Minggu, 19 April 2020

Bandoku Sayang

Ditaruh di atap mobil malah mobilnya jalan
Dibeliin sama orang eh dirusakin orang yang
beliin
Dikasih emak sudah dua kali hilang entah ke
mana
Beli sendiri malasnya bukan kepalang

Oh Bando, Bandoku, Bandoku sayang
Bandoku malang
Kenapa nasib begitu kejam kepadamu
wahai Bando yang mencabik akar rambutku
Entah sudah keberapa kali kau lenyap dari
kehidupan ini
Entah berapa lama aku hidup tanpamu
Bandoku

Sungguh malang nasibmu Bando, Bandoku
Sudah sayang malah semakin gencar hilang
Kasihan oh kasihan
Apa bisa aku mencari penggantimu? Selalu
membeli kehilanganmu? Selalu meratapi
betapa Bando layaknya ingin aku lupakan

Bandoku oh Bandoku
Sungguh malang,
Nasibku.


-Uyyi, 18 April 2020

Senin, 13 April 2020

Kris(t)is Identitas

  Kalau dipikir-pikir buat apa ya sekarang hidup? Tujuannya apa? Dulu sih iya, ada tujuannya, ada ambisi, ada target, ada cita-cita yang mesti diraih. Lah, kalau sekarang mau ngapain? Kalau dulu sih rela remukin badan, rela peluh susah payah, rela sejadi-jadinya. Mau bungkam semua hal remeh, mau membuktikan ke orang, ke seseorang, mungkin gak tahu juga dianya. Mau jadi orang yang bisa setidaknya membuktikan kalau punya mimpi ya cuma bisa diraih. Lah, kalau sekarang bisa apa?

  Kalau dulu masih bisa percaya ke orang, "orang", sekarang susah, mana bisa? Kalau dulu masih banyak khayalan, sekarang setelah realita yang ada cuma bisa bikin kecewa mau marah ke siapa? Kalau hidup sekarang berbeda dari yang sebelumnya, yang diharapkan, yang sudah pada jalur yang benar menurut diri berubah drastis karena pengorbanan salah siapa? Kalau dulu bergantung pada keindahan hawa yang bisa meneduhkan hati, sekarang sudah tak bernilai, sudah basi apa bisa diperbaiki? Kalau dulu cinta, suka, sayang deh sama orang apa gak bisa setengah-setengah? Rasanya sekarang mau setengah-setengah mau gak, gak ada bedanya.  Kalau dulu bisa jadi telinga yang selalu bisa dengerin apa pun, apa telinga bisa terima pengkhianatan dan penghinaan?

  Kalau dulu kenal baik dengan anak kecil yang punya mimpi, punya kemauan besar, setelah tahu busuknya dunia, apa anak kecil bakal jadi anak bego yang selamanya mau ditipu dunia? Kalau dulu cuma bisa berharap berharap berharap, berharap yang disayang suatu saat akan mengerti, yah, siap-siap aja mati dalam imaji sendiri. Kalau dulu masih polos, masih indah seisi dunia ini, sekarang orang-orang baik juga sudah gak ada. Kalau dulu takut hari yang buruk bakal datang setidaknya ada napas menenangkan, sekarang gak ada, gak ada. Kalau dulu percaya cerita bakal mengurangi beban, kayaknya cuma menghapus rasa penasaran orang lain aja, memenuhi hasrat ingin tahu orang. Selesai, kadang enggak juga. Kebanyakan enggak, gak selesai.

  Terus apa guna hidup sih sekarang? Kalau semua hal yang telah dibangun sejak kecil, keyakinan yang sudah ditanam sejak belia, hancur semua oleh semua kenyataan bahwa hidup ini memaksa kita sebagai tokoh siapa dan apa. Buat apa lagi kalau hidup kalau rasa-rasanya gairah sudah direnggut paksa. Beda banget dari dulu yang benar-benar punya semangat, gairah, sekarang cuma hidup dari hari ke hari. Pengennya sih gak mau menyesali semua yang sudah lewat, tapi apakah manusia bisa bohong sama akal dan hatinya sendiri? Apa manusia bisa ingkar dari apa yang dirasakan? Pengennya gak mau nyesel, tapi rindu kehidupan yang dulu sebelum rusak apa gak wajar? "Nyesel gak ada gunanya." Iya, benar. Sama gak bergunanya seperti berusaha menjadi orang yang dimau semua orang tapi lupa diri. Sama kayak gak ada gunanya membohongi diri oleh semua hal yang palsu.

  Lantas mau apa lagi dibuat? Kalau semua yang pernah dan dikiranya akan selalu ada menghilang tanpa jejak. Bisa apa? Kalau ternyata bangun dari mimpi indah gak ada bedanya sama mimpi buruk. Lucu juga kalau selama ini berpikir bahwa orang yang selalu disebut dalam doa, dalam malam, dalam puisi-puisi yang gak akan pernah terbit, ternyata dan nyatanya orang itu gak peduli. Orang itu gak tahu, gak mau tahu, gak mengerti, gak mau mencoba mengerti. Lucu juga selama ini berdarah, bernanah buat orang yang gak akan berbelas kasih, apalagi memberi kasih. Jangan bilang cinta tanpa pamrih, omong kosong! Di dunia ini gak ada sesuatu yang gak mengharapkan imbalan, balasan, atau  apa pun itu. Balik lagi, kembali bahwa imajinasi yang mendorong semangat akan kehidupan yang lebih baik, "karenanya", cuma obsesi belaka yang seiring berjalannya waktu akan, "Wah, bego banget gua selama ini."

  Bicara soal perubahan, kekecewaan akan dunia, harapan yang cuma refleksi dari kecewa, semua hal brengsek dan bajingan yang gak bisa diluapkan, dimusnahkan. Di mana diri mulai kehilangan sendi kepribadiannya, bertahan, bertahan. Pertanyaannya masih sama, makna hidup, guna hidup tuh masih apa sih? Masih gak tahu sebenarnya. Yaudah, jalani aja dulu.

Kamis, 09 April 2020

Joged

  Mengingatmu rasanya ingin terus berjoget. Kau biarkan aku karam dalam lantunan nada, kau menari-nari tanpa reda. Aku ingin menari tapi tak mau melihat kau menari dengan yang lain. Makanya aku joged. Menari gila suka-suka tiada tara sampai kepala rasanya ada dua. Berjoget menaiki menurunimu dalam skala waktu yang cepat cenderung singkat. Kau berjingkat, aku sekarat. Dansa barat dansa timur dansa tenggara dansa utara mana pun terserah setelah aku gila padamu. Menarilah, menarilah dengan orang asing. Aku menari dengan pundak dan jas lusuh sendiri.

  Kau mengancam bila tak mau melihat kau berdansa dengan yang lain. Aku harus berubah, merubah, mengubah, menjadi rubah atau gampangnya ubah saja. Kau kata aku berpikir bisa mengubahmu setelah berubah menjadi rubah atau ubah saja. Tapi entah, kau kata aku gila. Aku sepenuhnya gila, maka aku suci. Cinta milik orang suci katanya, berarti harus gila. Orang gila dosanya diampuni layaknya bayi, harus jadi bayi atau gila? Atau bayi gila, gila bayi? Benar kan, aku sepenuhnya gila. Bahkan untuk melihatmu berdansa dengan yang lain, atau yang lain-lain. Bila aku belum gila, maukah kau setidaknya mempertimbangkan berdansa dengan yang bukan selain aku?

  Aku tetap joget meski tarian dalam bumi mencerahkan bukan seperti punyaku. Bukankah orang menari karena tersakiti? Kenapa malah aku menari supaya rasa sakit kembali? Bukankah orang-orang menari untuk bersenang-senang? Mengapa aku menari sambil sibuk mengenang yang sudah remang? Aku tetap berjoget meski suatu saat kepalaku diilhami pemahaman bahwa menari bisa menyebabkan kelainan otak karena terlalu apik menggeleng-gelengkan kepala tak percaya kau tetap berdansa dengan yang lain, atau setidaknya kau pula sudah pergi. Dengan tarian atau dengan yang kau ajak berdansa tentunya. Tapi melihatmu berdansa saja aku tak sempat, mengajakmu menari-nari bahkan dalam sanubari rasa-rasanya tak kuat. Kau begitu nyata, begitu khayal, aku tak tahu bedanya.

  Ayal aku membayangkan bagaimana bila ancamanmu cuma gertakan, biar aku tak lagi menari dengan jogetan yang tak seorang pun mengerti maknanya. Mungkin kau bingung, penasaran, atau bahkan takut. Tapi, setiap menatap matamu, laiknya bumi berhenti berputar sekarang juga, menikmati langit malam, teduhnya pagi, atau renyahnya tawa bayi yang kenyang makan pir pemberian ibunya yang cantik. Aku tak ingin menyerah, walau harus berhenti berjoget, apa boleh buat? Habisnya matamu menghabisi niat beraniku menari-nari sampai mati. Matahari meledak, mata hati bergerak, atau tergerak. Mencegah sekali lagi kau berdansa bersama yang lain. Semoga, semoga, hari-hari dipenuhi hari raya semoga.

  Tapi aku gak mau menyerah, aku mau berhenti joget, bila itu maumu. Bila bisa menghapus semuanya yang sialan, yang keparat, yang cuma bikin iri, yang bikin sakit hati, yang bikin ingin membunuh semua kesenanganmu yang bukan aku. Aku ingin berserah bila akhirnya aku menjadi waras dan kamu menjadi milikku. Kamu yang pernah menari anggun bersama rambut ikat duamu yang memberi aroma tak lekas oleh bencana yang melanda jiwa seorang yang hampir gila sepenuhnya. Iya, aku bilang ibumu cantik, karena jelas terpampang dalam wajahmu semesta kecantikan itu. Meski aku berdoa buruk pun tak ada artinya selama matamu masih sama tajamnya seperti pertama kali kau tanya perihal rambut pendekmu yang baru.

  Aku ingin, ingin sekali berhenti gila, berhenti tergila-gila atau berhenti menjadi gila. Aku ingin berhenti menari, joget, dansa atau senang-senang. Aku ingin berhenti menjadi keparat yang mendoa busuk bila kau bersedia menari denganku, atau bercakap denganku, atau bersua, atau sekadar melihatmu. Tapi, kau sudah terlanjur berdansa dengan orang asing. Aku juga tak pernah datang ke pesta mana pun, perayaan apa pun. Di kota ini, di dunia ini tak ada semacam pesta yang menyediakan lahan untuk berdansa, untukku. Tak ada. Selagi aku tahu kau takkan kembali, apalagi berdansa. Maka, lebih baik aku terus menari, barangkali sampai seseorang hadir dalam satu-satunya perayaan; hari raya mati.

Jumat, 03 April 2020

Kasih Tak Kenal Ampun

  Aku ingat saat terbaring di rumah sakit beberapa tahun silam. Di tengahnya marabahaya oleh penyakit yang aku sendiri percaya rasa-rasanya kali ini akan merenggut nyawaku. Tidak demikian ibuku, ia hanya ingat bahwa rasa perih tersakit barangkali melihatku tak berdaya di depannya. Nanar tatapan mataku berbeda dengan mereka yang datang silih berganti, kecuali...

  Seekor gadis, seekor kucing manis atau bisa juga seekor kelinci yang irit bicara. Datang bersama orang yang posisinya sama dengan ibuku. Tentu, mereka rasa-rasanya pernah hidup dalam telingaku. Ibuku apalagi memang barangkali menunggu kedatangan seorang itu. Kawannya sejak lama, sudah mengenalnya dalam, aku pula beberapa kali menyaksikannya. Tapi, seekor gadis, mau apa dia di sini?

  Seekor gadis yang berperawakan wajar, duduk diam melamun. Entah, ia memang irit bicara, tak ingin bicara, atau tak ingin berada di sini. Tatapannya tak kosong tapi tak ada yang bisa kulihat di dalamnya. Sementara dua orang lain tengah asik berbincang entah apa yang dibahas, aku terpaku melihat pemandangan yang indah di tengah keterasingan.

  Boleh jujur gadis? Senyummu itu lho, kurang ajar sekali. Dibuatnya aku lupa bahwa aku ini tengah dalam rumah penyakit, aku ini sedang sakit. Dibuatnya aku lupa diri dengan badanku yang semakin habis dibantu alat infus. Dibuatnya aku tak ingin beranjak padahal aku juga tak bisa ke mana-mana selain ke kamar mandi. Gadis, diammu yang justru membuat penasaran. Siapa sih dikau? Sekejap aku berharap cita-citamu kelak ingin menjadi suster atau dokter sehingga aku ingin selamanya terbaring di sini selama kau yang urus. Tapi tak jadi. 

  Masa sakit adalah masa-masa kelam yang mesti dan harus semua orang tunaikan di dunia ini. Bagaimana tidak? Raga diam tapi kepala berjalan-jalan entah ke mana entah ingin apa ingin segera merealisasikan layar besar di kepala. Namun, setelah bertemu denganmu, aku berharap sering-sering sakit (parah) agar kau rajin menjengukku. Tapi tak jadi. Yang aku ingin cuma menyaksikan kilau bening matamu kelap-kelip menyaksikan hal yang sebenarnya tak bisa disaksikan. Kau tetap diam dalam malumu sementara aku kejang oleh rasa yang berdegup kurang ajar meronta-ronta tak mau diam. Siapa sih? Ah.

  Setelah aku sembuh dan sembuh dalam arti yang sebenar-benarnya, saat itulah kutahu namamu. Nama yang tak pernah kukira sebelumnya. Saat sakit otakku yang sinting berusaha menebak namamu, “Bunga? Tania? Putri? Dinda? Sekar?” atau nama lain yang rasa-rasanya banyak ditemui di planet bernama Bumi. Ternyata, dugaanku salah. Namamu unik, estetik, juga menjentik.

  Lalu, sekarang setelah lama kutahu namamu dan sedikit tentang apa-apa-mu, aku hanya bisa memimpikan hari-hari indah lainnya saat sakit. Kau tak tahu, pasti tak tahu. Manusia kagum berulang kali, jatuh terus dan menerus. Jadi, kelak aku tak tahu apakah menjadi apa, siapa, atau bagaimana. Yang pasti, kasih tak kenal ampun. Aku sakit dalam beribu bahasa, hanya satu yang mampu kau terjemahkan: tak mau tahu. 

  Obsesi menjadi hal yang sangat berbahaya bagi manusia. Ya, maka dari itu, kasih tak kenal ampun. Menuntut balasan hanya berujung bisa apa tuan? Kau akan selalu dan selalu menjadi ingatan yang parau di kepala. Tak peduli apa atau bagaimana. Sebagaimana masa sakitku yang perlahan menghilang, kau pula, hilang bersama penyakit yang tak pernah kuharapkan kedatangannya. Yang tak kuingat bahkan aku tak tahu, ke mana saja kau setelah menjengukku?