Aku ingat saat terbaring di rumah sakit beberapa tahun silam. Di tengahnya marabahaya oleh penyakit yang aku sendiri percaya rasa-rasanya kali ini akan merenggut nyawaku. Tidak demikian ibuku, ia hanya ingat bahwa rasa perih tersakit barangkali melihatku tak berdaya di depannya. Nanar tatapan mataku berbeda dengan mereka yang datang silih berganti, kecuali...
Seekor gadis, seekor kucing manis atau bisa juga seekor kelinci yang irit bicara. Datang bersama orang yang posisinya sama dengan ibuku. Tentu, mereka rasa-rasanya pernah hidup dalam telingaku. Ibuku apalagi memang barangkali menunggu kedatangan seorang itu. Kawannya sejak lama, sudah mengenalnya dalam, aku pula beberapa kali menyaksikannya. Tapi, seekor gadis, mau apa dia di sini?
Seekor gadis yang berperawakan wajar, duduk diam melamun. Entah, ia memang irit bicara, tak ingin bicara, atau tak ingin berada di sini. Tatapannya tak kosong tapi tak ada yang bisa kulihat di dalamnya. Sementara dua orang lain tengah asik berbincang entah apa yang dibahas, aku terpaku melihat pemandangan yang indah di tengah keterasingan.
Boleh jujur gadis? Senyummu itu lho, kurang ajar sekali. Dibuatnya aku lupa bahwa aku ini tengah dalam rumah penyakit, aku ini sedang sakit. Dibuatnya aku lupa diri dengan badanku yang semakin habis dibantu alat infus. Dibuatnya aku tak ingin beranjak padahal aku juga tak bisa ke mana-mana selain ke kamar mandi. Gadis, diammu yang justru membuat penasaran. Siapa sih dikau? Sekejap aku berharap cita-citamu kelak ingin menjadi suster atau dokter sehingga aku ingin selamanya terbaring di sini selama kau yang urus. Tapi tak jadi.
Masa sakit adalah masa-masa kelam yang mesti dan harus semua orang tunaikan di dunia ini. Bagaimana tidak? Raga diam tapi kepala berjalan-jalan entah ke mana entah ingin apa ingin segera merealisasikan layar besar di kepala. Namun, setelah bertemu denganmu, aku berharap sering-sering sakit (parah) agar kau rajin menjengukku. Tapi tak jadi. Yang aku ingin cuma menyaksikan kilau bening matamu kelap-kelip menyaksikan hal yang sebenarnya tak bisa disaksikan. Kau tetap diam dalam malumu sementara aku kejang oleh rasa yang berdegup kurang ajar meronta-ronta tak mau diam. Siapa sih? Ah.
Setelah aku sembuh dan sembuh dalam arti yang sebenar-benarnya, saat itulah kutahu namamu. Nama yang tak pernah kukira sebelumnya. Saat sakit otakku yang sinting berusaha menebak namamu, “Bunga? Tania? Putri? Dinda? Sekar?” atau nama lain yang rasa-rasanya banyak ditemui di planet bernama Bumi. Ternyata, dugaanku salah. Namamu unik, estetik, juga menjentik.
Lalu, sekarang setelah lama kutahu namamu dan sedikit tentang apa-apa-mu, aku hanya bisa memimpikan hari-hari indah lainnya saat sakit. Kau tak tahu, pasti tak tahu. Manusia kagum berulang kali, jatuh terus dan menerus. Jadi, kelak aku tak tahu apakah menjadi apa, siapa, atau bagaimana. Yang pasti, kasih tak kenal ampun. Aku sakit dalam beribu bahasa, hanya satu yang mampu kau terjemahkan: tak mau tahu.
Obsesi menjadi hal yang sangat berbahaya bagi manusia. Ya, maka dari itu, kasih tak kenal ampun. Menuntut balasan hanya berujung bisa apa tuan? Kau akan selalu dan selalu menjadi ingatan yang parau di kepala. Tak peduli apa atau bagaimana. Sebagaimana masa sakitku yang perlahan menghilang, kau pula, hilang bersama penyakit yang tak pernah kuharapkan kedatangannya. Yang tak kuingat bahkan aku tak tahu, ke mana saja kau setelah menjengukku?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar