Mengingatmu rasanya ingin terus berjoget. Kau biarkan aku karam dalam lantunan nada, kau menari-nari tanpa reda. Aku ingin menari tapi tak mau melihat kau menari dengan yang lain. Makanya aku joged. Menari gila suka-suka tiada tara sampai kepala rasanya ada dua. Berjoget menaiki menurunimu dalam skala waktu yang cepat cenderung singkat. Kau berjingkat, aku sekarat. Dansa barat dansa timur dansa tenggara dansa utara mana pun terserah setelah aku gila padamu. Menarilah, menarilah dengan orang asing. Aku menari dengan pundak dan jas lusuh sendiri.
Kau mengancam bila tak mau melihat kau berdansa dengan yang lain. Aku harus berubah, merubah, mengubah, menjadi rubah atau gampangnya ubah saja. Kau kata aku berpikir bisa mengubahmu setelah berubah menjadi rubah atau ubah saja. Tapi entah, kau kata aku gila. Aku sepenuhnya gila, maka aku suci. Cinta milik orang suci katanya, berarti harus gila. Orang gila dosanya diampuni layaknya bayi, harus jadi bayi atau gila? Atau bayi gila, gila bayi? Benar kan, aku sepenuhnya gila. Bahkan untuk melihatmu berdansa dengan yang lain, atau yang lain-lain. Bila aku belum gila, maukah kau setidaknya mempertimbangkan berdansa dengan yang bukan selain aku?
Aku tetap joget meski tarian dalam bumi mencerahkan bukan seperti punyaku. Bukankah orang menari karena tersakiti? Kenapa malah aku menari supaya rasa sakit kembali? Bukankah orang-orang menari untuk bersenang-senang? Mengapa aku menari sambil sibuk mengenang yang sudah remang? Aku tetap berjoget meski suatu saat kepalaku diilhami pemahaman bahwa menari bisa menyebabkan kelainan otak karena terlalu apik menggeleng-gelengkan kepala tak percaya kau tetap berdansa dengan yang lain, atau setidaknya kau pula sudah pergi. Dengan tarian atau dengan yang kau ajak berdansa tentunya. Tapi melihatmu berdansa saja aku tak sempat, mengajakmu menari-nari bahkan dalam sanubari rasa-rasanya tak kuat. Kau begitu nyata, begitu khayal, aku tak tahu bedanya.
Ayal aku membayangkan bagaimana bila ancamanmu cuma gertakan, biar aku tak lagi menari dengan jogetan yang tak seorang pun mengerti maknanya. Mungkin kau bingung, penasaran, atau bahkan takut. Tapi, setiap menatap matamu, laiknya bumi berhenti berputar sekarang juga, menikmati langit malam, teduhnya pagi, atau renyahnya tawa bayi yang kenyang makan pir pemberian ibunya yang cantik. Aku tak ingin menyerah, walau harus berhenti berjoget, apa boleh buat? Habisnya matamu menghabisi niat beraniku menari-nari sampai mati. Matahari meledak, mata hati bergerak, atau tergerak. Mencegah sekali lagi kau berdansa bersama yang lain. Semoga, semoga, hari-hari dipenuhi hari raya semoga.
Tapi aku gak mau menyerah, aku mau berhenti joget, bila itu maumu. Bila bisa menghapus semuanya yang sialan, yang keparat, yang cuma bikin iri, yang bikin sakit hati, yang bikin ingin membunuh semua kesenanganmu yang bukan aku. Aku ingin berserah bila akhirnya aku menjadi waras dan kamu menjadi milikku. Kamu yang pernah menari anggun bersama rambut ikat duamu yang memberi aroma tak lekas oleh bencana yang melanda jiwa seorang yang hampir gila sepenuhnya. Iya, aku bilang ibumu cantik, karena jelas terpampang dalam wajahmu semesta kecantikan itu. Meski aku berdoa buruk pun tak ada artinya selama matamu masih sama tajamnya seperti pertama kali kau tanya perihal rambut pendekmu yang baru.
Aku ingin, ingin sekali berhenti gila, berhenti tergila-gila atau berhenti menjadi gila. Aku ingin berhenti menari, joget, dansa atau senang-senang. Aku ingin berhenti menjadi keparat yang mendoa busuk bila kau bersedia menari denganku, atau bercakap denganku, atau bersua, atau sekadar melihatmu. Tapi, kau sudah terlanjur berdansa dengan orang asing. Aku juga tak pernah datang ke pesta mana pun, perayaan apa pun. Di kota ini, di dunia ini tak ada semacam pesta yang menyediakan lahan untuk berdansa, untukku. Tak ada. Selagi aku tahu kau takkan kembali, apalagi berdansa. Maka, lebih baik aku terus menari, barangkali sampai seseorang hadir dalam satu-satunya perayaan; hari raya mati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar