Minggu, 08 September 2019

Mengisahkan Kebohongan

Pagi, rasa-rasanya tak pernah sepagi ini.

  Selepas semua yang kita lalui silih berganti acapkali mengecap yang belum tentu mau terjamah, akhirnya semua kembali lagi. Kau dengan lirih senyummu dan raut bangga kalut dalam tawa yang sekali lagi berhasil menganalogikan semesta yang satu. Perjamuan, hari-hari yang basah karena resah, sesam rindu tak mau jera, koin emas yang selalu menolak berhenti berputar di antara semua rayuan binalmu. Yang itu, yang dulu selalu kutahu bahwa mengisahkan kebohongan berarti berjalan sambil menutup kedua bola mata.

  Di antara gelas-gelas yang dingin dan pudarnya lengkung bibirmu diserap kantuk dan malam yang sekali lagi memaksamu menarik selimut dan kembali hilang dari pandangan. Betapa kubenci melihat ruas punggung itu menjauh menuju sudut terjauh yang barangkali merindukan cahaya redup yang sesekali ingin kau padamkan hanya untuk tertawa dan tertawa; karena bahagiamu adalah kata kerja yang selalu memaksa kepala lebih irasional. Melihatmu adalah memandang awan putih, memandang senja yang tertunda, memandang gelap yang menilik minta dikucilkan. 

  Aku tak pandai dalam segala, kecuali menyiasati ketidaktahuanmu atas yang kutahu bahwa hati kadang diciptakan melawan akal sehat yang lama mendiami kegilaan. Namun, kepala memang sudah ditakdirkan menjadi bagian tubuh paling keras, apa bisa kuperbuat? Di antara gelas-gelas yang dingin dan lengangnya antara waktu dan setiap kata yang kau ucapkan, kau masih dan selalu dan akan tetap seperti dulu. Mencuri dan tak mengembalikan lagi yang sebenarnya milikku. Dan kau, selamanya akan tetap jadi milikku yang takkan pernah bisa kumiliki utuh; hati berhak menentukan di mana tempatnya menaruh benih kejujuran.

  Sulit, sulit rasanya mengakui bahwa keparat sekali apa yang disebut nostalgia atau perihal apapun yang memaksa memori kembali bangkit disela perjamuan singkat tak disengaja ini. Hari pertama kedatangan, duduk manis, senyum layu, wajah panik, rambut pendek, teman yang tiba-tiba nampak bisu, dan semua hal yang menolak diingat kecuali tentangmu, hari-hari besarmu. Yang kuingat tak pernah tanggal darimu senyum menohok itu; keabadianku ada di sana. Di antara gelas-gelas yang dingin pernah terlintas untuk mengakhiri pelarian ini. Tapi, sandiwaraku adalah tentang bagaimana menjadi makhluk paling tegar di antara apa-apa yang bisa kau lihat dalam retina matamu yang kerlap-kerlip berbinar bercahaya yang berlandaskan entah rindu pada yang lain, hati yang sudah kau singgahi, atau sekedar wajah rupawan lelaki yang acapkali kau beri tanda pada daringmu.

  Maka semesta, izinkan aku menjadi aktor sandiwara untuk lebih lama lagi. Setidaknya sampai pada akhirnya yang kau tahu telah menjadi angan dan ingin. Bukan angin yang lewat hanya mengebaskan hitam rambutmu yang sehabis itu kau kutuk menjadi udara hampa tak punya arah. Biarlah gelas-gelas dingin lain yang kusesap menjadi saksi bahwa aku tak pernah bisa berhenti memujimu sekalipun hati sudah memilih apa dan siapa. Biarlah kuketahui hadirmu, kelahiranmu, ketidaksengajaan dan kesengajaanmu, merupakan kebajikan semesta kepada makhluk parau, sepertiku. Biarmu, yang kelak mengerti, atau sampai kapanpun tidak akan mengerti. Mengapa selalu kuteguk kopi saat sebelum gelas-gelas menjadi dingin.

  Aku aktor, aku pelakon, aku pelaku, aku tersangka. Dalam keterasingan dalam raut wajah dan keramahanmu yang dingin. Aku pendosa, aku pendusta. Aku, yang mengarang, yang menutup rapat-rapat, yang menyegel, yang tak membiarkan diri cair dalam lemah kalbu, yang bungkam, yang tak bisa tak jadi tak mampu berkata apa-apa. Aku, yang mengisahkan kebohongan (terbesar) dalam buku-buku lusuh di sanubari. Kamu, senyum, sapa dan semua nyanyian yang sumbang pun telah lama menjadi rumah bagi memori menari-nari dan bersenyum ria, membasuh semua yang kau kenakan sekalipun itu keangkuhanmu. Jadi, sampai bersua! entah kau sudah lebih bahagia nanti. Yang pasti, kebohongan terbesarku padamu merupakan buah kejujuran. Kebohongan terbesarku adalah membohongi bahwa kebohonganku sama sekali bukanlah sebuah kebohongan. Kesungguhan, hati suci, nurani dan jiwa abadi. Dan, entah kenapa entah bagaimana bisa, kau tetap menjadi pengecualian; lebih-lebih soal matamu.


-Uyyi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar