Sabtu, 26 Januari 2019

Guntur: Kecil-Kecil Cabe Rawit (2/3)

Assalamu'alaikum Wr. Wb.

  Malam ini langit malam diselimuti awan abu-abu yang rapat akan air yang ditahan-tahannya untuk turun ke tanah. Hanya rembulan yang terlihat mengintip disela-sela awan, lalu menghilang lagi, lalu muncul lagi. Tapi rembulan malam ini sangat indah barangkali, dari Guntur. Kerlap-kerlip bintang tak terlihat sedari tadi. Aku terlentang dialasi matras memandang langit malam dengan kedamaian dalam hati. Seolah semua lelah dan beban hidupku hilang, tenang dan khusyuk malam ini. Rekan-rekan yang lain juga melakukan hal serupa. Karena malam ini mendung dan kabut turun lagi, pemandangan kota tak terlihat. Alhasil hanya cahaya rembulan satu-satunya yang bisa kita nikmati. Setelah itu Ponco bertugas menyiapkan makan malam dibantu rekan-rekan lain. Ohiya, sekalian aku perkenalkan seluruh rekan pendakian yang belum aku sebutkan satu-satu saat cerita bagian pertama. Yang pertama adalah adikku sendiri, Arvyn. Ya dia pemalas tapi kadang seru juga berbincang dengan makhluk satu itu. Lalu ada Ade, yang sebelumnya ikut pada pendakian Pangrango. Ade mengajak beberapa temannya untuk pendakian kali ini, yaitu: Alby dan Andri. Ada pula Barce dan Azki. Beberapa diantara mereka memang ada yang baru kali ini menjajaki gunung. Jadi perlu tanggung jawabku dan terutama Ponco yang bisa disebut jam terbangnya paling tinggi. Dibantu beberapa rekan, Ponco menyiapkan makan malam. Selain sebagai Leader, Ponco juga menjelma sebagai Koki di pendakian kali ini. Aku? aku masih menikmati langit malam mendung yang agak sendu, tapi sama sekali tak mengurangi rasa kagumku. Aku senang keheningan, aku cinta bagaimana sendu mengajarkan kita apa-apa yang kita tak pelajari saat sedang bahagia. Tapi, aku juga tengah bahagia kini.

  Rencana kami berganti, esok rencananya kami semua akan summit bersama. Tapi Ponco punya usul untuk aku dan dirinya akan tetap di tenda agar tak perlu lagi melipatnya dan menitipkannya. Mungkin alasannya agar tak kehilangan spot strategis ini. Kalau itu alasannya, aku amat setuju. Karena kita akan berada disini 2 hari 1 malam lagi. Jadi, aku berharap besok langit mau menunjukkan kegemerlapannya. Pada awalnya aku khawatir, karena leader (Ponco) dan aku (wakilnya atau juga tugasku sebagai sweeper) tak ikut dalam summit besok. Aku khawatir karena banyak diantara rekanku yang baru pertama kali naik gunung. Tapi akhirnya Ponco meyakinkanku dan membuatku percaya kalau mereka mampu. "Udah a biarin, biar mereka belajar mandiri. Jangan dimanjain mulu, entar gabakal belajar mereka. Lagipula masang tenda udah pada bisa kan? yang penting kita kasih tau aja nanti supaya jangan ada yang main dulu-duluan" begitu sekiranya perkataan Ponco untuk menghapus keraguanku. Setelah aku pertimbangkan dan berdiskusi, akhirnya kami putuskan untuk seperti rencana awal, kami stay di tenda dan mereka yang akan summit, 6 orang lainnya. Setelah makan kami berkumpul dan aku serta Ponco memberi tahu mereka jadwal untuk besok dan semuanya setuju."Ya pokoknya jangan ada yang main dulu-duluan, soalnya gua sama Ponco cuma bisa monitorin dari sini. Nanti salah satu dari kalian gua kasih HT kalo ada apa-apa bilang aja." Aku menjelaskan kepada mereka. Setelah rapat singkat ada yang memilih beristirahat untuk summit besok, ada pula yang masih menikmati suasana gunung. Memang, suasana macam ini tak bisa didapat di kota. Tadinya aku hendak tidur di bawah langit malam. Tapi tak lama rintik air mengenai keningku. Walau aku yakin itu hanyalah kabut dan akhirnya terbukti. Tapi aku memilih masuk tenda dan beristirahat. Istirahat mengenang langit.

  Pagi sekitar pukul 2, aku bangun dan belum ada satupun yang bangun dari tidurnya. Lantas aku membangunkan Ponco dan semua rekan, karena rencananya akan summit jam 3. Aku membangunkan mereka dan menyuruh mereka bersiap agar tak terlalu kesiangan. Agar dapat momen "sunrise"nya. Masa iya udah ga dapet Sunset mau lewatin Sunrise juga. Setelah mereka bangun, berkemas dan sarapan sedikit. Aku dan Ponco kembali memberi arahan dan sedikit himbauan. "Target berangkat sekarang jam 6 atau paling ngaret setengah 7 udah sampe. di puncaknya jangan lama-lama, jam 7 udah otw turun, yaudah toleransi 30 menit. Yang penting gua minta kalo udah jam 7 otw turun. Ada yang mau ditanyain?" Semua diam dan kuanggap mereka sudah mengerti pesan dari briefing tadi. Lalu kami berdoa, berdoa itu satu hal yang penting dan wajib. Dimanapun, tak hanya di gunung. Dimanapun bila akan melakukan suatu kegiatan, kita harus berdoa. Karena selain diri sendiri dan rekan, hanya Tuhan yang bisa menjaga kita seutuhnya. Lalu pukul 3 lebih sedikit, dengan penuh semangat dan tekad, mereka melangkahkan kaki mereka menjauh dari kami. Tak ada lagi rasa khawatirku. Lalu aku memilih untuk tidak melanjutkan tidurku yang terpotong. Aku memilih singgah dan menyaksikan langit malam berganti pagi yang dingin. Perlahan langit menampakkan cahaya biru yang indah nan menakjubkan. Beginikah rupa wajah langit saat baru akan bangun untuk menyambut hari? tak terbayang sebelumnya aku menyaksikan pemandangan macam ini. Ponco juga memilih terjaga dan menikmati suasana. Lalu ia membuat kopi dan mulai menyeruputnya untuk menghindarkan diri dari dingin. Ya, memang sedari kemarin dan semalam tidak terasa terlalu dingin, tapi saat embun mulai turun dengan anggun, dingin langsung menerjang kulit kami. Semua terlalu indah sampai tak terasa di ujung horizon sang surya sudah menampakkan matanya. Ia mulai bangun dan menyapa kami dengan kehangatan. Sungguh, takjub.

Cikuray diseberang sana.

  Semuanya aman dan berlangsung khusyuk sampai sekitar pukul 6 lebih sedikit aku menghubungi Ade yang memegang HT dan mereka bilang rombongan terbagi lagi jadi 2. Ade bersama Alby dan yang lainnya lebih cepat ke atas. Aku masih menghimbau jangan lama-lama disana dan segera turun jika sudah sampai di puncak. Aku sebenarnya agak khawatir, tapi aku mencoba menenangkan diri dengan mengingat omongan Ponco. Lalu tak lama dering hp Ponco berbunyi. Itu adalah Arvyn yang menelpon. Hah? di dekat puncak saja masih bisa dapat sinyal, yang benar saja. Tapi itu benar-benar terjadi. Lantas Ponco mengangkat telfonnya dan berbicara dengan Arvyn. Aku tak tahu ada apa tapi nampak wajah Ponco menjadi panik. Kutanya, "Ada apaan co?" ia menjawab, "Itu si Azki pingsan katanya." Ponco terkejut. "mampus gua." dalam hati aku tersentak. Aku juga panik dan tanpa lama-lama kami nekat menyusul mereka ke atas. Katanya mereka masih ada di puncak 2 dan si Azki pingsan disitu, entah apa penyebabnya. Yang pasti selain Ponco, aku juga bertanggung jawab. Aku juga menghubungi Ade dan ia bilang ia sudah sedari tadi berjalan ke bawah. Ade dan Alby hanya sampai puncak satu dan langsung turun. Tentu jarak mereka sudah sangat jauh. Lalu Ponco bilang ke Arvyn, "Lu tunggu situ, gua samperin lu sekarang. "Gua juga ikut co, ini tanggung jawab gua juga." "Nanti tenda siapa yang jaga?" tanpa peduli aku menambahkan, "Nyawa orang lebih penting dari tenda, udah ayuk otw!" Aku mengambil langkah tegas. Benar saja, tindakanku dan Ponco bisa dibilang tindakan bunuh diri. Kami berlari dari pos 3 ke trek menuju puncak. Dan trek ini merupakan batuan kerikil, jadi semakin kami berlari, semakin kami terperosot ke bawah. Dan kami juga salah ambil jalur karena jalur yang kami lewati adalah seharusnya jalur turun, dan jalur naik ada di sebelah kanan yang banyak pohonnya. Sial, aku terus berlari layaknya orang bodoh dan dilihat banyak orang. Aku tak perduli karena saat itu sedang dalam kepanikan yang hebat. Lalu kami berjumpa Ade dan menyuruhnya ke bawah duluan untuk menjaga tenda dan ia juga tak tahu kalau Azki pingsan, luar biasa. Yang aku perintahkan mereka sudah langgar, agar jangan berpisah dari rombongan.

  Setelah berlari-lari tak ada hasil, aku menepi sembari beristirahat dan menunggu Ponco. Ponco agak tertinggal karena aku berlari lebih cepat. Lalu kami beristirahat dan nampaknya agak putus asa. Tak lama berselang kabut tebal menampar wajah kami. Sial, kabut ini melayang sangat tebal dari bawah menuju puncak. Sehingga jalur sulit terlihat, makin pesimis kami. "Co kacau Co." aku membuka suara, "iya a, parah." Ponco setuju. "Tau gitu tadi harusnya salah satu dari kita ikut." Ponco nampaknya lebih putus asa dariku, tapi aku tak bisa diam saja. Lalu aku menyarankan Ponco kembali menghubungi Arvyn dkk. Telfon diangkat dan terdengar samar-samar suara di seberang telfon. Akhirnya kesimpulan dari percakapan Ponco dengan Arvyn katanya Azki sudah sadar dan mereka sudah pelan-pelan berjalan turun. Jujur kami, khususnya aku lega mendengar jawaban itu. Tapi aku memilih tetap menjemput mereka karena kabut sudah tebal dan belerang sangat menyengat. Awalnya Ponco menolak naik lagi dan memilih menunggu, tapi karena aku yang sudah jalan lebih dulu, ia pun mengikuti. Setelah beberapa meter dan menit terbuang, kami belum juga sampai diujung trek. Lalu kami mengambil istirahat lagi, dan lihat, ternyata itu Arvyn, Azki, Barce dan Andri. Rasa syukurku menggema sejadi-jadinya. Lelah kami terbayar walau sia-sia dari tadi kami berlarian tidak jelas. Lalu mereka ceritakan kronologinya kenapa Azki pingsan. Alasannya karena sepatunya yang licin sehingga ia tak bisa mengerem saat turun, lalu ia terjatuh dan terkapar. Setelah itu ia tak sadarkan diri dan segenap semua rekanya panik,untung saja ada pendaki lain yang memberi pertolongan pada Azki sehingga ia bisa sadar kembali dan bisa turun dengan bertukar sepatu dengan rekannya. "Nco, A, sorry banget gua ngerepotin." Azki tampak menyesal. "Iya selow, lain kali lu lebih hati-hati aja." Aku menasihati. "Yaudah nih minum dulu Ki!" Ponco menawarkan teh yang tadi sebelum naik ia buat. "Enak ga?" Ponco bertanya. "Iya enak enak!" Seru Azki. Lalu aku dan Ponco bertatap muka dan tertawa geli. Azki tak tahu kalau air teh itu kami atau lebih tepatnya Ponco buat memakai air bekas masak mie instan. Azki dan yang lainnya bingung, masih ada sisa tawa di mulutku.

  Kabut perlahan menghilang dan kami turun bersama-sama. Setelah beberapa menit, kami semua bisa sampai dengan selamat di tenda kami. Syukurlah semua selamat. Aku sangat lega. Jadi, besok tinggal aku dan Ponco yang akan menyambangi puncak Guntur. Aku sempat bilang ke Ponco saat tadi masih di trek, "Co jalurnya lumayan parahnih, tadi aja kedodoran gua. Besok kudu siap banget nih mentalnya, miniatur Semeru ce julukannya." Lalu Ponco bilang, "Iya a kayak mau mati tadi gua lari-larian kayak bocah tolol wkwk". Memang benar, jalurnya cukup merepotkan. Lalu setelah makan, Ponco mengajak anak-anak ke curug untuk menikmati segar air pegunungan. Aku memilih tinggal dan tidur karena aku sangat lelah setelah berlarian tadi. Alby dan Ade juga memilih tinggal dan istirahat, ,mereka para pendaki (sangat) santai nampaknya begitu kelelahan, haha. Aku juga memilih beristrahat agar bisa dalam kondisi hening dan bisa menulis. Ya, menulis adalah kebutuhanku kini. Sudahlah pokoknya aku tengah mempersiapkan stamina untuk Summit besok.

view dari tenda (itu bukan sampah kami, tapi nanti saat turun turut kami bawa)


Bersambung...


Wassalamu'alaikum Wr. Wb.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar