Harus saya ganti oleh kebahagiaan dan kesuksesan beberapa tahun ke depan. Insya Allah. dan ingatlah, semua orang besar berawal dari orang kecil yang tak terpandang. Orang terkenal dulunya tak lebih dari seorang yang tak dikenal, bahkan dilingkungannya pun acapkali dianggap angin lalu. Orang sukses pasti pernah jadi orang yang jatuh begitu keras. Tapi jangan risau, jalani saja prosesnya, nikmati setiap detailnya. Tertawalah saat jatuh, merenunglah saat ada di atas. Jangan terbalik. Jangan pernah ragu melangkah, ga perlu terlalu banyak mikir, takut gini gitu, takut apalah. Jalani saja, keraguan kamulah yang membuat diri kamu mati. Spekulasi-spekulasi kamulah yang memperberat langkah awal yang sebenarnya vital menentukan masa depan kamu. Ini hanya tentang seberapa berani kamu saja, berani ga? menantang diri sendiri untuk hanya sekadar "berani". Hanya tentang berani belajar apa tidak? itu saja.

  Tidak ada istilah bangun terlalu pagi. Tidak ada istilah terlalu terlambat untuk belajar. Tidak ada istilah terlalu takut untuk melangkah. Masa iya mau kalah sama bayi, yang baru beberapa bulan lahir saja gigih belajar melangkah. Kita harusnya bisa, harusnya berani. Dan juga, inspirasi bisa datang dari mana saja, kapan saja, dimana saja. Tetap terjaga, pastikan tak ada yang terlalu kamu lewatkan, kecuali kenangan. Dan kadang untuk bisa lebih baik, tertawalah pada dirimu sendiri, tertawakanlah hidupmu. Dengan begitu masalah sebesar apapun rasa-rasanya tak lagi berarti.

  Tabik! Jangan takut melangkah!


Wassalamu'alaikum Wr. Wb.

Kamis, 29 November 2018

Seperti Halnya Hari Esok


Jangan beri kabar padaku
Biar aku yang merengkuh rindu
Hingga tertangis lirih tersedu-sedu
Yang kuingin hari itu, dimana semuanya
menjadi satu

Seperti halnya hari esok
Kuingin semua yang kutemui tak 
berbelok
Menanggalkan lalu meninggalkan yang
tak elok
Akan menjadi masalah bila imajiku terlalu
bobrok

Listrik padam, semua terpendam
Aku mengidam, bertemu kamu yang 
muram
Dikala malam ingin sekali lagi bergumam
Apakah kau masih memelukku semesra 
alam?

Jangan kau pergi, jangan kau lari
Aku disini sepi
Menunggu datangnya suatu hari
Dimana aku dan dirimu ditelan sanubari
Dalam hangatnya kehampaan hati

Semoga yang tertinggal tak dendam
Aku hanya manusia haram
Bermuram durja serta dalam
Menghiasi hari-hari yang terlanjur karam

Tanpamu selayaknya,
Mungkin esok akan tiba.


-Uyyi, 28 November 2018

Senin, 26 November 2018

No Maden

Assalamu'alaikum Wr. Wb.

  Dalam hidup pasti kita semua akan dihadapkan berbagai pilihan. Tempat tinggal misalnya. Menjadi no maden adalah suatu pengorbanan perasaan. Kenapa? karena begitu banyak kenyamanan yang harus berakhir segera menyambut tantangan baru yang tak terduga. Atau tidak, coba saja sendiri. Semua keputusan punya konsekuensi masing-masing. Tapi tidak dengan kesepian, barangkali. Memang prospek hidup berpindah adalah punya teman yang banyak. Tapi tidak selalu kenyataannya begitu. Bagaimana berpindah membawamu ke dalam keterasingan? Bagaimana jika berpindah membuatmu sulit beradaptasi? Bagaimana sebenarnya hanya fisikmu saja yang berpindah? Hati tetap tertinggal pada bayang-bayang masa lalu. Kalau begitu ini adalah kisah tentang sebuah perjalanan.

 Bandung, kota impian saya sejak duduk di bangku SMP. Kini mimpi ini terwujud, secara ironi dan tidak sengaja. Bandung adalah kota ke-3 yang saya jamah. Tak butuh waktu lama untuk jatuh cinta pada kota ini. Tapi belum sampai pada tahap bahagia. Bukan karena konflik di Riau yang sebelumnya menyimpan perjalanan panjang yang penuh derita. Tapi bukan disana, bukan (Yang penasaran ada apa dengan riau, nih!). Masalah ini adalah masalah di kota kelahiran, Jakarta. Pernahkah kalian iri terhadap orang lain? Walaupun kita seharusnya mensyukuri apa yang ada pada diri kita. Tapi bukan itu, yang saya maksud betapa orang lain itu mudah diterima, mudah sekali mendapat penghargaan atas apa-apa yang ia lakukan. Begitu mudah diterima dengan segala minus dan keburukannya. Semua teman terbaik saya selama ini berada di Jakarta. Dengan berpindah bukan tak mungkin saya hilang perlahan di ingatan mereka. Karena sejatinya manusia akan selalu mengingat apa yang dekat dan selalu muncul dihidupnya. Sebenarnya saya tak memandang rendah arti pertemanan. Tapi dengan kehidupan saya yang sudah 3 kali berpindah, rasa-rasanya saya tak lagi merasakan pertemanan yang murni seperti dahulu. Memang tidak semuanya, tapi terus terang saya kecewa. Waktu mengubah mereka jadi es yang sangat dingin. Entah apapun itu dahulu, kini tak bisa lagi saya rasakan kehangatannya (pada beberapa saja).

  Gengsi itu adalah pembunuh paling ampuh selain nuklir. Dengan hilangnya rasa transparan menjadikan seseorang menjadi orang yang tidak kita kenal lagi. Tapi kenapa? Jujur saja sekarang saya sendiri bingung menafsirkan apa itu arti pertemanan yang sebenarnya. Iya saya memang punya sahabat yang punya kedekatan emosional yang baik dengan saya. Tapi tak banyak, atau satu barangkali. Dan kalian harus tahu, seseorang itu harus punya teman yang nyata. Dalam artian ada dihari-harinya. Kalian akan mengerti pada masanya kalian memahami makna kata "kesepian". Coba bayangkan saja, tapi semoga kalian tak pernah sendirian. Karena se-egois apapun, manusia terlahir sebagai makhuk sosial. Tak bisa dipungkiri lagi. Sulit sekali untuk saya terima semua ini. Itu yang saya maksud "iri" kepada orang lain. Saya tak bermaksud mengumbar agar mendapat empati, tidak. Saya hanya ingin kalian hargai teman yang ada di hidup kalian. Yang lebih menyakitkan daripada tak mempunyai teman adalah merasa tak dihargai. Padahal dulu sangatlah akrab. Tapi karena satu masalah, semuanya berubah. Dan meskipun sudah berusaha menjadi baik, bila kertas sudah 'lecek' tak akan bisa lurus kembali. Dan semuanya yang dulunya penuh arti, kini tak lagi berarti.

  Kebahagiaan itu kita yang ciptakan, bukan orang lain. Tapi bagaimana jika orang lain yang menyebabkan kebahagiaan kita menjadi tertunda? Barangkali karena iri atau tak senang pada orang lain. Semua itu didasarkan pada kekecewaan dan kekecewaan didasarkan pada masalah yang (sebenarnya) belum selesai. Laki-laki harus selalu bisa menyelesaikan semua masalah yang ada dihidupnya. Perlu ditanyakan kebenaran statusnya sebagai laki-laki jika tak bisa menyelesaikan masalahnya, atau barangkali tidak mau menyelesaikannya. Itulah manusia, terkadang egois itu menyelimuti jiwanya dan kepintaran membuatnya menghilangkan rasa humanisme. semuanya bagi saya terasa sangat irasional, terasa amat fantastis. Seakan hidup ini seperti mimpi, tak ada bedanya. Sulit sekali membedakannya. Tapi saya yakin, nanti akan saya temukan komunitas yang kembali lagi membuat saya begitu hidup. Tapi sekarang, saya tak bisa membohongi diri sendiri. Bahwa saya masih terpaku bayang-bayang masa lalu. Mungkin mereka sudah menemukan pengganti saya, jauh sebelum saya merasa seperti sekarang. Tapi sayalah yang belum bisa menggantikan mereka dari pikiran saya. Butuh seseorang atau orang-orang yang nantinya akan mengisi kehampaan hati ini. Ya sabar, hanya kesabaranlah yang akan menuntunmu. Biar nanti kita akhirnya bisa ikhlas untuk memilih jalan masing-masing tanpa ada lagi dendam yang tersisa. Bahkan jika tak usah berhubungan lagi tak masalah. Masa lalu memang milik kita bersama, tapi masa depan hak masing-masing.

  Tetap saja mungkin memorinya tidak bisa atau sulit saya lupakan. Tapi terima kasih. Saya tak mau jadi manusia gengsi yang mengucapkan rasa terima kasih saja tak mampu. Setidaknya jika tidak bisa memandang lagi sebagai kawan, pandanglah sebagai manusia. Manusia sekebal apapun perlu merasa dihargai. Mengertilah sedikit, jangan meminta bila tak membutuhkan. Hidup ini kadang bukan soal kita, tapi soal orang lain juga. Berpikirlah multiperspektif, jangan pandang sesuatu dari satu sudut pandang saja. Selalu pikir "what if i was him/her?". Selalu utamakan perasaan orang lain, walaupun kadang dunia tak seadil itu. Tetap ada saja yang menyakiti tanpa merasa disakiti orang lain. Kembali lagi, kehidupan berpindah akan membawamu pada hal yang kamu takkan pernah duga sebelumnya. Tapi jangan takut, teman itu akan selalu ada. Tenang saja, Tuhan tak akan membiarkan kamu sendirian. Hanya saja waktu menunggu untuk setiap orang yang takkan pernah sama. Pada akhirnya dimanapun kamu, keluarga itu adalah satu-satunya yang tak pernah berubah. Takkan pernah membuang kamu, takkan pernah mencampakkan kamu. Bukan hanya sekedar dihargai, kamu akan dicintai. Jadi jangan takut, melangkahlah seluas langkah kaki kamu bisa berjalan, jelajahi dunia. Biar sendiri, nikmati saja. Berbahagialah dalam "kesendirian"mu.

 Dan mungkin saja suatu saat teman atau sahabatmu tak kamu panggil lagi kawan. Tapi sudah terasa menjadi bagian keluargamu. Like Dominic Toretto said, "i got no friends, i got family". Itu berarti temanmu itu sudah layaknya keluarga. Tak hanya menghargaimu sebagai manusia, tapi mencintaimu dengan tulus. Pertemanan itu sangat terasa palsu, entah kenapa. Tapi keluarga itu berbeda, sangat murni. Tapi saya tak menghakimi semua teman itu palsu, sangat tidak saya tekankan. Hanya saja saya begitu bingung hingga saya menganggap 'kebanyakan' itu palsu karena adanya kepentingan. entahlah, kalian coba tafsirkan saja sendiri apa makna teman menurut kalian. Saya jelas makhluk sosial, saya jelas membutuhkan teman. Tapi saya jauh lebih butuh keluarga. Dan pada akhirnya saya tetap tidak tahu apa makna teman yang sebenarnya. Tapi jika ditanya makna keluarga dan betapa pentingnya bagi saya, saya benar-benar tahu jawabannya.

Sekian dulu, salam anak rantau!


Wassalamu'alaikum Wr. Wb.

Kamis, 22 November 2018

Mengenang Masa Kecil

Assalamu'alaikum Wr. Wb.

  Hidup ini rangkaian puzzle, semuanya merangkai satu demi satu hingga kamu jadi seperti ini. Hanya sayangnya beberapa potongan itu ada saja yang hilang, atau terlupakan. Sebenarnya ia tak hilang, hanya saja perlu sedikit menyusun kembali untuk sekali lagi memutar kenangan-kenangan yang mulai lenyap dimakan "kedewasaan" dan waktu. Potongan-potongan itu tak bersembunyi. Kamu hanya lupa meletakkannya disuatu tempat. Ia tersedu sepi dan selalu menunggu agar ditemukan, agar kenangan (yang terlupakan) dapat sekali lagi diputar. Hanya untuk sekedar diingat dan tak jarang membuatmu sedih, bahwa masa itu tak pernah kembali. Dan dibalik kesenangan beranjak dewasa, terdapat secuil kekecewaan mengapa masa-masa itu, masa-masa kecil terlalu cepat berlalu. Ada orang yang bilang "saya gak mau jadi dewasa, jadi dewasa itu gak enak". Enak tidak enak, suka tak suka kita sudah dipastikan akan melewati masa itu. Dimana kita harus benar-benar meninggalkan jiwa kanak-kanak kita untuk menyambut kehidupan sebagai makhluk individu. Memang, menjadi dewasa adalah pilihan. Tapi waktulah yang memaksa kita seakan-akan pada akhirnya tak punya pilihan, selain meninggalkan warna-warni masa kecil.

  Kenangan itu seperti lagu yang sudah lama tak diputar. Begitu sekali terdengar gendang telinga, otak seperti sekejap berjalan mundur terus kebelakang sampai pada titik terjauh ingatan. Dan yang lebih menyedihkan, kenangan itu tak datang dalam versi lengkap. Hanya gambaran sekilas dari apa yang seharusnya otak ingat. Tapi ada untungnya juga, andai saja otak ini mampu mengingat semuanya secara detail. Percayalah, takkan bergerak kamu ke hari esok dan 'stuck' dalam kenangan akan mimpi jadi kanak-kanak selamanya. Bermimpi pada masa tak pernah lelah berlari walaupun yang dikejar hanya panas terik. Memang menyenangkan, tapi harus berakhir segera.

  Berbesar hatilah, biarkan kesenanganmu dulu sekarang dirasakan oleh anak-anak yang sedang dalam permainannya. Biarkan kebahagiaanmu mereka yang tafsirkan. Karena secara tak sadar teman sepermainanmu juga sudah beranjak dewasa. Mungkin saja mereka ingat saat dulu bermain bersama, tapi mereka pasti punya rasa senang dan rasa kecewa yang sama dengan kita. Hanya bisa tertawa dikala anak-anak kecil itu sedang bermain bola plastik dengan baju lusuh dan badan kurus kerempeng tertawa padahal tim mereka yang kalah. Persis kami dahulu, yang rindu perdebatan singkat sebelum sang pemilik bola pulang atau azan magrib berkumandang menandakan pulang. Atau saat main petak umpet, ada yang tak kunjung ditemukan, padahal ia pulang. Atau saat malam bulan Ramadhan kamu memilih bermain sarung dibanding solat tarawih (atau sebenarnya solat dulu baru main) dan sekarang rasa-rasanya tidak bisa lagi seperti itu. Dan walaupun ingin, rekan kita seumuran takkan ada lagi yang bersedia.

  Dan orang-orang yang hadir pada masa kecil, kemana mereka semua? sehatkah? rindu itu kadang bisa aneh juga. Kadang kehadiran sosok yang menghiasi masa kecil kita kerap dilupakan. Padahal kehadiran mereka (mungkin) punya andil dalam mempengaruhi kepribadian dan pola pikir kita kelak ketika dewasa. Kemana gerangan mereka semua? apakah mereka bangga melihat saya sekarang? Seumpama, pelatih saya semenjak kecil sudah banyak sekali mengingat saya bermain bola sejak masih belia. Apakah mereka bangga melihat saya sekarang? Apakah mereka masih mengingat saya? Apakah mereka sehat dimanapun itu? Atau mungkin saja, apakah mereka masih hidup? Kadang kerinduan itu menjadi sangat aneh dan canggung kepada orang lama yang dulu ada di hari dan hidup kita. Tanpa memandang dendam atau sejahat apakah mereka dulu, tetap saja rindu tak mengenal tingkah. Bahkan mungkin, kesalahan atau kejahatan merekalah yang membentuk kita lahir menjadi orang yang lebih kuat bahkan tak tertandingi kelak. Walaupun dari segi ajaran mereka berbeda bidang (sepakbola misalnya) tapi yang saya tahu, semua ilmu dalam bentuk apapun, jika benar penyampaiannya, itu adalah pelajaran hidup juga. Jadi jangan pernah memandang remeh orang lain. mungkin sekarang kamu tak rasakan, tapi nanti beberapa tahun kelak. Ketika kamu sudah berada di fase harus benar-benar meninggalkan masa kanak-kanak dan mulai bertarung dengan kehidupan "orang dewasa".

  Saya bukanlah sosok orang dewasa. Saya hanyalah seorang remaja tanggung yang tak bisa lagi kembali ke gemerlapnya masa kanak-kanak. Hanya tinggal menunggu waktu untuk menghadapi hidup sebenarnya. Tak ada kata kembali atau lari dari apa yang seharusnya akan dihadapi. Hanya mempersiapkan kepada apa-apa yang tidak ada dalam diri seorang anak kecil. Cinta misalnya. Cinta menurut pandangan mereka adalah waktu senja. Karena itulah saat berbahagia mereka bermain bersama teman-teman. Kini saya masih mencintai senja, tapi dengan sedikit konteks yang lebih berbeda. Senja; ketenangan, kedamaian, tempat menuangkan segelas cerita. Cinta menurut anak kecil yaitu kepada bola dekilnya, pada kelereng-kelerengnya, pada sepeda hiasnya. Tapi kita takkan mengenal cinta tanpa bertumbuh dewasa. Jadi jangan juga memandang dewasa itu sebagai kemungkaran. Semakin dewasa kita akan lebih memaknai tentang cinta, dan pada akhirnya memang  cinta itu sangat luas. Tapi setidaknya perasaan kepada "kaum hawa" akan mulai timbul, ya seiring beranjak dewasa.

  Menjadi dewasa memang terkenal dengan masalah dan kerumitannya. Tapi jangan takut! kita umat manusia memang dilahirkan berkenalan dengan masalah. Hanya saja tingkat dan jenisnya berbeda dengan masalah anak kecil. Lagipula seakan kita sudah terlatih menghadapi masalah sejak kecil, jadi tak perlu terlalu khawatir. Biar semesta bekerja sesuai tugas yang sudah diberikan. Dan semoga anak-anak saat ini masih bisa merasakan bermain dalam hangatnya senja dan tawa antarteman. Jangan sampai teknologi mematikan kesenangan alamiah mereka. Karena yang seperti itu, sampai tua pun gak akan bisa dibeli, gak ada harganya sob. Karena sampai tua dan menuju liang lahatpun kenangan itu pasti akan selalu mengesankan.

  Yaitu anak kecil yang bermimpi besar.


Wassalamu'alaikum Wr. Wb.

Jumat, 02 November 2018

Menghadapi Ketakutan

Assalamu'alaikum Wr. Wb.

  Jujur, selama saya hidup. Baru kali ini saya merasakan rasa takut yang luar biasa. Keraguan dan rasa takut akan menghadapi "yang tanda tanya". Saya tidak pernah merasa setakut ini dalam sepanjang hidup saya, terlebih saya orang yang optimis dan punya 'fighting spirit', dulunya. Waktu mengubah seseorang menjadi lebih menghargai realitas kehidupan, saya termasuk. Saya takut akan nantinya saya kembali tidak bisa mendapatkan apa yang saya inginkan, atau sekalipun yang dibutuhkan. Saya berpikir bahwasanya saya tidak lebih dari manusia yang serba kekurangan, setelah tahu apa yang saya ketahui dan kuasai masih sangat amat terbatas. Yang saya takutkan adalah SBMPTN. Banyak yang mengatakan tahun depan akan jauh lebih sulit dan persaingan lebih ketat membuat saya pesimis, mengingat saya lemah di matematika dan terlebih saya ternyata kurang juga di Bahasa Inggris yang selama ini saya remehkan. Saya tahu itu semenjak beberapa jam yang lalu, saat bimbel. Saya merasa saya masih sangat kurang. Saya tidak merasa bodoh, saya yakin saya mampu di pelajaran Bahasa Indonesia, Sejarah, dan Geografi. Tapi untuk lulus tes, saya tak bisa menghindarinya.

  Pemikiran-pemikiran saya langsung mengacau dan tak beraturan semenjak beberapa jam lalu. Seolah sekejap cinta terasa kelu di lidah, tak ada rasa apapun, hambar. Tak bisa lagi saya rasakan manisnya paras perempuan-perempuan itu. Rasa takut itu menyebar ke seluruh tubuh mematikan indera dalam sekaligus. Soal semangat? saya sudah lama kehilangan semangat. Dalam artian semangat yang dulu orang-orang tahu saya. Jadi bukan lagi semangat yang terserang oleh realita, tapi kepercayaan akan humanisme.  Saya tak tahu mana yang lebih buruk, yang pasti seseorang bisa terus berjuang (mendendam dalam arti positif) didasarkan oleh kekecewaan. Saya makin yakin manusia memang pada dasarnya individulisme, ya harus saya akui makhluk sosial juga. Tapi sendiri itu mengajarkan saya, kadang ada atau tak ada orang lain itu tak ada bedanya. Bila kita masih saja dihantui rasa ketakutan dan keraguan menghadapi hidup. Tak ada seorangpun yang mampu membantu, kecuali Tuhan dan saya yakin itu. Tapi saya artikan makna kata sendiri itu dalam bentuk nyata. Bila ada yang menyatakan , "kamu tidak sendiri, Tuhan bersamamu". Itu tidak salah, tapi itu berarti orang itu tak benar-benar mendalami rasanya sendiri atau tak bisa menafsirkan apa itu arti kesendirian.

  Sudah saya coba, berada di keramaian, mencoba berbaur. Tapi apa yang saya dapat? tetap sendiri. Karena tak ada koneksi dan hubungan timbal-balik. Dan yang terpenting dalam aspek pertemanan, ketulusan. Tak banyak saya temui, tapi saya punya sedikit yang tulus berteman tanpa asas yang lain. Tapi mereka nyatanya sudah tak hadir lagi di hidup saya, mereka ada dan nyata, tapi cuma di khayalan. Maksud saya, yang saya anggap nyata itu bila saya bisa melihat langsung memakai mata, merasakan kehangatannya, dan menyadari ikatan batin saat bersamanya. Tetap saja, sendiri itu tak bisa ditolak, yang memperparah adalah pemikiran dan spekulasi-spekulasi yang berbau pesimis. Pernah saya berpikir, alangkah lebih baik menjadi bodoh, ditimbang harus menjadi "cerdas". Akal itu beban dan pada umur yang saya kira harusnya saya menghabiskan masa muda dengan kenakalan, main-main, mulai kasmaran dan jatuh cinta, kebodohan antar teman sebaya, nongkrong berbagi tawa dan melakukan hal yang takkan bisa diulang di masa muda. Saya tak pernah memilih seperti ini, tapi mungkin alam yang memilih saya untuk menanggung beban ini. dimana saat anak muda lain sibuk menulis kata-kata mesra pada pujaan hatinya, saya memilih menulis tentang apa-apa yang dunia ini tengah amarahkan, terlebih pada jiwa saya. Dimana yang lain berkumpul dan bercerita tentang hari yang tak ingin mereka lewatkan, saya memilih berpikir untuk tidak sama sekali menikmati masa ini dan ingin segera mendapatkan kebebasan yang hakiki. Berbahagialah dalam masa muda kalian, jangan pernah lewatkan. Jangan sekali-kali berpikir yang tidak-tidak, masa muda itu zaman masa bodo, jangan kalian sia-siakan. Kalimat ini tak ada artinya padaku.

  menghadapi ketakutan berarti menghadapi masalah-masalah. Karena sudah seperti yang saya bilang, hidup ini adalah tentang menanggung beban. Manusia tidak akan bisa lari dari masalah. Jangan pernah katakan bahwa masalah itu akan selesai. Itu bodoh, dengar kawan, yang abadi di dunia ini adalah masalah. Kebahagiaan yang sebenarnya itu tidak ada. Orang itu bahagia karena dia melupakan atau mengesampingkan masalahnya, bukan berarti masalah itu menghilang. Tapi bagaimana dengan manusia yang mempunyai kesadaran tinggi? bahagia takkan pernah bisa didapatkan. Ini ironi tapi saya berpikiran demikian dan menganggap ini fakta. Tak ada kebahagiaan yang hakiki, yang selamanya itu masalah. Masalah itu tidak pernah selesai, hanya 'rehat' saja untuk seorang yang menghentikan pemikiran kritisnya. Tapi bagi orang yang terus berpikiran kritis, masalah takkan pernah berhenti. Dan bisa saya bayangkan, kelahiran=masalah. Kenapa? bukannya kelahiran itu anugerah? itu memang benar dan sama sekali tak salah. Tapi coba pikirkan, kelahiran itu adalah masalah baru, baik itu dari segi orang lain (terutama orangtuanya) ataupun segi internal si bayi itu yang mau tidak mau akan tumbuh dewasa, kecuali dia dipanggil duluan. Dan saya ingin kalian tahu, saya tidak sama sekali mengharapkan kematian. Karena saya yakin kematian bukanlah akhir dari masalah, tapi babak baru ke tingkat yang lebih "menyeramkan" lagi dari masalah. Yang saya inginkan hanya kedamaian. Ingin sekali hari-hari saya habiskan membaca kumpulan puisi Sapardi Djoko Damono atau sekedar menghabiskan waktu di lembah mandalawangi.

  Tapi tak bisa, hidup tak sesimpel itu. Kita dihadapkan pada pilihan yaitu menhadapinya atau menghadapinya. Tak ada jalan lari, tak ada kata menyerah, tak bisa kita menyangkalnya. Masalah tak bisa disingkirkan atau diselesaikan. Kita hanya bisa mengahadapinya, meskipun ketakutan dan keraguan selalu ada, tapi tak ada jalan lain. Dan dengan kemajemukan dan individualisme manusia, jangan harap bisa mendapat pertolongan dari orang lain. Masalah itu bersifat individu, artinya semua makhluk di dunia ini akan mengahdadapi masalahnya masing-masing. Jangan bodoh dengan menyerahkan bebanmu pada orang lain, tak ada yang bisa "menggendongnya" kecuali punggung kita sendiri. Tak ada yang bisa menolongmu kecuali dirimu sendiri, dan jangan lupakan Tuhan. Dulu saya pikir kita bisa melakukan sesuatu sebagai "pelarian" dari masalah. Setelah sadar sekarang saya pikir itu tindakan bodoh dan sia-sia. Kenapa? jika kalian lari , makin cepat kalian menghadapi masalah baru. Dahulu saya senang berlari, tapi saya sekarang lebih suka berjalan pelan. Karena hanya pengecut yang berlari, dan dengan berjalan pelan, selalu siap dengan penuh keberanian menghadapi apa yang ada di depan mata. Itu adalah sifat patriot, pejuang yang sesungguhnya. Makanya saya sekarang agak konyol bila disuruh berlari. Sepak bola bisa dibilang kini bukan lagi pelarian saya, malah menambah masalah baru, saya lebih suka berjalan pelan, agar tidak ada yang terlewat, terus saya hadapi. Saya juga merasa saya tak punya lagi tempat pelarian, yang ada bila saya menganggap tempat itu sebagai pelarian, maka saya akan merasa bodoh dan merasa makin-makin tersiksa, sungguh malah makin menyiksa. Tak ada tempat pelarian, dimanapun itu, yang ada hanyalah rumah. Dan jujur saya kini tengah kebingungan karena tak ada tempat yang saya rasa sekarang sebagai rumah, yang benar-benar rumah. Mungkin karena saya terlalu sering berpindah. Berbahagialah kalian yang menetap.

  Dalam kehidupan pasti kita dihadapkan oleh ketakutan dan keraguan, itu tanda bagi orang-orang yang berpikir. Tak ada yang bisa dilakukan selain mengahadapinya, tentu dengan berani. Saya ingin terus menghadapi kesusahan ini, ingin susah dalam hidup ini. Di aspek ekonomi, moral, sosial dan pribadi saya. Agar saya dapat merasakan orang-orang yang hidupnya benar-benar susah. Agar saya dapat merasakan sendiri penderitaan-penderitaan rakyat yang suaranya bahkan tak terdengar ke pintu rumahnya sendiri. Bertahan mengahadapi kejamnya hidup. Maka saya bersyukur, Tuhan memberi kesusahan pada saya, saya amat sangat bersyukur. Saya bangga. Saya tidak ingin merasakan menjadi kaum borjuis, terlalu jauh, saya ingin realita. Biarlah tubuh ini kurus kering sebagai simbol peduli dan empati pada penderitaan rakyat, yang setidaknya ingin mendapat keadilan, hanya sedikit keadilan. Maka, nikmatilah ketakutan dan keraguan, nikmatilah kesusahan dan penderitaan, nikmatilah kesunyian dan kesendirian. Berbahagialah dalam ketakutan dan keragu-raguan, berbahagialah dalam kesusahan dan penderitaan, berbahagialah dalam kesunyian dan kesendirian. Berbahagialah dalam realita-realitamu.

 Berbahagialah, meski kebahagiaan itu hanya fatamorgana.


Wassalamu'alaikum Wr. Wb.

Minggu, 28 Oktober 2018

Sumpah

Jangan mengucap sumpah
Bila hidup masih resah
Kala dendam membuncah
Acapkali nestapa gerah

Tapi, demi cinta
Sumpah adalah citra
Dari belenggu jiwa
Dan gempita rasa

Pemuda, bersumpahlah!
Tanah ini selalu berjaya
Jangan biarkan berdarah
Jangan biarkan pertiwi merana

Ku cintamu, negeri ini
Seburuk apapun kau beri
Jasamu layak dihargai
Keindahanmu pasti ku syukuri

SAYA PEMUDA,   
SAYA INDONESIA!


-Uyyi, Sumpah Pemuda 2018

Inginku

Hidup adalah tentang ingin
Mendekap tak menghapus dingin
Ego acapkali angin

Esok senyummu tak ada
Berpaling dan enggan menyapa
Hidup adalah tentang tiada

Aku ingin mati saja
Dan terjebak lara
Asalkan matamu yang punya
Sebab tak ada lagi asa

Kembalikan hidupku
Bahkan tak pernah bahwamu
Sekalipun mencurinya dariku

Aku ingin sesuatu
Yang bisa membuatku
Hanyut dalam lagu
Hidup seperti candu

Tapi aku tak bisa hidup tanpamu
Mati pun mungkin, karenamu

Keinginan adalah musuh terbesarmu.


-Uyyi, 281018

Jumat, 26 Oktober 2018

Aku Cinta Padamu, Pangrango

Assalamu'alaikum Wr. Wb.

  Salam lestari.

  Ada hal yang mampu diucapkan kata-kata, ada yang tidak. Ada hal yang bisa dinikmati banyak orang, ada yang hanya bisa disaksikan satu pasang bola mata. Ada hal yang bisa diceritakan, ada pula yang seorang tak mengizinkan kisah itu terekspos, melainkan keindahan itu sangat mahal harganya hingga disimpan memori sendiri. Tapi bisa dibilang itu suatu tindakan yang pelit, dan setiap ingin memendam cerita ini sendiri, hati selalu berteriak untukku menceritakannya. Baiklah, dengarkan bila ingin dengar. Karena ini dari hati ke hati, bukan untuk pamer atau sekedar eksistensi atau hal negatif yang mungkin otak kalian terjemahkan.

  Tanggal 18 Oktober 2018, tepatnya hari Kamis sepulang bimbingan belajar, saya (yang sudah direncanakan jauh hari) berpaling ke Jakarta untuk, jujur saja, mengakhiri masa vakum mendaki. Saya atau tepatnya kami akan menjamah Pangrango yang melegenda. Singkat cerita, tanggal 20 Oktober 2018, sekitar pukul 9 malam lebih sedikit. Kami Berangkat ke Bogor dari Stasiun Pondok Ranji. Kami bersembilan, yatu saya, Ilham Ponco (leader), Imam, Blek, Azil, Ridwan, Potek, Farhan dan Ade. Sebagai informasi mereka semua adalah siswa SMAN 74 Jakarta termasuk saya, tapi saya sudah keluar saat kelas 1. Kecuali Ade, saya tidak tahu dia sekolah dimana, yang pasti Ponco yang mengajak dia. Singkat cerita, kami sampai di Basecamp TNGGP (Taman Nasional Gunung Gede Pangrango) sekitar pukul 3 dini hari. Pos perizinan dan kesehatan dibuka pukul 06.00, maka kami perlu menunggu sampai pos dibuka. Hampir lupa, jalur pendakian yang kami akan lewati adalah via Cibodas.

  Singkat lagi, setelah semua prosedur sebelum pendakian kami jalani, kami mulai mendaki sekitar pukul 8 pagi kurang sedikit. Setelah berdoa, kami berangkat. Saya juga mau menjelaskan kenapa saya langsung ke pendakian saja. Jujur, yang saya akan bahas bukan kronologi, bukan tentang kami mendaki, bukan tentang eksistensi. Tapi yang ingin saya bagi adalah kesan, pengalaman, tujuan, dan lebih khususnya apa yang saya rasakan. Jadi ini adalah tentang diri saya, bukan ingin egois melupakan teman-teman. tapi kisah kami biarlah kami yang kenang, biar saya yang mulai bercerita. Sekali lagi saya tegaskan, ini bukan soal kronologi. Jadi peristiwa, waktu, mungkin tidak saya jelaskan, tapi sekilas ada untuk memperjelas rasa dan pemikiran-pemikiran yang timbul.

 Seperti pendakian pada umumnya, tak ada yang terlalu spesial, kami tiba di camp sesuai rencana. Tapi bagi saya, bisa menapakkan kaki di hutan rimba adalah suatu anugerah. Bagaimana tidak, 1 tahun 7 bulan bukan waktu yang singkat. Dengan udara lembut hutan dan jernih air sungai, rinduku tertuntaskan. Jujur, saya sangat rindu. Rindu saat kaki-kaki lemas ketika dihadapkan trek menanjak kejam, rindu senyum lelah rekan-rekan pendaki dan kami tertawa bersama, rindu suara nyanyian alam dan ini tak bisa dideskripsikan. Lebih dalam lagi, saya rindu gunung, kerinduan yang tak bisa dideskripsikan, tak bisa dihapus, tak bisa di jelaskan pena. Saya selalu bisa membedakan suasana dan sudut pandang dimana pun kaki ini berpijak. Dan di gunung, jujur, seperti pulang.

  Malam di Kandang Badak (pos tempat kami camp), saya sendirian tidur di hammock ditemani flysheet dari jas hujan yang saya buat dengan seadanya karena tak ada flysheet. Semua aman dan hangat sampai pada akhirnya gerimis hujan membangunkan saya dari kehangatan. Dingin ini, walaupun saya rindu, sangat menusuk. Teringat saat di Sumbing, tapi kali ini ditambah dingin dan sepinya malam. Jam 10 turun hujan dan memaksa saya menikmati gemercik airnya. Hujan tak lama, tapi hawa dingin dan sepi semakin mencekam. Berselimut atau tidak pun terasa sama saja. Kaki sudah mulai keram dan kesemutan, gelap di pelupuk mata, semuanya sangat mencekam. Apabila kalian orang yang percaya mistis, percayalah, di antara gelap itu memang pasti ada. Di luar, kedinginan dan sendiri. Satu-satunya yang menemani hanyalah keheningan. Pukul 1 malam, dingin memuncak, karena punggung terus terkena hembusan angin (karena tidur di hammock) dan pikiran sudah ngawur kemana-mana. Dan jujur, saya parno akan terkena hipotermia. Lalu saya bergerak dan berjalan menuju tenda teman-teman yang jaraknya tidak jauh, ditemani sorot senter yang sudah buram karena baterainya hampir habis. Sambil kedinginan hebat, saya meminta tolong rekan- rekan di tenda. Walau sempat berpikir tidak-tidak, saya berhasil selamat dan syukur masih diberi kesempatan.

  Saya bukan ingin berbangga karena bisa lolos dari hal mencekam seperti itu (atau tidak menurut kalian). Tapi yang saya ingin gali adalah pelajaran apa yang dapat saya ambil. Setelah pulang dari Pangrango, saya berpikir, pengalaman di Kandang Badak adalah yang terburuk. Tapi ternyata tidak, saya salah besar. Kedinginan, kesepian, hipotermia, atau hal mistis yang mungkin kalian temui di gunung tidak lebih buruk dari kenyataan hidup. Hidup ini lebih kejam, manusia itu kejam, dunia itu tempatnya keserakahan dan kekuasaan. Dunia penuh kepalsuan, penuh dalih-dalih yang hanya menguntungkan satu pihak dan menghilangkan humanisme. Dan yang sadar tentang busuknya dunia, akan berpikir lebih baik terjebak dingin dan terkena hipotermia di gunung daripada seumur hidupnya menyaksikan kekejaman dunia menindas kaum yang lemah. Yang saya tahu, alam tidak pernah menuntut apapun kecuali keramahan, dan ia akan balik mencinta, tanpa pamrih. Berbeda dengan dunia, semuanya selalu punya alasan. Karena menurut saya, mencinta itu tak boleh pakai alasan, jika itu tulus pasti tanpa alasan. Alasan itu hanya bualan agar suatu individu tak mengeluarkan apa yang akan menjadi sia-sia. Dan menurut saya lagi, apa yang kita keluarkan di gunung, pikiran, perasaan, selama itu positif tak akan sia-sia. Berbeda di dunia, mereka yang otoriter sengaja menutup telinga agar ide-ide dan perasaan tetap bungkam. lalu apa yang kalian pilih?  saya memilih menjadi manusia bebas.

  Mengharap pada manusia= kecewa, sia-sia. Pesimisme dalam hidup bukanlah sebuah kriminal dan bila saya bisa katakan, hidup ini tentang menanggung penderitaan. Di gunung, penderitaan itu tak akan kita hadapi sendiri, saya merasa alam sangat membantu. Jujur, walau di dunia nyata, banyak manusia dan banyak yang membantu, tetap saja luka tetaplah luka. Terpejam dan tak bisa menghilang. Lain ketika berada di gunung, luka itu tak hilang, tapi rasa-rasanya seperti sudah ikhlas, Tak ada beban. Yang ingin dilakukan disana hanyalah tertawa dan tertawa, tanpa kepalsuan. Dan satu bagiku yang paling menakutkan, yaitu kesepian. Satu-satunya yang bisa membunuh jiwa dan raga sampai akarnya. Berbeda di gunung. Saya tidak menemukan kata "kesepian", yang ada hanyalah keheningan. Realitanya, di dunia walaupun kita atau khususnya saya dikelilingi banyak manusia, tetap saja, kesepian selalu punya celah hinggap dan sudah menjadi penyakit yang kronis, membunuh setiap waktu. Lain di gunung, walaupun kelak saya mendaki sendiri, atau memang sendiri di hutan, saya tak akan merasa sepi, takkan pernah. Saya akan memegang kata-kata saya ini. Saya tidak pernah merasa kesepian di gunung, sesulit apapun keadaan, karena alam tidak pernah berdusta, daun yang gugur pun tak mungkin berpura. Meski menyimpan misteri, setidaknya alam tidak akan melakukan propaganda atau sekadar mencari untung sendiri. Itulah mengapa saya cinta hutan dan gunung. Dan di gununglah tempat rumah kedua, dimana saya bisa merasa di terima apa adanya. Tanpa harus berpura-pura jadi orang lain, tanpa kepentingan, tanpa dusta, tanpa kecurangan, tanpa embel-embel politik, tanpa dalih-dalih menghasut pemikiran murni. Mereka menerima dan mendekapku mesra.

  Memang tak baik menjadikan gunung sebagai tempat pelarian, tapi harus saya akui. Gunung adalah tempat saya pulang (pelarian terkesan sangat menyeleweng). Sama seperti tokoh Gie, beliau ke gunung untuk menenangkan pikiran dari hiruk pikuk dunia, juga karena cinta pastinya. Ketika lelah dengan kepalsuan dunia, alam menawarkan ke-transparan-nya. Ketika dunia menjadi tempat yang kejam, alam selalu menawarkan keramahannya. Seakan berada di alam, tak ingin lagi , tak perlu lagi dunia itu ada. Andaikan bisa selamanya saya berpijak di alam, khususnya di Mandalawangi, Pangrango. Tak ada lagi yang kuingini di dunia ini, biarlah dunia seperti apa yang dunia akan kehendaki. Saya sudah mendapat ketenangan hakiki. Ingin ku syukuri sembari bercerita tentang kejamnya dunia yang kini menjadi sarana kemaksiatan, dimana humanisme dan sosialisme telah luntur. Saya ingin belajar seperti edelweiss yang tak pernah mendendam, andai hidup semudah itu. Gunung juga tempat berpikir, bagi para pemikir, kudengar istilah ini belakangan ini. Dan memang betul. Segala inspirasi bisa di dapatkan dalam keadaan damai. Kedamaian, haha. Di dunia ini tak ada yang benar-benar disebut kedamaian. Kecuali saat alam yang menyerukannya.

  Saya akan terus pulang lagi, untuk menceritakan perubahan apa yang tengah dunia alami, sebagai tanda kesetiaan dan ketransparanan. Mungkin suatu saat nanti saya akan kembali ke Pangrango dan ingin mewujudkan mimpi untuk sekedar berkemah disana, ingin merasakan yang Almarhum Gie rasakan. Bercengkrama dan berpuisi, akan lebih syahdu, pikiran akan lebih transparan. Entah sendirian atau berdampingan, suatu saat ingin sekali pulang lagi ke Mandalawangi yang indah. Karena saya sudah jatuh cinta pada Mandalawangi. Intinya ingin benar-benar kesana lagi. Tapi jangan terlalu idealis dengan angan-angan akan kebebasan. Kita manusia diciptakan untuk menanggung beban dan mengahadapinya, bukan lari seperti seekor tikus pengecut. Berani hadapi, seburuk apapun dunia. Berani menerima sekejam apa takdir menyiksa. Berani menghadapi yang tanda tanya, dan mencari sebanyak-banyaknya makna. Karena hidup bukan perkara jawaban, tapi soal  dan bagaimana sebagai manusia yang berakal kita berusaha mencari dan mengemukakan kebenaran pada publik. Karena seburuk apapun, kebenaran adalah tetap kebenaran, bukan dusta.

"Aku cinta padamu, Pangrango,
Karena aku cinta keberanian hidup." 
- Soe Hok Gie
Lembah Kasih Mandalawangi

  Dan jika ada yang bertanya, "kenapa sih mau ke gunung?" "mau ngapain ?" "faedahnya apa?". Bung Fiersa menyatakan alasannya karena "bau tanah setelah hujan", jujur itu alasan yang sangat menarik. Ada yang ingin menikmati keindahan, ada yang ingin menaklukkan dirinya sendiri, ada yang untuk berpikir dan merenung, dan yang terburuk cuma ikut-ikutan saja. Tapi saya tidak, saya benar-benar tidak punya alasan pasti kenapa saya kembali dan kembali lagi ke gunung. Seperti saya sudah bilang tadi, untuk mencintai, tak perlu pakai alasan. Saya tidak punya dan tidak mau punya alasan, tapi kalau ada yang bertanya saya terpaksa menjawab,

"PANGGILAN HATI".


Wassalamu'alaikum Wr. Wb.

Rabu, 17 Oktober 2018

Teman dan Kopi

Hanya kaulah temanku.
Pahitmu tak kelu.
Menyairkan segalanya sendu.

Kesepian tak lagi asing.
Tak ada yang mengerti definisi sepi.
Kecuali hangat mentari,
tenggelam terbunuh hari.

Kini disaat dunia jadi tempat yang terlalu
ramai,
Berdua denganmu selalu menjadi tempat 
yang damai.

Bagiku, lebih baik terbuang dalam fana,
Daripada hidup dalam sandiwara.


-Uyyi, 71018

Minggu, 14 Oktober 2018

(Kata Orang)

Orang bilang
Jangan menerka-nerka akhir sebuah cerita
Ibarat membaca buku
Jangan membaca akhirnya terlebih dahulu
nanti kisahnya tidak akan terasa
nanti kisahnya tidak bisa dinikmati pembaca
Begitupun dengan hubungan
Orang bilang nikmati saja
Jangan membayangkan akhirnya

Aku tidak ikuti kata orang
Aku terlanjur membayangkan akhir kisah kita
Dan ku yakin akhirnya bahagia
Namun itu dulu
kini, aku membayangkan akhir kisahnya
Tapi entahlah apa jadinya
Buruk baiknya selalu ada
Seiring sikap kita yang merusak kisah indahnya
Hingga tergores luka yang tak tau kapan sembuhnya
Orang bilang tentang akhir sebuah cerita
Baik atau buruk sama saja
Yang terpenting prosesnya
Tapi bagiku tentang akhir sebuah cerita
Baik atau buruk sama saja,
yang terpenting kamu (nya).


- tertanda bulan, kepada bumi. (kawan uyyi titip sajak)

Senin, 08 Oktober 2018

Diantara

Diantara kantuknya malam dan gelapnya 
aku,
Kau tetap sayup-sayup yang tenang 
dalam kebisingan.
Diantara jarak yang tak pernah berubah
dan hidup yang terus berjalan,
Kau suara yang membuatku bisu.

Diantara kehilangan dan mendapat yang
baru,
Kau takkan pernah bisa tergantikan.
Dan meski semuanya telah direnggut,
Setidaknya mencintaimu tak perlu pakai
susah.

Dan diantara banyak wanita dan yang 
mencinta.
Kau tumbuh menjadi partikel yang 
mustahil terlupa.


-Uyyi, 22 Agustus 2018

Sabtu, 29 September 2018

Biru


Katamu dia,
Tapi langit yang biru.
Barangkali matamu kelilipan,
Atau kau sedikit buta akan warna.

Tidak, aku bukan biru.

Aku merah jingga yang rela setiap senja
menunggu.
Sampai kau kembali kepadaku.
Bukan pada masa lalu.

Tapi, memang cuma langit yang biru.

Juga dirimu saat pagi itu.
Kuharap kau baik-baik saja.
Semoga kau hanya benci membaca,
Bukan dibutakan cinta.


-Uyyi, 20 Mei 2018


Senin, 17 September 2018

Cerita dari Belahan Bumi Lain (2/2)

Assalamu'alaikum Wr. Wb.

  Jujur berat sih untuk nerusin cerita ini. Karena emang bener-bener berantakan banget dan sampe ngebuat gua down banget. Tapi di setiap gua mengingat hal ini, gua pun selalu punya panggilan hati untuk bercerita. Gua mau setidaknya dengan bercerita beban batin gua sedikit berkurang.

  Soal sekolah gua gak tau lagi apa yang mau gua lakuin. Gua ada dimana di situasi "hampir menyerah". Gua bener-bener gatau apa yang harus gua lakuin, ya walaupun gua harusnya tetep mencari info sekolah lain atau setidaknya bimbel. Tapi sekarang rasanya kayak gaada yang mau gua lakuin, gua kehilangan semangat gua, yang menggebu-gebu. Kehilangan gairah hidup, kehilangan arah, tersesat dalam gelap pekat. Dan yang paling parah, gua ngerasa sangat sangat sendiri, atau sebut saja terasingkan. Karena gua merasa tidak di akui dimanapun. Di sekolah merasa terasingkan, di tempat latihan bola gua merasa terasingkan dan di mata mereka terlihat memandang gua sebagai orang asing. Tau ga sih kalian itu rasanya kayak gimana? rasanya itu kayak lu itu ga pantes, gak berhak berada disini. Tapi kalo lu tetep bertahan sih bisa aja tapi terasa kayak"numpang doang" dan lu gabisa banyak menuntut karena lu itu ya cuma numpang. Ya kalo udah numpang terus banyak komplain apa salah kalo disebut kurang ajar? dan tetep aja dimata mereka lu itu cuma orang asing, ga lebih. Berbeda jika kalian berada dalam lingkungan yang menganggap kalian sebagai bagiannya, pasti akan jauh lebih nyaman dan percaya kemampuan terbaik kalian bakal keluar dan akan dipandang sebagai rekan, bukan orang lain. Lingkungan yang memang kalian secara resmi termasuk bagian dari mereka dan tentunya berkat usaha sehingga solidaritas akan muncul seiring berjalan waktu.

  Jujur gua sekarang lebih ingin fokus ke PTN. Tapi kalian tau kondisi sekolah gua sekarang gimana, dan kalo mau lanjutin bola, gua sekarang ga main dimana-mana. Jadi bisa disimpulin, sampe saat ini keputusan gua pindah ke Bandung itu ga ngedapetin apa-apa, sampe sekarang masih di bilang sia-sia. Walaupun gua selalu optimis bahwa gaada yang sia-sia. Tapi kalo diliat progress nya ya gaada yang gua dapetin, dan seiring dewasa cenderung akan lebih berpikir realistis. Dan kalian nilai sendiri aja, yang gua dapetin sekarang apa? realistisnya sekarang gua jadi apa? sedih mengakuinya bahwa cuma nol. Gatau kalo gua waktu itu milih stay di Jakarta. Tapi ya mau gimana lagi, nyesel itu percuma yatapi gua emang kecewa banget. Jadi ya butuh waktu aja untuk nerima, oh bukan nerima, tapi ngerubah semuanya.  Jadi sekarang memang bener-bener membahas kedepannya gua mau kemana dan jadi apa beserta hambatan dan rintangan ya bener-bener terpampang jelas. Alasannya karena gua iri sama temen-temen gua yang bisa dapetin dua-duanya (bola sukses, sekolah juga menunjang ptn), malah banyak yang udah main di klub-klub besar seperti Persija, Persib, Madura United, bahkan Timnas dan masih banyak lagi. Juga sekolahnya merupakan sekolah unggulan negeri yang setiap tahun yang masuk PTN bejibun. Sedangkan gua? menyedihkan. Makanya gua ngambil langkah untuk ngejar PTN dulu. Apalagi kakak sepupu gua yang sabtu kemarin abis wisudaan makin memotivasi gua untuk bisa dapet gelar juga.

  Kalo kata uwa gua, gua itu kayak orang tidur yang diajak ngbrol. Jadi iya-iya aja padahal gatau apa yang diomongin/apa yang disiapin untuk masa depan gua kedepannya. Gua juga lama dalam menentukan, gatau waktunya terlalu sempit atau guanya yang lemot. Tapi menurut gua sih waktunya terlalu sempit karena pas gua mau ke Bandung pun gua bener-bener baru balik dari Pekanbaru dan cuma dikasih beberapa hari mikir yang gua gatau apa pertimbangan sesungguhnya. Semuanya terlalu gambling, terlalu cepat, sedangkan pikiran gua sendiri masih kacau dan belum bisa berdamai dengan diri sendiri. Dan pelatih gua Bandung itu seakan memaksa dan seakan-akan ke Bandung itu cuma jalan satu-satunya, yang ngebuat gua bener-bener terjebak dan tersesat, gua bener-bener tersesat. Kalo kemaren waktu mikirnya agak lama, segala pertimbangannya sudah tau pasti dan keuntungannya gua tau, pasti gua milih di Jakarta. dan walaupun ke Bandung pun gabakal ngikutin rulesnya pelatih Bandung, make cara gua sendiri dan juga tetep arahan ortu, bukan dia. Maaf kalo gua seakan mengumbar kebencian. Karena memang gua udah kecewa berat, memang niat dia baik, tapi caranya salah dan ga berujung mengutungkan gua sama sekali. Gua jadi berpikiran buruk terus dan merasa dimanfaatin, yang walaupun bukan maksud dia. Dan gua gabisa komplain langsung karena gua masih tau tata krama sama orang yang lebih tua, dan karena dia teman baik bokap gua, Camkan! teman baik ortu bukan berarti dan harus temen baik lu, begitupun kalo kita punya temen baik bukan berarti temen baik ortu kita. Dia temen baik bokap sama kakek gua, dan dia pelatih gua, harus bisa bedain. Jadi kalo gua beda kepercayaan sama ortu gua rasa itu sah-sah aja, karena sebagaimana yang gua udah jelasin diatas. Kalo gua mau marah gua bisa bentak-bentak depan mukanya, tapi itu gak baik dan ga boleh gua lakuin, tetep gua hormati dia sebagai pelatih. Makanya gua cuma bisa cerita blak-blakan disini, kalo ada yang kontra itu wajar karena ini sosial media semua orang bebas berpendapat.

  Kalo ditanya ada yang mau disampein ke pelatih Bandung itu gua cuma mau bilang, makasih udah ngebuat semuanya hancur berantakan. Tapi gua yakin ini semua ada hikmahnya dan Allah udah nyiapin jalannya yang terbaik. Dan semuanya terjadi bukan tanpa alasan. Ohiya satu hal lagi yang ngebuat gua ngerasa gua dimanfaatin. Sampe sekarang dia ga coba hubungin gua, gua gatau apa alesannya. Itu intinya dia emang ga peduli dan emang ga keliatan kan mau majuin gua dari kelakuannya yang banyakan negatifnya. Gua yang harus hubungin duluan, samperin rumahnya terus, tapi gaada usaha nyamperin gua dan sekedar menanyakan keadaan, udah bisa simpulin sendiri kan? Dan ke rumahnya pun orangnya gaada, di telpon ga diangkat-angkat. Padahal dulu dia yang minta gua untuk pindah ke Bandung, beneran. Udah nyemplungin gua terus main pergi ninggalin gua yang lagi tenggelam, makasih banget loh! kontribusinya useless banget dan harusnya gausah repot-repot ngurusin hidup orang lain. Urusin hidup sendiri aja dan gaada yang kecewa dan tersakiti.

  Tapi poinnya jangan pernah sekalipun berhenti berusaha dan juga jangan berhenti bermimpi. Sekeras apapun cobaan dan halangan orang lain. Yang terpenting, keep fighting and don't lose hope.


Wassalamu'alaikum Wr. Wb.

Jumat, 14 September 2018

Cerita dari Belahan Bumi Lain (1/2)

Assalamu'alaikum Wr. Wb.

  Bagaimana kabar? semoga baik.

  Berita terbaru dari belahan bumi bagian Jawa Barat, tepatnya Bandung. Memang pada awalnya gua sangat excited akan berada di Bandung, and that's true. Tapi ga seperti apa yang ada di pikiran gua, ga seindah dan semulus di khayalan gua. Dan gua tau memang semuanya gaada yang gampang, apalagi hidup di kota orang, maksud gua bukan kota kelahiran. Jelas kebiasaan dan budayanya berbeda. Soal budaya sih gua juga ga terlalu waswas karena keluarga gua juga merupakan suku Sunda, tapi permasalahannya jauh lebih rumit. Yang gua mau kasih tau ke kalian semua yaitu, Jangan pernah langsung cepat percaya sama orang lain! Gua disini ga bermaksud menghasut kalian menjadi orang yang sombong, individualis, atau semacamnya. Gua cuma mau ingetin, lu boleh denger saran orang lain, semua masukan. Tapi tetep harus lu yang nentuin, jangan sampe orang lain. Karena mereka jelas ga tau what exactly that i/us need, yang tau itu ya cuma diri lu sendiri. Bahkan orang tua lu sendiri, maksud gua memang orang tua banyak berpengaruh, tapi tetep harus lu yang nentuin dengan segala saran dan diskusi dari orang tua. Jangan terlalu menyerahkan masa depan lu sama orang tua, maksudnya jangan membebankan pilihan hidup lu semuanya ke orang tua. Karena ini masa depan lu, lu yang berhak menetukan dan lu yang bertanggung jawab atas apa yang akan terjadi di masa depan. So pikirkan baik-baik dalam memutuskan, libatkan hati setara dengan ego. Dan begitulah sekiranya yang gua rasakan dan jangan sampe kalian ngelakuin hal yang sama kayak gua, kesalahan yang sama.

  Soal keputusan ke Bandung itu keputusan bokap gua dan gua mengiyakan. Sebenernya pada dasarnya ya keputusan gua juga, tapi setelah gua sadari, itu ga sepenuh hati gua. Cuma tekad kuat untuk membuktikan ke semua orang dan ambisi juga kepercayaan bokap gua. Tapi bukan itu yang sebenernya gua inginkan, bukan itu. Karena gua pikir suasananya gabakal jauh berbeda dengan di rumah dibanding di Pekanbaru dan gua pikir masih pulau jawa juga, pulang ke Jakarta juga deket ga ribet-ribet amat. Tapi sekali lagi, jangan terlalu cepat menilai, jangan terlalu enteng membayangkan, itu kesalahan fatal gua. Soal percaya yang gua maksud tadi adalah ke pelatih gua yang orang Bandung, gua ga sebut namanya untuk menghormati beliau, mau bagaimanapun beliau lah yang kasih gua kesempatan untuk bisa hijrah ke Bandung. Sebelum lebih jauh lagi gua akan blak-bakan disini, jadi kalo menurut kalian terlalu frontal, kasar, atau menyinggung gua minta maaf disini. Karena gua menginginkan cerita yang jujur tanpa ada sandiwara. Karena menurut gua yang terpenting adalah kejujuran, sepahit apapun itu. Oke gua mulai,

  Pertama soal sekolah. Jika gua jadi di Jakarta kemungkinan gua dapet sekolah bagus itu udah besar banget. Apalagi pas sebelum pindah ke Bandung, gua udah hampir sempet tes di SMA favorit di Jaksel sebagaimana yang gua udah ceritain sebelumnya. Dan sekolah waktu itu sebenernya gua udah minta mau sekolah bagus kalo bisa negeri. Ibu gua udah kekeh banget gua mau di negeri, karena tetep menurut ibu gua pendidikan yang utama. Gua setuju banget dan gua tetep mau mengejar akademis. Gua juga merasa masih mampu kok bersaing di negeri dan tetep fokus di sepakbola, itu juga tantangan sekaligus motivasi gua untuk tetep jadi yang terbaik dimanapun itu. Tapi akhirnya jadilah gua di masukin ke sekolah swasta "yang gampang ijinnya". You know that's mean sekolahnya santai banget, bahkan lebih lebih dari yang di Pekanbaru. Itu pelatih gua yang rekomendasiin sekolahnya, dan jujur aja itu akreditasinya B. Dia ga rekomendasiin negeri karena takut ijinnya susah. Gua setuju itu karena gua pikir gua udah resmi jadi pemain diklat Persib, tapi kenyataannya gua belum punya klub sama sekali, sampai detik ini gua belum jadi pemain diklat Persib yaa walaupun udah ada tempat latihan, tapi tetep sekarang status gua free, gaada klub dan ga main untuk tim manapun. Jadi menurut gua urusan sekolah itu percuma sia-sia. Sekarang apa yang gua dapet? gaada sob, malah gua makin merasa tertekan dan jujur gua gak nyaman disekolah yang sekarang. Loh bukannya enak santai? ga pusing tugas kayak di negeri? kalo lu pikir gitu gua setuju, tapi gua yang udah terbiasa di negeri jadinya aneh dan ga nyaman. Gua suka tantangan, gua suka tekanan, dan di sekolah kita gabakal ngadepin sendiri. Dan masalah murid, disini cuma sedikit, memang betul. Gua yang udah biasa sekelas rame, dan sekarang merasa sangat sepi, hambar, garing. Bener-bener bukan seperti yang gua harapkan, gua rasa suasananya lebih kayak les private, mungkin. Gua sempet mau nyari sekolah lagi, tapi gua rasa udah telat. Kelas 12 itu cuma beberapa bulan dan kalo harus pindah sekolah lagi ribet lagi soal biaya dan soal kepindahannya apalagi kalo mau ke negeri.

 Sebenernya pas gua ngeluh waktu itu kedua respon orangtua gua sangat baik dan paham banget apa yang gua rasain, apalagi ibu gua. Mereka udah langsung nyuruh nyari sekolah lain yang bagus. Gua juga udah niat, tapi inget-inget tadi, terlalu beresiko. Akhirnya gua harus berbesar hati dan bertahan. Ini gua lakukan untuk tidak membebani orangtua gua, dan alasan gua pindah adalah melanjutkan perjuangan merantau gua. Walaupun gua ga betah karena banyak sekali faktor, tapi gua juga masih menghargai temen-temen gua disitu dan sebagai tanda respect juga makanya gua ga pindah, alusnya karena gua gaenak lah baru masuk masa pindah lagi. Dan juga bentuk respect gua ke pelatih gua karena yang udah urusin semuanya sampe gua bisa sekolah disitu. Tapi sebenernya gua udah ga hirauin faktor kedua dan ketiga, gua udah kesel, marah, kecewa dan bodo amat. Tapi tetep, gua lakuin itu untuk orangtua gua, dan akhirnya karena faktor kedua dan ketiga itu, gua kembali harus berbesar hati.

Masih panjang lagi makanya gua kasih part, don't go anywhere!

   Bersambung....

Wassalamu'alaikum Wr. Wb.