Kamis, 08 Oktober 2020

Miris

  Setelah sesaat, ternyata semua terasa lebih parah dari yang bisa dibayangkan. Hidup, hidup ini, apa esensinya? Apa yang menjadikan sesuatu bisa disebut kehidupan? Kekacauan? Pertentangan? Pertemanan? Permusuhan? Kekeluargaan? Semua omong kosong serta dalih yang cuma sekadar mulut. Semua jerih payah dan emosi yang cuma jadi tertawaan. Padahal, bagiku, hidup tak selalu selucu itu. Melihat kesenangan di atas jerih payah orang, membuat diri bahagia dengan membuat orang sengsara, berkata seenaknya tanpa peduli manusia lain, berdalih punya kisah paling pilu, punya hidup paling berat, tapi tak tahu apa makna "keras" dalam kehidupan yang sebenarnya. Lalu, ternyata hanya satu hakikat kehidupan: kedamaian.

  Yang miris bukan pemerintah, bukan tokoh-tokoh heroik, bukan segerombolan mahasiswa yang selalu menegakkan kebenaran. Tapi, aku. Miris melihat diri sendiri yang (pernah) berpikir bahwa hidup setelah menanggalkan diri dari atlet akan terasa lebih menyenangkan dan bebas. Nyatanya, tidak. Kupikir awalnya teman yang dulu kuanggap brengsek dan hina, nyatanya tak sebrengsek orang-orang di sekitarku sekarang. Dulu, kupikir hidup setelah lepas dari beban latihan akan jauh lebih membahagiakan, nyatanya tidak. Siksaan dan jerih payah kerasnya latihan tak akan terasa lebih mengecewakan daripada dikelilingi sekumpulan manusia yang tak tahu caranya bersikap pada manusia lain. Memang, hidup kini tak sekeras dulu dan dulu memang jauh lebih keras. Namun, kali ini batin yang tersiksa, kecewa yang selalu bertubi melebihi kecewa yang dihasilkan dengan gagalnya mimpi jadi atlet profesional. Bodohnya dulu menganggap dan bahagia telah berhasil masuk kemari dan di lingkungan yang memang dahulu dibayangkan menyenangkan, nyatanya tak lebih menyenangkan dari saat masih berlatih pagi sore. Dulu, rasanya aku terjebak dalam neraka, nyatanya sekarang yang awalnya kuanggap surga tak lebih baik dari nerakaku dulu. Aku sendiri, kini tak ada yang tersisa. Itulah bedanya. Tak ada beban senasib sepenanggungan. Miris, aku.

  Sejak SMP aku ingin berada di sini, aku seingin itu hingga berani meninggalkan dunia yang sudah mendidik dan membesarkanku, nyatanya semuanya tak seindah bayangan. Rasanya tak lagi menjadi keinginanku berada di sini jika sudah menjadi hal yang tak dibutuhkan. Rasanya jika mau direnggut atau hengkang tak masalah sama sekali. Toh, di sini tak lebih baik dari neraka yang kutempati dulu. Kalau ingin direnggut, renggut saja, aku sudah tak berkeberatan jika harus mengarungi kehidupan baru lagi, demi satu: kedamaian. Bukankah setiap orang berhak dan mesti berbahagia? Nyatanya bila terus di sini rasa-rasanya kebahagiaan itu takkan pernah ada. Aku tahu aku sedari awal memang tak cocok berada di sini, aku berbeda, aku tumbuh berbeda dari yang lain. Awalnya aku mencoba menerima semua dan berusaha menganggapnya duniaku yang baru. Tapi, tidak begini. Tidak seperti ini seharusnya. Aku tak ingin mengubah seseorang dan aku punya prinsip dalam hidup yang hanya perlu dihargai, namun rasanya aku terlalu hina untuk mendapat penghormatan. Buat apa pula menghargai balik? Buat apa menghabiskan rasa cinta dan kasih sayang kepada manusia yang tak bisa menghargai prinsip dan hanya ingin prinsipnya dihargai serta selalu subjektif dalam melihat apa pun. Aku tak mau dibela dan tak suka dikasihani, tapi sadarkah siapa yang minor di sini? Embel-embel apa dahulu pernah bilang saling rangkul-merangkul, walau aku tak begitu suka kata merangkul dan hanya butuh rasa saling menghargai, mana?

  Mungkin aku mengada-ada, hanya itu yang kuingat dan aku selalu ingat hal-hal kecil seperti itu. Dan mungkin, aku terlalu total dalam melakukan apa pun dan alhasil selalu dan mudah kecewa. Dikecewakan, dikhianati, seringkali, sudah acapkali, berulang dan berulang, lagi dan lagi. Tapi lagi, rasa-rasanya memang aku sangat dikecewakan. Kecewa oleh hidup, oleh rasa percaya yang patah dan patah, yang musnah dan musnah. Bukan tempatku di sini, aku punya komunitas dan kawan-kawan yang bodohnya sudah kutinggalkan demi tempat sekarang. Lelah berkelahi dan berdebat, bukan lebih baik urus hidup masing-masing? Aku tak bisa menerima bagaimana cara mereka memperlakukan orang lain dengan sangat tidak manusia. Mengapa tidak bisa sedikit menjadi manusia? Tak perlu lagi kata keluarga, teman, atau apalah, menjadi sesederhana manusia, tak bisakah? Miris sekali, aku. Gelas yang pecah takkan bisa menyatu lagi dengan sempurna, sudah hancur ya hancur. Maaf diterima namun takkan mengubah apa-apa. Itulah resiko, resiko terdampar dalam lingkungan yang salah. Mengharapkan sesuatu berujung mustahil, aku ini minor dasar bodoh. Mana mungkin mereka mendengar minor, suara mayor kerap tak didengar oleh pemerintah apalagi yang minor. 

  Menyenangan rasanya bila bisa pergi, atau kembalikan saja masa-masa paling tersiksa dulu, aku lebih menikmati penyiksaan itu daripada kesenangan semu di sini. Aku ini berbeda, aku ini tidak seperti kalian yang mudah menerima. Aku ini binatang hina yang tak cocok bersama binatang gembala. Bukan duniaku hidup seperti ini, dan bukan kewajibanku untuk bersama manusia-manusia yang lebih baik tak perlu lagi tampak di pelupuk mata. Sudah kubilang, aku ini berbeda, ya sudah. Aku takkan pernah mengerti dan kalian tidak akan dan tak mau mengerti minor. Lebih baik berada di rumah sendiri, dan yang ditawarkan oleh kalian bukanlah rumahku, tapi rumah kalian. Tempat kalian menyayangi satu sama lain dan tertawa sepuas hati dengan semua kebahagiaan kalian, kebahagiaan kalian. Jangan tanya apakah aku bahagia atau tidak, aku hanya ingin kehidupan, kedamaian dan tujuan hidupku kembali tanpa harus berkompromi dan mengorbankan diri demi suatu hal yang mustahil melakukan hal serupa padaku. Miris, aku. 

  Mungkin, bisa jadi inilah selamat tinggal, selamat. Senang kan? Bahagia kan? Tinggal aku kini mencari kebahagiaanku lagi, mencari yang telah tanggal dan hilang. Entah yang kutanggalkan sendiri atau karena hadirnya kalian. Dimulai dengan mengingat bahwa mungkin neraka dunia telah selalu diciptakan untukku, tapi aku bisa memilih mana yang lebih baik dan setidaknya bisa menerima dan aku terima. Semua cinta kasih sayang terhdap kegagalanku terasa sangat nikmat dibanding harus bertahan di sini entah hingga berapa tahun lagi, berapa lama lagi. Entahlah, tak tahu aku apa yang akan terjadi, ditahan atau akhirnya mencari lagi, hidup adalah pengembaraan tanpa akhir. Menyiksa, tapi setidaknya merasa ada, dan nyata. Mungkin, kata "miris" pun tak baku, tak ada di KBBI. Tapi, yang perlu diingat, yang tak terlihat bukan berarti tak ada.

Selasa, 25 Agustus 2020

Sebuah Kutukan

   Ingatan selayaknya anugerah tak terbantahkan. Semua memori yang indah yang buruk yang usang yang jelek yang tak mau dan mau ada di sana. Aku lebih suka menyebutnya sebuah kutukan. Terdapat satu momen, satu hari yang akan diingat untuk selamanya. Sejak kapan? Entah, sudah lama sekali. Sejak hari itu dan selanjutnya merupakan ruang tanpa jalan keluar. Sebuah kejadian berulang. Sebuah riddle yang tak pernah selesai. Sebuah kebutuhan, keterpaksaan, hingga menjadi sebuah kewajiban yang mulai terbiasa.

  Satu hari, di setiap tahun. Satu hari yang berisi perayaan, pesta pora serta rasa syukur setidaknya telah dilahirkan dan sehat sampai detik ini. Satu hari, yang tak ingin, tak mampu, tak pernah dan tak bisa dilewatkan begitu saja. Satu hari di tanggal 23 pada bulan setelah tanah air berpesta merah-putih, setiap tahunnya. Hidup dan tumbuh manusia cantik yang tak lupa membuat bangga dirinya dan semua orang yang pernah hadir di sela-sela waktunya. Hari itu, hari-hari besarnya, hari di mana semua doa menjadi lebur dalam embusan keramaian.

  Kini tentang aku dan dayaku. Yang semula serupa pangeran kecil yang selalu mengantarkan ke tempat tidur hangat dengan ucapan polos yang maksud dan tujuannya hanya satu: rasa tulus. Sampai kini, masih sama. Hanya saja pangeran kecil telah menjelma jadi kerdil. Pada akhirnya mengapa semua ini lebih terasa seperti kutukan? Rutinitas tiap tahun, repetisi, juga apa yang dibawa masih tetap saja sama. Namun yang dituju sudah jauh dari kata ramah, atau tepatnya keadaan. Di mana rasa pantas makin sirna seiring realita menyadarkan tak semua dalam kehidupan dewasa bisa gampang diucapkan layaknya anak kecil. Ada yang perlu dijaga, ada yang perlu diakui keadaannya. Jadi, dia atau akulah yang asing? Yang datang menghancurkan hidupmu, dia atau aku? Yang berhasil mengambil hati atau yang terjebak dalam labirin yang entah sampai kapan. 

  Entah sampai kapan bisa bertahan, atau entah sampai kapan tak bisa tak tahan. Rasanya satu hari di tanggal 23 itu bak upacara sakral yang mesti ditunaikan. Apakah sampai nanti? Bila katakan cinta sebagai penghalang yang sah, yang memisahkan yang wajar menjadi ancaman. Tapi, Puan, tak apa hari-hari lain terlewati asalkan bukan satu hari di tanggal 23. Ketika cinta gila bertahan menjadi cinta seumur hidup, yang tak pernah mau peduli apakah jadi milik, apakah mendapat balasan serupa, apakah selamanya. Meski yang kau genggam dan kau sapa selalu bukanlah yang sedari dulu mengucap pada satu hari di tanggal 23. Yang selalu kau tahu apa rupanya, bagaimana senyumnya, bagaimana saat siap sedia menjemputmu dari dan menuju mimpi yang mungkin aku tak pernah tahu, lho apa hakku? Hanya dengan ucapanlah, doa yang diam-diam kuselipkan dalam rentetan kata yang familier, satu-satunya cara mencintaimu tanpa menyakiti siapa pun di hidupmu.

  Satu hari di tanggal 23 setelah merah putih berkumandang diiringi lomba yang lenyap kini, satu-satunya waktu aku mendoakan dan mengingat bahwa kau pernah dan akan selamanya tak terganti. Aku harus jujur, aku tak bisa lagi selalu mendoakanmu kini, kesibukan juga niat mencari yang pasti mengalahkan kewajiban sedari awalku. Maka, satu hari di tanggal 23 adalah harimu, hariku yang akan selalu kupersembahkan untukmu, entah sampai kapan. Hari di mana aku bisa seharian penuh mencintaimu tanpa peduli rasaku, orang-orang di hidupku, tambatan hatimu, apa yang kau rasa, apa yang kau lontarkan juga padaku, tak peduli sama sekali. Satu hari di mana aku bisa mengingat parau indah matamu, teduh senyuman, juga tangan mungil yang suka ganti kulit. Itu semua hanya ada pada satu hari di tanggal 23.

  Kini adalah aku, yang memilih apakah ingin berhenti di tanggal 23 tahun ini, atau menanggung kutukan itu dengan senang hati, walau luka adalah milik pasti realita. Mungkin aku kini lebih memilih menikmati irisannya dengan lapang dada. Dengan tanpa harapan, dan hanya menikmati perihnya terjebak dalam kecintaan seumur hidup. Hanya saja kau tak ada gantinya, Puan. Sialan, Puan. Padahal hidup sempurna menantimu. Aku masih saja menyaksikan kebahagiaan yang kutahu hanya berlaku bukan untuk orang sepertikuyang memilih tak percaya terhadap keajaiban kecuali (sejak) keberadaanmu. Kini biar aku renungi, atau mungkin tak perlu. Selama kau bahagia dan hidup. Sudah, sampai bertemu lagi, satu hari di tanggal 23, Puan. Moga-moga umur disayang Tuhan.


Rabu, 24 Juni 2020

Bualan: Menilik Mercusuar

  Setelah bertahun-tahun ditemani oleh karya MZKUN yang tak pernah bisa lenyap dari kepala, berawal kira-kira sejak 4 tahun lalu, saat lagu itu pertama dirilis. Sejak hari itu, hari-hari berubah, pandangan berubah. Tak ada hari terlewati tanpa Mercusuar, rasa-rasanya. Hingga saat ini, detik ini, saat mencoba menulis ini pun lagu Mercusuar tetap berkumandang. Pernah dalam suatu keisengan, kawanku di instagram membuat semacam fitur yang isinya pertanyaan, "Jika kamu tersesat di pulau tanpa penghuni selamanya, dan kamu hanya diperbolehkan mempunyai 2 macam benda (lagu dan buku) apakah yang akan kamu pilih?" Aku menjawab, aku akan memilih buku Sepotong Senja Untuk Pacarku karangan Seno Gumira Ajidarma dan lagu Mercusuar ciptaan Kunto Aji Wibisono. Terserah mau dikata apa, begitu ajaibnya lagu ini hingga sepertinya sudah menjadi bagian dari hidupku. Rasa-rasanya bila aku terdampar di pulau itu selamanya, mendengarkan Mercusuar selamanya aku tak keberatan. Aku punya kebiasaan akan mendengarkan lagu yang sedang kugandrungi terus-menerus dan akan tiba saatnya bosan. Namun, Mercusuar tampaknya bukan sembarang nada-nada indah biasa.

  Motivasi menulis timbul semenjak aku menemukan cover lagu Mercusuar oleh Adha Buyung: https://www.youtube.com/watch?v=Maz2ISH4cyg, salah satu artis Youtube yang belakangan berbagai cover-nya mulai kusukai, terlebih ia meng-cover lagu ciptaan musisi yang kusukai juga. Memang lagu ini begitu merasuk dalam sukmaku sejak lama, namun deskripsi dalam video yang diunggah Adha menyadarkan aku akan makna lagu ini yang sangat indah. Kira-kira Adha bilang lagu Mercusuar adalah lagu yang paling tepat untuk menutup deretan songlist cinta yang kelam, mulai dari Buka Buka Buka, Ekspektasi, Amatiran, dan Terlalu Lama Sendiri yang semuanya menggambarkan kegagalan, kekelaman, patah hati, dan amarah sebab cinta. Mercusuar tercipta seakan menjadi jawaban, penenang, pereda, yang mengakhiri kisah itu semua dengan "tempat berlabuh", perhentian. (Aku kutip dari deskripsi Adha Buyung, untuk aslinya bisa dilihat di link yang ada di atas). Jika dipikir-pikir isi lagu ini tak menggambarkan kesedihan, justru menggambarkan kegembiraan karena sudah menemukan tempat untuk berlabuh. Namun, sepertinya ada saja orang yang tertipu atau mungkin sepertiku yang menganggap lagu ini tetap suram karena alunan nada dan suasana yang terbangun saat mendengarkan lagu Mercusuar.

  Sejak awal, aku selalu menganggap lagu Mercusuar sebagai teman dari lagu-lagu sebelumnya, yang memosisikan bagaimana pesimisnya pandangan soal cinta. Membenci pengharapan dan ekspektasi. Tak ingin punya proyeksi bagaimanakah sosok dambaan, lebih ingin hidup tanpa harusnya bermimpi dalam runyam. "Dari yang sudah-sudah, cinta hanyalah bualan." Merupakan bait pertama dan sampai saat ini menjadi kata kunciku, kalimat favorit yang menggambarkan lagu ini bagiku. Memang pada yang sebenarnya kalimat itu adalah berupa pernyataan yang akan dipatahkan di akhir lagu, namun aku amat terobsesi, selalu terngiang-ngiang dalam batok kepala. Sebut saja aku menyukai Mercusuar hanya karena bait pertama. Sesederhana itu, seperti aku tak butuh kejelasan bait selanjutnya selama cinta yang hanya bualan itu akan tetap bergema dalam Mercusuar. Itu adalah pengandaian sebagai gambaran betapa terpusatnya pikiranku terhadap bait itu.

  Seperti sudah tak percaya lagi, sudah "kapok", menganggap cinta sampai kapan pun hanyalah bualan seperti yang sudah-sudah. Bagaimana bisa aku lanjut ke dalam bait selanjutnya sedangkan aku terhenti dalam bait pertama. Setelah membaca deskripksi Adha tentang makna lagu ini secara lebih kompleks, rasa-rasanya tak mengurangi ketidakpercayaanku tentang rumah yang disebutkan dalam bait terakhir. Semakin mustahil terasa dan semakin menjadi bualan seperti yang sudah-sudah. Bagiku akhir dalam kehidupan ini adalah pada ajal, bukan pada bagaimana pada akhirnya bisa menemukan "the one". Karena hidup akan terus berlanjut walau sudah menemukan misalnya yang tepat. Hidup belum akan berlabuh, hidup akan tetap terombang-ambing dalam lautan ganas. Hidup ini pengembaraan tanpa akhir, dan kehidupan nyata tak pernah seindah dalam dongeng, film, lirik lagu, juga dalam lirik Mercusuar. Tampaknya masih terlalu bias, masih terlalu mengada-ada tentang Mercusuar yang sudah menampakkan cahayanya ke laut lepas, padahal laut begitu gelap dan hidupku sepertinya masih belum akan berlabuh.

  Tanpa mengurangi kekagumanku terhadap karya-karya MZKUN, beginilah aku mengartikan lagu Mercusuar bagiku. Lagu ini amat berarti dan akan tetap bersama dalam waktu yang amat lama, entah selamanya. Lagu ini adalah pedoman, sebagai pengingat bahwa kenyataan tidak seindah bayangan dan harus selalu dihadapi. MZKUN adalah anugerah Tuhan yang entah karya-karyanya selalu punya diksi yang pas dan tak lekang oleh lupa. Betapa bersyukurnya diberi nikmat dapat mengenal karya-karya MZKUN yang menjadi jantung dan paru-paruku. Terlebih Mercusuar yang amat aku istimewakan, dilain aku mencintai hampir semua karya MZKUN, Mercusuar adalah yang paling. Disaat orang lain seakan mendapat jawaban dari lagu ini, aku menikmati bagaimana ketidakpastian dan bualan-bualan yang silih berganti datang. Mercusuar mengajarkanku menikmati itu semua tanpa mengeluh pada yang lain. Mercusuar mengajarkan bahwa bualan itu bukan sumber kekecewaan, namun sumber kekuatan menghadapi realita dan teguh pada pendirian. Pada dasarnya karya seni itu multitafsir kan? Kurasa tak pernah ada salahnya menikmati suatu karya agak berbeda dari orang lain.

  Untuk Adha juga yang sudah menuliskan deskripsi dan meng-cover dengan sangat ciamik, menambah berat dada mendengar kekhusyukan tembang lirik yang terlempar dari alunan gitar dan pita suara. Menambah betapa Mercusuar akan tetap menjadi karya yang punya tempat spesial dalamku, mungkin juga untuk semua orang yang menikmati Mercusuar dan bersulang di atasnya. Syukur tiada bandingan dan ucapan terima kasih kepada MZKUN dan Adha yang takkan sepadan, karena telah menciptakan karya yang begitu, begitu indah, juga deskripsi serta cover Adha.

  Pada akhirnya, manusia percaya bahwa bahagia itu diciptakan oleh masing-masing individu, bila aku semisal memilih menikmati Mercusuar dengan penuh pesimisme, penuh kepasrahan, ketidakyakinan, kekelaman, dengan anggapan bahwa bualan adalah kata kunci, dan harapan mesti sirna, kemustahilan. Mungkin itulah caraku mengapresiasi, caraku berbahagia.

Senin, 08 Juni 2020

Tarbius Racun

Tar, cantikmu taksenonoh
Menari dalam jemari
Khayal ke sana kemari
Entah hapus sajaaku dari lini

Bibirmu telaga kehausan
Matamu sumber ketenangan
Pipi dan hidung lancip kemenangan
Air mata bukan kekalahan

Salahkah bila inginku sampai ke tulang?
Saat jemarimu menari di atas ketelusan 
kulitmu
Terpejam membayangkan mulai hari ini,
Mimpi tentang hari-hari baik

Lepas kendali
Sulit mengakui
Menahan diri
Jatuh berkali

Namun kau adalah racun yang terlalu sering
kuteguk
Kau racun terindah dalam gamang
Membingungkan saat ternak datang
menghadang
Tar, hidupmu sekali,

Keindahan abadi.


-Uyyi, 8 Juni 2020

Kamis, 21 Mei 2020

Seandainya Otak Bisa Bunuh Memori

  Sebenarnya, bukan gak bisa dilupakan. Hanya saja jika hal sudah terlalu membekas di dada dan di kepala, suatu saat pasti akan teringat kembali. Dan hari itu adalah hari ini, saat ini, detik ini. Menulis beberapa kata ini menandakan ingatan yang kembali terpecut oleh entah hal apa. Bukan tak bisa dilupakan. Hanya terlupakan sejenak yang pasti akan teringat kembali. Cerita yang sebenarnya tak mau lagi diingat-ingat, diungkit-ungkit, atau sekedar direnungi. Ya, bisa apa lagi jika kepala maunya begitu. Sudah lama juga, hampir sudah 2 tahun berlalu. Sudah ada jejak juga dalam tulisan Patah Hati Terhebat. Tentu, dengan bahasa yang jauh lebih acakadul dari sekarang. Tapi, satu yang selalu mungkin tak pernah berubah: kejujuran.

  Semuanya gak akan pernah terjadi bilamana aku tak jadi pergi merantau. Pada tahun 2017, meninggalkan semuanya di ibu kota, mungkin pilihan terberat dalam hidup kala itu. Tak usah dibahas apa saja yang telah dikorbankan, sebut saja semua. Hari-hari berjalan amat berat seminggu berada di perantauan. Sakit selama seminggu pula yang membuat manajer berpikir aku tak betah di asrama. "Gak kok, ini cuma aku suka adaptasi cuaca kalo pindah, suka demam dikit, hehe." Padahal sebenarnya bisa dibilang psikis amat terpukul karena benar-benar merasa kehilangan semuanya, terutama masa sekolah. Film-film bangsat yang mempropagandakan bahwa masa SMA adalah yang paling indah. Otak merespons dan benar terjadi. Sayang hanya setahun bertahan, sisanya adalah perjuangan merealisasikan mimpi.

  Pada awalnya, semua kupikir seperti yang kuinginkan. Pendidikan sepak bola, latihan rutin, progress bertahap. Tanpa kutahu, umurku masih sangat muda untuk memahami betapa dunia ini dipenuhi hasrat dan kepentingan. Mimpi anak kecil sudah tidak dipedulikan di depan peluang bisnis mengundang uang. Keparat. Awalnya semua ditegakkan sesuai keadilan dan kemampuan, akademik maupun non akademik. Lama-kelamaan, hidup tak sabar dan memilih mana yang lebih menguntungkan daripada membuang waktu dan uang demi aset yang tak pernah diyakini. Semuanya benar-benar objektif, benar-benar terasa adil walau saat terkena amukan pelatih bukan kepalang. Tak apa, itu benar. Semua kiranya menjadi berubah haluan seiring "orang baik" mulai disingkirkan. Maka, keadilan hanyalah mimpi bagi orang sepertiku.

  Dimulai dari Pak Ardi, tetiba di suatu siang setelah cekcok urusan apa entah dengan pelatih, tapi pasti ia sudah berpikir amat matang. Ia mengundurkan diri dari CEO akademi (seingatku itulah jabatannya), ia meninggalkan kami, meninggalkan aku. Di mana ia adalah sebagai ketua yayasan yang memberi dukungan penuh di dalam dan di luar lapangan. Ia juga yang kerap memeriksa nilai rapot kami karena baginya sepak bola tanpa kemampuan nalar adalah percuma, aku amat suka konsepnya. Ia pula yang memberi apresiasi saat aku mengikuti olimpiade sejarah dan bahasa inggris padahal aku sekolah di sekolah atlet. Ia juga yang membanggakan aku yang bisa meraih lima besar di kelas, bisa dibilang salah satu dari akademi yang mampu meraih peringkat kelas. Juga Pak Bahar, rekan Pak Ardi dan "ayah" bagi kami anak-anak asrama. Semua yang kami lakukan ia perhatikan, semua keluh kesah, semua pengorbanan Pak Bahar mengerti karena ia pula yang menjemput aku dan teman yang lain saat tiba di Bandara. Ia adalah malaikat, pengasuh kami, sosok orang tua saat di lapangan ada pelatih, ia berperan penuh di luar lapangan. Siang itu, setelah Pak Ardi mengumumkan keluar, Pak Bahar pun demikian. Lihatlah, pelindungku pun sudah pergi. Masih, masih bisa bertahan, masih sangat baik-baik saja walau terasa amat pedih.

  Lalu selanjutnya, pelatih kepala. Yang akhirnya kuketahui hanya dialah satu-satunya keobjektifan yang nyata. Coach RO, kami memanggilnya dengan sebutan itu, kami semua. Semenjak awal dialah yang mungkin memilihku dan percaya akan kemampuanku, disaat pelatih lain hanya menganggapku pecundang, bajingan tengik. Pada saat ia masih ada, keadilan masih amat ditegakkan, jatah main, omelan yang memang itu benar-benar objektif. Masih diberi kesempatan, itu yang paling penting. Walau bentakannya pernah membuat dendam, dimarahi dan diteriaki di depan wajah, menyaksikan wajahnya memerah karena amarah. Semua, semua itu rasanya saat berarti apalagi saat keputusannya hengkang, alasannya untuk menuju pelatih yang lebih profesional. Lagi-lagi kutahu, itu adalah alasan klise, pasti ada ketidaksesuaian dan benar, aku tahu kebenarannya. Persetan dengan kebenaran atau tidaknya, yang penting kutahu sudah motifnya. Setelah ia pergi, mimpi buruk benar-benar menjadi denotasi. Semenjak ia pergi sampai aku keluar, atau dikeluarkan, aku hanya bermain dua atau tiga kali dari semua kompetisi resmi. Dibuang karena buruk masih bisa diterima, dibuang karena tak diberi kesempatan yang amat bajingan. Sampai aku sering berkelahi di lapangan, dimarahi karena tak sengaja membuat teman cedera padahal juga aku dikritik karena katanya aku terlalu "lembek". Lalu, kutunjukkan semuanya dan malah lagi-lagi hanya cibiran dan cibiran. Jika memang tak layak aku di sana, sudah pecat saja daripada dipermainkan. Sama seperti budak yang lebih memilih mati daripada disiksa sampai mampus.

  Dan akhirnya, memang bukanlah tempatku di sana. Yang awalnya menuai air mata bahagia atas berhasilnya dari cipratan impian. Tapi berakhir tragis dan cuma menyesal menyesal dan menyesal yang kelak. Apa jadinya bila dulu tak kutinggalkan semua? Sudah belajar ikhlas, namun yang sampai sekarang tak bisa kulupakan saat hari-hari terakhirku di akademi. Disaat pemain lain mendapat penanganan soal cedera apa pun, tercolek saja bisa langsung diobati. Aku, mataku sudah beberapa hari buram, sulit melihat karena ada debu mungkin yang masuk. Saat latihan aku konsultasi pada fisioterapi. Yang terjadi aku malah diolok-olok oleh para pelatih, di hadapan semua jajaran pelatih dan teman-teman. Anjing! Ia berkata kira-kira, "Matamu kenapa lagi? Bisulan ha?" Dengan aksen Jawa pelatih itu mengolok-olok. Memang aku sudah dicoret, tapi mengapa seakan-akan aku hanya sampah busuk? Pelatih yang lain nampak menahan tawa, teman-teman diam. Selucu itukah hidup bagi para bajingan-bajingan tengik. Aku sudah berniat merelakan dan mengikhlaskan tentang semua kegagalan, namun saat diperlakukan layaknya kambing congek begini begitu terpukul rasanya. Hilang semua rasa hormat, hari-hari selanjutnya aku tak mau lagi datang ke lapangan. Karena buat apa bila hanya dihina-hina dan diolok-olok saja. Aku dan Doni kawanku yang juga harus pulang mogok latihan, toh mereka takkan peduli juga.

  Sudah ingin saja pulang, meninggalkan semua mimpi buruk keparat di perantauan. Entah memang kota itu terkutuk atau aku tak sengaja saja bertemu orang-orang yang membuat tempat itu seperti neraka dunia. Hari terakhir, kuputuskan datang latihan, saat terakhir. Bagaimana pula itu adalah kenangan terakhir. Sepanjang latihan pelatih sudah tak peduli performaku, namun semua memori selama setahun terakhir terus bermunculan di lapangan. Mulai dari awal seleksi, berhasil masuk, suka duka, hingga akhir yang tak manusiawi. Di penghujung latihan, mengesampingkan dendam atas perlakuan bajingan sebelumnya, aku pamit seraya berterima kasih pada semua pelatih. Karena bagaimana juga, aku dapat banyak sekali pelajaran hidup, terutama tentang tidak adil dan kerasnya dunia. Air mata tak bisa kutahan lagi, tumpah ruah saat aku melepas sepatu dan menginjakkan kaki untuk terakhir kalinya di Pekanbaru. Di asrama juga lama aku memandangi seluruh sudut, ya, selamat tinggal. Pamit kepada semua teman, terutama teman sekamar dan sahabatku dalam segala situasi: Deno, Doni (ia siangnya pulang juga), Yoga, Azwar (sudah liburan duluan, ia tak dicoret), dan Farensyah. Merekalah satu-satunya penguat. Dan berakhir sudah. Kisah yang sebenarnya tak mau diingat-ingat lagi. Ya, mau bagaimana lagi. Andai saja otak bisa bunuh diri, bisa membunuh memorinya sendiri. Kecuali lupa ingatan, tapi itu sama sekali bukan hal yang lucu.

Jumat, 15 Mei 2020

Bualan

  Kata Aji, "Dari yang sudah-sudah, cinta hanyalah bualan." Barangkali kata-katanya bukan hanya bualan. Yang dipercaya semua orang adalah yang terkasih adalah pil penuh kebahagiaan, yang walau ada sedikit rasa pahit dan mungkin efek samping. Tapi intinya sama, menyembuhkan. Menarik membahas soal apa yang tak pernah bisa terealisasi, seperti proyeksi ratu idaman, mungkin? Yang jadi masalah dunia kini begitu aneh justru karena terlalu banyak memahami orang, terlalu masuk ke dalam orang, terlalu mengenal orang. Terlalu banyak, terlalu banyak pedalaman yang disusuri hingga diri lepas dalam kendali genggaman sendiri. Ya, seperti sudah diblilang sebelumnya; kehilangan acuan, pegangan, arah, proyeksi, hasrat. Apakah sebuah bualan belaka?

  Pertanyaan yang selalu sama muncul sebagai pening: apa lebih baik kembali ke kehidupan yang dulu? Di mana menjadi tidak tahu apa-apa rasanya jauh lebih menyenangkan. Menjadi manusia sederhana yang tahunya cuma usaha dan melihat ke depan. Realita di depan mata tertutup kabut angan dan ingin yang begitu tebal sehingga buta adalah kata yang paling tepat. Terbutakan. Tapi, bukankah lebih baik tidak bisa melihat daripada harus melihat sesuatu yang tak pernah ingin dilihat? Menjadi tidak tahu jauh lebih menyenangkan, karena di situlah justru letak kebahagiaannya. Di mana tak perlu ada rasa bersalah, rasa simpati yang berlebihan atas apa yang orang lain rasakan. Bukankah pula sesuatu yang berlebih tak pernah baik?

  Lebih baik menjadi bodoh daripada harus mengetahui apa-apa yang membuat kesenangan lenyap. Buat apa menjadi pintar jika semua hal kesenangan yang sudah akrab melekat tanggal satu per satu dengan paksa? Hidup adalah belajar merelakan, tapi tak pernah dilarang untuk berusaha mempertahankan. Lagi pula, mungkin terlalu sering berpindah membuat selalu saja kehilangan momen, kehilangan waktu yang paling berharga: masa silam kanak-kanak, masa sekolah, masa menyenangkan berkumpul bersama teman. Kehilangan waktu untuk setidaknya meyakinkan bahwa dunia tak sebrengsek yang terlihat nyata kini. Tapi, sayangnya waktu itu tak pernah ada. Memaksakan diri berharap kerja keras dan usaha akan segera terbayarkan oleh kemenangan, kesuksesan mimpi. Tapi, manusia suka lupa, bahwa untuk diberi tidak boleh pamrih. Orang mana yang melakukan sesuatu tanpa ada motif? Lantas, yang mana yang cuma bualan?

  Akankah lebih baik bila hidup tanpa cinta? Bakal lebih baik gak sih? Kalau polanya tetap sama, buat apa mengulangi hal-hal bodoh yang akhirnya sudah diketahui. Seperti semisal jatuh cinta, cinta, cinta mulai kacau, berantakan, bajingan. Bukankah selalu seperti itu? Lebih baik gak sih kalau hidup tanpa adanya hal-hal yang lumrah, yang terlalu wajar sehingga jika ditinggalkan gak akan berdampak apa-apa. Semisal harus percaya orang, harus berbagi semuanya, harus harus harus. Semua orang lupa dibalik semua keharusan itu, terdapat satu orang yang dirugikan, sedangkan yang lain mendapat kesenangan, kadang. Simbiosis Parasitisme. Sebut saja demikian, tak sependapat? Setan pun tak peduli.

  Dari yang sudah-sudah cinta hanyalah bualan. Yang nanti-nanti juga sepertinya sama saja. Yang selanjutnya akan menjadi bualan. Siap-siap atau tak pernah siap pun mungkin akan tetap menghadap. Yang bisa dilakukan cuma satu, barangkali. Mencoba mematahkan statement sendiri. Atau yang lain, mencoba mencari pelarian, atau datang sendiri. Atau pula, tak perlu melakukan apa-apa lagi bila semua prasangka akhirnya terbukti nyata. Karena, dari yang sudah-sudah memang begitu adanya dan bukanlah bualan belaka. Coba saja. Dari yang sudah-sudah... Ya sudah.


Sabtu, 02 Mei 2020

Rasus, Aku Sepertinya Sama Sepertimu

  Setelah mengenal Rasus dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari membuat satu pemikiran acak yang ada benarnya. Setelah mencoba memahami perasaan Rasus, cara Rasus memandang, bisa kutemui letak kesamaannya. Rasus, aku mengerti.

  Setelah kejadian yang merenggut ibunya, aku tahu Rasus tak punya bayangan atau proyeksi bagaimana raut wajah ibunya. Rasus masih amat kecil kala itu. Maka, Srintil-lah yang ia jadikan sebagai "sosok" ibunya. Keanehan, ketidakpatutan yang terasa amat saat mengetahui perihal ini. Tapi, ya mau bagaimana lagi? Mungkin bila aku terlahir sebagai Rasus pun aku akan melakukan hal serupa. Bagaimana bisa hidup tanpa tak adanya ibu? Baik, bila seandainya Rasus sudah cukup besar untuk ingat seperti apa raut wajah ibunya, akan sedikit lebih baik. Bagaimana bila kita tahu bahwa di hidup ini kita mempunya ibu, mempunyai seseorang yang kita tak tahu seperti apa raut wajahnya, seperti apa rupanya? Terlalu sulit barangkali, sulit kali menjalani sisa hidup dengan cara seperti itu.

  Pun bagaimana aku hidup dari waktu ke waktu. Tanpa disadari dan disadari, aku juga seperti Rasus. Selalu punya sesosok wajah yang kerap mengisi kepala. Bedanya, bukan bayangan ibu. Syukur tiada bandingan nasibku tak seburuk Rasus. Yang kerap mengisi adalah proyeksi seorang perempuan, yang bisa kuanggap "sempurna" tentunya. Tanpa disadari aku telah lama selalu menciptakan bayangan itu, fungsinya? Untuk memompa semangat, untuk dijadikan alasan aku berkorban buat semua hal yang orang sebut mimpi. Sebagai penolak rasa sakit, peredam luka, pemacu semangat. Selalu ada satu sosok di kepala yang membuat aku harus bisa berhasil agar bisa menjadi "pantas".

  Selama itu, aku hidup dalam satu bayangan perempuan yang bisa aku miliki tanpa takut lepas. Bisa aku simpan tanpa bisa diambil orang lain. Bisa aku cintai, tanpa perlu dicintai
kembali. Sungguh menyenangkan, juga menyedihkan dalam waktu yang bersamaan. Dimulai barangkali saat aku duduk di Sekolah Dasar, satu wajah, satu nama muncul di kepalaku sebagai sosok yang membuatku tidak malas sekolah. Yang membuatku mau belajar agar setidaknya jangan tinggal kelas. Sekolah Menengah Pertama juga, mendorong aku rajin sekolah, rajin latihan dan bekerja keras demi mimpi. Walau kadang juga nama itu membuat hati pedih. Tapi, justru malah membuatku makin terpacu untuk bisa seperti yang aku impikan. Mau itu menyakiti atau tidak, satu wajah, satu nama selalu ada dalam kepala. Selalu, menemani selalu.

  Sampai di Sekolah Menengah Atas, ada pula wajah itu. Mungkin di masa ini makin berat isi kepala, makin dalam makna, makin liar imaji. Namun, asa dan semangat justru makin kencang. Rela tiap hari berlatih keras, berlatih lebih keras dan lebih keras lagi. Selalu, tujuannya adalah untuknya. Satu wajah, satu nama di kepala, tetap kubawa saat aku pergi meninggalkan indah masa sekolah untuk merantau mengejar mimpi. Ya, merantau jauh ke seberang pulau juga barangkali karena bisikan nama di kepala. Sampai aku di sana, menerima kerasnya mimpi, kerasnya dunia di tempat orang di mana banyak kebencian dan kepentingan melebur, perlahan merebut mimpiku. Masih, tentu masih bertahan karena nama di kepala. Terlewati semua latihan yang menyiksa, semua bentakan pelatih, semua masalah dengan teman atau di sekolah yang jauh dari apa yang diharapkan. Semua hampir disesali, kecuali saat ingat apa tujuan dan mimpi, juga nama di kepala.

  Nama, wajah, hal itu selalu ada menemani. Dan pastinya di kehidupan nyata, tak benar-benar menjadi kenyataan. Seperti orang sungguhan yang menjelma menjadi tokoh fiksi di kepalaku, tak ada yang bisa menahan imajinasi seseorang. Hingga sampai mimpi direnggut, semua sia-sia, pengorbanan sejak dini tak ada hasil, benar kata mereka dulu bahwa aku takkan pernah bisa menjadi seperti apa yang aku inginkan. Tapi, sebuah nama, sebuah wajah masih saja ada. Walau tak sama, sempat berganti-ganti wajah dari zaman sekolah hingga sekarang. Tapi, tetap. Wajah-wajah, nama-nama silih berganti menemani, membuat diri jadi lebih baik, dan yang paling penting: membuat hidup ini jauh lebih berarti, membuat dunia ini penuh warna. 

  Dan sekarang. Wajah-wajah itu sudah tak ada. Nama-nama itu sudah tak lagi nyata di kepala, tak terlihat. Beginilah mungkin yang dirasakan Rasus saat Srintil menjadi ronggeng. Hilang sudah bayangan tentang ibunya dalam Srintil. Musnah sudah, harapan, keindahan, satu-satunya yang membuat hidup ini memiliki arti. Wajah dan nama selalu begitu saja hadir, bukan sesuatu yang kupaksa, kuciptakan dengan perintah otak. Entahlah, aku tak tahu apa namanya. Yang jelas kini, agak berat rasanya hidup tanpa wajah dan nama di kepala. Sungguh berbeda terasa, berbeda tampak dunia dalam mata. Mungkin kini kenyataan sudah mengajarkan bahwa hidup ada di depan mata, bukan di balik mata. Hidup tanpa bayangan seseorang yang mampu memberi semangat, atau mungkin semangat itulah yang musnah bersama mimpi yang telah mampus.

  Kini, pertanyaannya bukan lagi siapa, bukan lagi siapa nama atau wajah itu. Tapi, bagaimana. Bagaimana hidup ke depannya mulai dari sekarang. Entah akan berat nian terasa atau lebih baik. Bagaimana? Sepertinya akan sulit. Sulit lagi menemukan warna selain gabungan antara hitam dan putih. Ironi? Tak masalah bila memang begitu adanya. Mungkin hampa adalah diksi yang lebih tepat. Barangkali.


Minggu, 19 April 2020

Bandoku Sayang

Ditaruh di atap mobil malah mobilnya jalan
Dibeliin sama orang eh dirusakin orang yang
beliin
Dikasih emak sudah dua kali hilang entah ke
mana
Beli sendiri malasnya bukan kepalang

Oh Bando, Bandoku, Bandoku sayang
Bandoku malang
Kenapa nasib begitu kejam kepadamu
wahai Bando yang mencabik akar rambutku
Entah sudah keberapa kali kau lenyap dari
kehidupan ini
Entah berapa lama aku hidup tanpamu
Bandoku

Sungguh malang nasibmu Bando, Bandoku
Sudah sayang malah semakin gencar hilang
Kasihan oh kasihan
Apa bisa aku mencari penggantimu? Selalu
membeli kehilanganmu? Selalu meratapi
betapa Bando layaknya ingin aku lupakan

Bandoku oh Bandoku
Sungguh malang,
Nasibku.


-Uyyi, 18 April 2020

Senin, 13 April 2020

Kris(t)is Identitas

  Kalau dipikir-pikir buat apa ya sekarang hidup? Tujuannya apa? Dulu sih iya, ada tujuannya, ada ambisi, ada target, ada cita-cita yang mesti diraih. Lah, kalau sekarang mau ngapain? Kalau dulu sih rela remukin badan, rela peluh susah payah, rela sejadi-jadinya. Mau bungkam semua hal remeh, mau membuktikan ke orang, ke seseorang, mungkin gak tahu juga dianya. Mau jadi orang yang bisa setidaknya membuktikan kalau punya mimpi ya cuma bisa diraih. Lah, kalau sekarang bisa apa?

  Kalau dulu masih bisa percaya ke orang, "orang", sekarang susah, mana bisa? Kalau dulu masih banyak khayalan, sekarang setelah realita yang ada cuma bisa bikin kecewa mau marah ke siapa? Kalau hidup sekarang berbeda dari yang sebelumnya, yang diharapkan, yang sudah pada jalur yang benar menurut diri berubah drastis karena pengorbanan salah siapa? Kalau dulu bergantung pada keindahan hawa yang bisa meneduhkan hati, sekarang sudah tak bernilai, sudah basi apa bisa diperbaiki? Kalau dulu cinta, suka, sayang deh sama orang apa gak bisa setengah-setengah? Rasanya sekarang mau setengah-setengah mau gak, gak ada bedanya.  Kalau dulu bisa jadi telinga yang selalu bisa dengerin apa pun, apa telinga bisa terima pengkhianatan dan penghinaan?

  Kalau dulu kenal baik dengan anak kecil yang punya mimpi, punya kemauan besar, setelah tahu busuknya dunia, apa anak kecil bakal jadi anak bego yang selamanya mau ditipu dunia? Kalau dulu cuma bisa berharap berharap berharap, berharap yang disayang suatu saat akan mengerti, yah, siap-siap aja mati dalam imaji sendiri. Kalau dulu masih polos, masih indah seisi dunia ini, sekarang orang-orang baik juga sudah gak ada. Kalau dulu takut hari yang buruk bakal datang setidaknya ada napas menenangkan, sekarang gak ada, gak ada. Kalau dulu percaya cerita bakal mengurangi beban, kayaknya cuma menghapus rasa penasaran orang lain aja, memenuhi hasrat ingin tahu orang. Selesai, kadang enggak juga. Kebanyakan enggak, gak selesai.

  Terus apa guna hidup sih sekarang? Kalau semua hal yang telah dibangun sejak kecil, keyakinan yang sudah ditanam sejak belia, hancur semua oleh semua kenyataan bahwa hidup ini memaksa kita sebagai tokoh siapa dan apa. Buat apa lagi kalau hidup kalau rasa-rasanya gairah sudah direnggut paksa. Beda banget dari dulu yang benar-benar punya semangat, gairah, sekarang cuma hidup dari hari ke hari. Pengennya sih gak mau menyesali semua yang sudah lewat, tapi apakah manusia bisa bohong sama akal dan hatinya sendiri? Apa manusia bisa ingkar dari apa yang dirasakan? Pengennya gak mau nyesel, tapi rindu kehidupan yang dulu sebelum rusak apa gak wajar? "Nyesel gak ada gunanya." Iya, benar. Sama gak bergunanya seperti berusaha menjadi orang yang dimau semua orang tapi lupa diri. Sama kayak gak ada gunanya membohongi diri oleh semua hal yang palsu.

  Lantas mau apa lagi dibuat? Kalau semua yang pernah dan dikiranya akan selalu ada menghilang tanpa jejak. Bisa apa? Kalau ternyata bangun dari mimpi indah gak ada bedanya sama mimpi buruk. Lucu juga kalau selama ini berpikir bahwa orang yang selalu disebut dalam doa, dalam malam, dalam puisi-puisi yang gak akan pernah terbit, ternyata dan nyatanya orang itu gak peduli. Orang itu gak tahu, gak mau tahu, gak mengerti, gak mau mencoba mengerti. Lucu juga selama ini berdarah, bernanah buat orang yang gak akan berbelas kasih, apalagi memberi kasih. Jangan bilang cinta tanpa pamrih, omong kosong! Di dunia ini gak ada sesuatu yang gak mengharapkan imbalan, balasan, atau  apa pun itu. Balik lagi, kembali bahwa imajinasi yang mendorong semangat akan kehidupan yang lebih baik, "karenanya", cuma obsesi belaka yang seiring berjalannya waktu akan, "Wah, bego banget gua selama ini."

  Bicara soal perubahan, kekecewaan akan dunia, harapan yang cuma refleksi dari kecewa, semua hal brengsek dan bajingan yang gak bisa diluapkan, dimusnahkan. Di mana diri mulai kehilangan sendi kepribadiannya, bertahan, bertahan. Pertanyaannya masih sama, makna hidup, guna hidup tuh masih apa sih? Masih gak tahu sebenarnya. Yaudah, jalani aja dulu.

Kamis, 09 April 2020

Joged

  Mengingatmu rasanya ingin terus berjoget. Kau biarkan aku karam dalam lantunan nada, kau menari-nari tanpa reda. Aku ingin menari tapi tak mau melihat kau menari dengan yang lain. Makanya aku joged. Menari gila suka-suka tiada tara sampai kepala rasanya ada dua. Berjoget menaiki menurunimu dalam skala waktu yang cepat cenderung singkat. Kau berjingkat, aku sekarat. Dansa barat dansa timur dansa tenggara dansa utara mana pun terserah setelah aku gila padamu. Menarilah, menarilah dengan orang asing. Aku menari dengan pundak dan jas lusuh sendiri.

  Kau mengancam bila tak mau melihat kau berdansa dengan yang lain. Aku harus berubah, merubah, mengubah, menjadi rubah atau gampangnya ubah saja. Kau kata aku berpikir bisa mengubahmu setelah berubah menjadi rubah atau ubah saja. Tapi entah, kau kata aku gila. Aku sepenuhnya gila, maka aku suci. Cinta milik orang suci katanya, berarti harus gila. Orang gila dosanya diampuni layaknya bayi, harus jadi bayi atau gila? Atau bayi gila, gila bayi? Benar kan, aku sepenuhnya gila. Bahkan untuk melihatmu berdansa dengan yang lain, atau yang lain-lain. Bila aku belum gila, maukah kau setidaknya mempertimbangkan berdansa dengan yang bukan selain aku?

  Aku tetap joget meski tarian dalam bumi mencerahkan bukan seperti punyaku. Bukankah orang menari karena tersakiti? Kenapa malah aku menari supaya rasa sakit kembali? Bukankah orang-orang menari untuk bersenang-senang? Mengapa aku menari sambil sibuk mengenang yang sudah remang? Aku tetap berjoget meski suatu saat kepalaku diilhami pemahaman bahwa menari bisa menyebabkan kelainan otak karena terlalu apik menggeleng-gelengkan kepala tak percaya kau tetap berdansa dengan yang lain, atau setidaknya kau pula sudah pergi. Dengan tarian atau dengan yang kau ajak berdansa tentunya. Tapi melihatmu berdansa saja aku tak sempat, mengajakmu menari-nari bahkan dalam sanubari rasa-rasanya tak kuat. Kau begitu nyata, begitu khayal, aku tak tahu bedanya.

  Ayal aku membayangkan bagaimana bila ancamanmu cuma gertakan, biar aku tak lagi menari dengan jogetan yang tak seorang pun mengerti maknanya. Mungkin kau bingung, penasaran, atau bahkan takut. Tapi, setiap menatap matamu, laiknya bumi berhenti berputar sekarang juga, menikmati langit malam, teduhnya pagi, atau renyahnya tawa bayi yang kenyang makan pir pemberian ibunya yang cantik. Aku tak ingin menyerah, walau harus berhenti berjoget, apa boleh buat? Habisnya matamu menghabisi niat beraniku menari-nari sampai mati. Matahari meledak, mata hati bergerak, atau tergerak. Mencegah sekali lagi kau berdansa bersama yang lain. Semoga, semoga, hari-hari dipenuhi hari raya semoga.

  Tapi aku gak mau menyerah, aku mau berhenti joget, bila itu maumu. Bila bisa menghapus semuanya yang sialan, yang keparat, yang cuma bikin iri, yang bikin sakit hati, yang bikin ingin membunuh semua kesenanganmu yang bukan aku. Aku ingin berserah bila akhirnya aku menjadi waras dan kamu menjadi milikku. Kamu yang pernah menari anggun bersama rambut ikat duamu yang memberi aroma tak lekas oleh bencana yang melanda jiwa seorang yang hampir gila sepenuhnya. Iya, aku bilang ibumu cantik, karena jelas terpampang dalam wajahmu semesta kecantikan itu. Meski aku berdoa buruk pun tak ada artinya selama matamu masih sama tajamnya seperti pertama kali kau tanya perihal rambut pendekmu yang baru.

  Aku ingin, ingin sekali berhenti gila, berhenti tergila-gila atau berhenti menjadi gila. Aku ingin berhenti menari, joget, dansa atau senang-senang. Aku ingin berhenti menjadi keparat yang mendoa busuk bila kau bersedia menari denganku, atau bercakap denganku, atau bersua, atau sekadar melihatmu. Tapi, kau sudah terlanjur berdansa dengan orang asing. Aku juga tak pernah datang ke pesta mana pun, perayaan apa pun. Di kota ini, di dunia ini tak ada semacam pesta yang menyediakan lahan untuk berdansa, untukku. Tak ada. Selagi aku tahu kau takkan kembali, apalagi berdansa. Maka, lebih baik aku terus menari, barangkali sampai seseorang hadir dalam satu-satunya perayaan; hari raya mati.

Jumat, 03 April 2020

Kasih Tak Kenal Ampun

  Aku ingat saat terbaring di rumah sakit beberapa tahun silam. Di tengahnya marabahaya oleh penyakit yang aku sendiri percaya rasa-rasanya kali ini akan merenggut nyawaku. Tidak demikian ibuku, ia hanya ingat bahwa rasa perih tersakit barangkali melihatku tak berdaya di depannya. Nanar tatapan mataku berbeda dengan mereka yang datang silih berganti, kecuali...

  Seekor gadis, seekor kucing manis atau bisa juga seekor kelinci yang irit bicara. Datang bersama orang yang posisinya sama dengan ibuku. Tentu, mereka rasa-rasanya pernah hidup dalam telingaku. Ibuku apalagi memang barangkali menunggu kedatangan seorang itu. Kawannya sejak lama, sudah mengenalnya dalam, aku pula beberapa kali menyaksikannya. Tapi, seekor gadis, mau apa dia di sini?

  Seekor gadis yang berperawakan wajar, duduk diam melamun. Entah, ia memang irit bicara, tak ingin bicara, atau tak ingin berada di sini. Tatapannya tak kosong tapi tak ada yang bisa kulihat di dalamnya. Sementara dua orang lain tengah asik berbincang entah apa yang dibahas, aku terpaku melihat pemandangan yang indah di tengah keterasingan.

  Boleh jujur gadis? Senyummu itu lho, kurang ajar sekali. Dibuatnya aku lupa bahwa aku ini tengah dalam rumah penyakit, aku ini sedang sakit. Dibuatnya aku lupa diri dengan badanku yang semakin habis dibantu alat infus. Dibuatnya aku tak ingin beranjak padahal aku juga tak bisa ke mana-mana selain ke kamar mandi. Gadis, diammu yang justru membuat penasaran. Siapa sih dikau? Sekejap aku berharap cita-citamu kelak ingin menjadi suster atau dokter sehingga aku ingin selamanya terbaring di sini selama kau yang urus. Tapi tak jadi. 

  Masa sakit adalah masa-masa kelam yang mesti dan harus semua orang tunaikan di dunia ini. Bagaimana tidak? Raga diam tapi kepala berjalan-jalan entah ke mana entah ingin apa ingin segera merealisasikan layar besar di kepala. Namun, setelah bertemu denganmu, aku berharap sering-sering sakit (parah) agar kau rajin menjengukku. Tapi tak jadi. Yang aku ingin cuma menyaksikan kilau bening matamu kelap-kelip menyaksikan hal yang sebenarnya tak bisa disaksikan. Kau tetap diam dalam malumu sementara aku kejang oleh rasa yang berdegup kurang ajar meronta-ronta tak mau diam. Siapa sih? Ah.

  Setelah aku sembuh dan sembuh dalam arti yang sebenar-benarnya, saat itulah kutahu namamu. Nama yang tak pernah kukira sebelumnya. Saat sakit otakku yang sinting berusaha menebak namamu, “Bunga? Tania? Putri? Dinda? Sekar?” atau nama lain yang rasa-rasanya banyak ditemui di planet bernama Bumi. Ternyata, dugaanku salah. Namamu unik, estetik, juga menjentik.

  Lalu, sekarang setelah lama kutahu namamu dan sedikit tentang apa-apa-mu, aku hanya bisa memimpikan hari-hari indah lainnya saat sakit. Kau tak tahu, pasti tak tahu. Manusia kagum berulang kali, jatuh terus dan menerus. Jadi, kelak aku tak tahu apakah menjadi apa, siapa, atau bagaimana. Yang pasti, kasih tak kenal ampun. Aku sakit dalam beribu bahasa, hanya satu yang mampu kau terjemahkan: tak mau tahu. 

  Obsesi menjadi hal yang sangat berbahaya bagi manusia. Ya, maka dari itu, kasih tak kenal ampun. Menuntut balasan hanya berujung bisa apa tuan? Kau akan selalu dan selalu menjadi ingatan yang parau di kepala. Tak peduli apa atau bagaimana. Sebagaimana masa sakitku yang perlahan menghilang, kau pula, hilang bersama penyakit yang tak pernah kuharapkan kedatangannya. Yang tak kuingat bahkan aku tak tahu, ke mana saja kau setelah menjengukku?


Sabtu, 28 Maret 2020

Seharusnya Seharusnya Seharusnya

  Harusnya, kita lagi main-main di sana~
  Harusnya, kita lagi jalan-jalan di sana~
  Harusnya kita tampil hari ini~
  Harusnya, harusnya, harusnya, harusnya.

  Ini semua gara-gara virus bangsat!
  Corona bajingan!
  Gabut banget sialan, gak bisa ngapa-ngapain.
  Kita nanti seneng-seneng ya kalo virus keparat ini udah selesai~

  Jadi, sudah selesai sama urusan yang orang-orang pikirin dengan begitu pendeknya. Terus, masih mau terus mengeluh, mengolok-olok virus yang mewabah kini. Masih mau terus bilang, "harusnya, harusnya, harusnya"? Masih mau mencoba tidak menerima kenyataan sekarang?

  Dengan hormat dan dengan segala hormat, hentikan. Kalau mau mengeluh, jangan di depan orang banyak. Jika masih mau mengeluh juga, tolong jangan di depan saya. Kenapa sih harus selalu bilang "seharusnya"? Gak ada, gak ada yang seharusnya, inilah kenyataan. Bangun! Belajar terima apa pun yang Tuhan kasih. Bukannya gak boleh, bukannya melarang, tapi buat apa? Cuma buang waktu dan jujur, mohon maaf, saya terganggu dengan kata-kata "seharusnya". Hari ini tanpa semua manusia tahu juga dari lahir barangkali sudah ditakdirkan akan menghadapi virus ini. Semua manusia merencanakan atau tidak merencanakan sesuatu juga sudah ditakdirkan hari ini ya begini. Gak ada yang seharusnya, yang ada cuma selanjutnya. Manusia tugasnya merencanakan, Tuhan yang menentukan. Yang bisa dilakukan apa, jalani. Manusia berpikir apa yang bisa dilakukan nanti, apa yang mau dipikirkan setelah wabah ini. Apa yang masih ada dan bisa disyukuri, kenyataan, nyata.

  Kalau masih tetap ingin berandai seharusnya seharusnya seharusnya, kalau begitu HARUSNYA saya gak berakhir di lingkungan yang mengecewakan. SEHARUSNYA saya gak pernah, GAK PERNAH melewatkan masa SMA saya. SEHARUSNYA saya sekarang jadi pemain bola, bukannya buang waktu di kampus. SEHARUSNYA saya gak pernah ninggalin rumah buat merantau yang akhirnya saya tahu sia-sia. HARUSNYA saya gak pernah terlalu percaya sama orang lain kalau tahu bakalan ingkar. HARUSNYA saya ga buang waktu saya untuk ambis gara-gara nasib sialan. HARUSNYA saya gak terdampar sendiri di kota lain. HARUSNYA, HARUSNYA, SEHARUSNYA.

  Akan tetap ada dan takkan habis penyesalan, seharusnya, harusnya. Tapi, buat apa? Kalau emang Tuhan yang mau begitu, manusia hina bisa apa? Cuma ngeluh? Shame on you. Saya hadir di sini bukan ingin menggurui, bukan mau menceramahi, tapi kalau rasa-rasanya dianggap demikian, persetan. Saya hanya risi, saya tak nyaman, saya tak mau mendengar atau pun melihat kata-kata itu. Hidup kan cuma sebentar, ngapain sih ngeluh melulu. Coba pikir di luar sana banyak orang menderita karena virus, terus virusnya bajingan? Yang ciptain virus siapa? Tuhan bajingan? Jadi, buat apa mengutuk? Buat apa sih menghakimi. Gak disadari wabah ini justru menyimpan banyak hikmah dan Tuhan tuh gak bego sob, gak mungkin dia nyiptain wabah cuma iseng. Manusianya mungkin udah kurang ajar, manusianya udah bajingan, jauh lebih bajingan dari wabahnya.

  Bersyukur punya rumah, disuruh social distancing bisa di rumah. Coba orang yang gak punya rumah, mau #dirumahaja di mana? Boro-boro ngeluh pengen jalan-jalan, buat makan gak ada virus aja susahnya minta ampun. Masih malu gak sih ngeluh, mengutuk wabah. Saya jelas malu, malu. Yang bisa di rumah coba pikirin orang yang merantau dan terlanjur gak bisa pulang ke rumahnya. Masih mau gabut di rumah? Masih gak bersyukur gimana Corona ngasih kesempatan buat quality time di rumah, buat kumpul sama keluarga, buat makan masakan ibu di rumah. Bayangin coy yang ngerantaunya jauh, udah beda pulau, mau bagaimana?

  Saya gak tahu lah mau bagaimana lagi, cuma ingin mengutarakan kejujuran. Kebenaran, kejujuran rasanya pahit itu wajar, yang sulit saat mencoba membuatnya terasa seakan selalu dan hanya manis. Ngeliat banyak yang aduh, gak ada rasa syukurnya sama sekali. Terlalu melihat sesuatu dari sisi negatifnya aja, terlalu melihat objek dari satu sudut pandang. Makin ke bawah bahasa makin ga baku, udah awur-awuran, maaf, terbawa hasrat. Pakai hati, pakai otak, jangan terlalu mengandalkan salah satu. Pokoknya terserah, mau apa. Stay healthy, stay safe. Dan jangan lupa, bersyukur. Rasa malunya diperhatikan dan dijaga,

Terima kasih.