Minggu, 06 Januari 2019

Guntur: Kecil-Kecil Cabe Rawit (1/3)

Assalamu'alaikum Wr. Wb.

  Butuh liburan? butuh melepas penat?
  Mungkin Alam bebas jawabannya.

  Jatuh cinta itu perkara mudah. Tapi untuk mencintai, tidak semudah saat jatuh cinta. Saat mencintai kita tak hanya mengagumi keindahan dari apa yang menurut kita menarik. Tapi juga siap menerima keburukan dan acapkali yang membuat kita gundah atau kesal. Dan tentang alam dan menjelajah, saya kira saya sudah lebih dari sekedar "jatuh cinta." Saya kira saya mencintai alam karena saya merasa begitu diterima apapun keburukan saya, dari mana asal saya, dan apa itu saya. Saya cinta saat sayup-sayup angin berhembus memberi ketenangan batin bagi siapa saja yang hatinya mungkin terluka. Walaupun alam terkenal akan kekejaman dan keganasannya. Percayalah, apabila kita baik kepada alam, mereka juga akan baik kepada kita. Sungguh tak ada kepalsuan diantara alam dan rimba. Rasa cinta saya dan berubah menjadi rasa haus membuat saya ingin terus dan terus kembali menjelajahi keindahan ciptaan Tuhan ini.

  Guntur, salah satu gunung di Garut. Mempunyai ketinggian 2249 MDPL. Orang-orang menjulukinya miniatur Semeru. Saya tertarik dengan statement tersebut. Maka dari itu saya memutuskan melakukan pendakian pada tanggal 22 Desember 2018. Pendakian akan dilakukan oleh 8 orang. Salah satunya adalah rekan saya pada trip sebelumnya sekaligus leader, Ponco. Dan kebetulan adik saya juga saya ajak karena saya rasa cocok untuk gunung satu ini. Kami berangkat pada tanggal 21 Desember sekitar pukul 20.00 menaiki bis menuju Terminal Guntur Garut. Singkat cerita kami sampai di Terminal Guntur sekitar pukul 02.30. Seharusnya kami turun di Pom Bensin Tanjung, karena letaknya langsung di depan akses menuju basecamp. Tapi karena tertidur pulas, alhasil kami terpaksa turun di Terminal Garut dan harus naik ojek sampai ke Basecamp. Tapi jujur saja, ojek di Garut ini tidak bersahabat. Kami terkesan dipaksa dan mereka mematok harga yang menurut saya cukup mahal. Maka dari itu kami naik ojek hanya sampai Gapura desa terakhir sebelum basecamp dan memutuskan jalan kaki sampai ke Basecamp. Dan benar saja, perilaku ojek-ojek tadi sangat tidak ramah. Mereka menggeber seraya mengejek kami yang berjalan kaki ke basecamp. Tapi harga kesabaran itu mahal dan pasti ada balasannya. Diam menjadi pilihan terbaik saat itu.

  Singkat cerita kami mulai mendaki pada pukul 06.00 di tanggal 22 Desember. Cuaca agak mendung tapi gerah tetap ganas dan memaksa badan terus basah dipeluk carrier. Tak ada masalah yang berarti kecuali saling tunggu dan itu hal wajar mengingat setiap orang punya kemampuan dan kapasitasnya masing-masing. Lalu kami sampai di pos 1 sekitar pukul 7.30 untuk menyelesaikan perizinan dan kami molor setengah jam, ya akibat saling tunggu-menunggu. Tak apa, puncak pun takkan lari kemana. Lalu kami melakukan perjalanan kembali sesuai dengan kemampuan fisik masing-masing. Pada situasi seperti ini, kita tak bisa memaksa yang cepat untuk melambat atau yang lambat menjadi cepat. Seperti halnya jalan tol, sudah ada lajur cepat dan lambat, hanya masalah waktu yang membedakan kami, tujuan tetap sama. Lantas terbagi grup cepat yang akan lebih dahulu mendirikan tenda, dan yang agak santai. Sebenarnya saya ingin lebih menikmati hembusan udara rimba dengan berjalan santai, tapi apadaya saya harus membantu mendirikan tenda mengingat masih banyak rekan saya yang baru kali ini menyambangi gunung. Maka dari itu saya urungkan niat dan ego saya untuk membantu Leader dan kawan-kawan. Kami tiba di pos 3, tempat kami berkemah pada sekitar pukul 8.30 menit. Kami melewati pos 2/curug, atau sebenarnya terlewat. Kami mengambil jalur yang tidak melewati pos 2 dan langsung ke pos 3. Saya agak terkejut, tapi sudahlah. Lantas setelah melakukan registrasi pada pihak pos 3, dengan gesit kami mendirikan tenda.

  Terlihat keindahan kota garut dari luar tenda yang perlahan tertutup kabut. Kami berhasil mendirikan tenda dan memutuskan istirahat karena sore ingin Summit untuk mengejar Sunset. Senja, siapa yang tak jatuh cinta padanya? Ada hal yang menarik di Guntur, saya pikir gunung ini lucu, bahkan di pos 3 saja sinyal masih saja kencang. Tak jarang rekan-rekan saya membuat story instagram, saya juga hehe. Mungkin karena tingginya yang tidak terlalu menjulang membuat sinyal masih bisa diterima dengan baik. Tapi setengah gemas saya mengatakan, "Ah inimah kurang gunung nih, masa di pos 3 masih bisa sg, masih bsia vc-an." Seraya tertawa kecil, bersamaan celaan ringan saya, rekan-rekan juga ikut tertawa. Mungkin ada saatnya nanti kembali merasakan sinyal benar-benar langka di gunung, hanya di basecamp saja bisa aktif lagi. Gunung ini tak sedingin gunung lainnya, entah mungkin lagi-lagi karena ketinggian. Pukul 2 kami sudah merapikan tenda dan siap-siap Summit. Di Guntur masih sarat akan pencurian tenda dan barang-barang, maka kami disarankan jika ingin Summit lebih baik menitipkan carrier dan tenda di pos 3. Setelah beres kami turun ke bawah dan menitipkan tenda sekalian laporan bahwa kami akan summit mengejar sunset. Oh senja, saat itu tak terbayang akan seberuntung apa melihat kemegahanmu dari atas Guntur.

  Tak semua hal yang kita inginkan bisa tercapai, kami tak diberi izin. Alasannya karena cuaca sedang tak bersahabat dan terlihat pula jalur ke puncak masih tebal diselimuti kabut. Setelah berunding, kami memilih untuk menyamakan persepsi dan ego untuk membatalkan mengejar sunset. Sedih iya, kecewa pasti. Tapi seperti yang selalu saya ingat dari leader pendakian perdana saya saat saya gagal menyambangi puncak Sumbing, "Puncak itu cuma bonus, tujuan akhir tetaplah rumah. Kita bisa balik lagi kapanpun kesini, lebih baik cari selamat." Saya ingat selalu perkataan itu yang membuat saya meyakinkan Ponco dan teman-teman saya. Kita disini untuk menikmati keindahan alam, bukan selalu mengejar ambisi. "Jadi ya kalo dapet sunset syukur, ga juga gak masalah," itu sekiranya saya katakan. Sebenarnya saya cuma iseng nanya, "apa mau nekat nih? langsung aja gausah izin segala," saya sebenarnya tak sungguh-sungguh, hanya ingin mengetes. Tapi mereka tak mau, dan terlihat para rekan cemas akan kabut. Saya bersyukur karena mereka mengerti. Saya jelas kecewa, tapi saya tahu satu, yang terbaik bukan selalu yang kita inginkan, ya kadang sulit menerima hal macam itu. Akhirnya kami kembali mendirikan tenda yang spotnya berbeda mengingat saat kami pergi tadi spot kami dengan cepat diambil orang lain.




 Tanpa mengurangi semangat, kami mencari spot baru dan gesit bekerja sama mendirikan tenda. Akhirnya kami berhasil mendirikan tenda lagi dan Wah, viewnya keliatan lebih sempurna dari sini. Bukannya kami geram, kami malah tersenyum bahagia. "coba tadi summit, pasti ga bakal dapet view sebagus ini," ucap salah seorang rekan. Ponco bilang, "Ada gunanya juga a kita gagal sunset, noh liat bocah-bocah udah bisa diriin tenda sendiri," dengan bangga ia mengucap hal macam itu. "Iya ga sia-sia, ada aja hikmahnya," saya setuju. Pada akhirnya sesuatu yang sedari awal kita ikhlaskan, tak akan lagi ada penyesalan di belakangnya, bahkan akan  diberi kebahagiaan nantinya. Dan kita akhirnya dibuat kagum, bahwa berdamai melawan ego bukan hal yang mudah, tapi melegakan dan juga menenangkan.


  Bersambung...


Wassalamu'alaikum Wr. Wb.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar