Kamis, 05 Desember 2019

Kota ini (Bukan) Kota Mendung

Laut tumpah ruah di kotaku
Menyapu jingga yang tadinya lebur
Menganga bagai ombak yang berdebur
Hujan akan turun sebentar lagi di kotaku

Yang benderang jiwa hati
Masalah tiada akhir duniawi
Membabi buta sana sini
Lupa rumah, lupa kawan, lupa diri

Baiklah, baik kau apakan kota ini
Kau hendak namakan apa kota ini
Tetap...
Tetaplah di mana semua sedu sedan
mengendap.


-Uyyi, 1 November 2019

Minggu, 01 Desember 2019

Gelas yang Pecah

  Hari-hari adalah anugerah yang diutus oleh Tuhan. Bagaimana tidak, hadirnya seseorang di hidup pastinya membawa kesan tersendiri, membawa warna baru dalam hidup. Kenangan manis, momen bersama yang tertangkap ingatan, lagu-lagu yang menyayat, waktu yang terbuang tidak sia-sia, semua yang terlanjur membekas secara berat di kepala. Semuanya, adalah takdir yang sebelumnya bahkan tak terbayangkan cinta bisa menjadi sebegitu nyata hingga semua terasa nyata bahkan dalam khayal. Semua menjadi kebiasaan dan segenap raga menerima apa-apa yang rasanya merasuk ke dalam hati lewat tatapan, dekapan, sapaan, semua hal hangat yang rasanya begitu teduh. Menyentuh, menjamah, barangkali sesederhana itu. Tapi tahukah? Seberapa besar cinta tumbuh dan menggema dalam ingatan usang yang sejak dulu lelah rasanya menghapusnya.

  Dia, makhluk Tuhan yang hanya ada satu. Dilahirkan, dipertemukan, hanya untuk membuatku gegap gempita. Semua tawa itu tak pernah sedikit pun lewat dari pandangan meski hanya sebatas ketikan jari lunglainya. Tatapan dalam, mencuri apa yang sebenarnya tak pernah bisa dicuri. Marah yang menjengkelkan kerap menyayat sukma, tapi tak apa. Semua hal yang aku pertahankan mendadak luluh oleh batin yang terlalu, terlalu menganga akibat rasa yang membludak. Dia itu satu-satunya, yang pertama membuat butir-butir keberanian yang selama ini tak pernah aku miliki tumbuh dan meledak-ledak di depan semua pasang mata. Membuat anak kecil dalam diriku lupa bahwa anak satu ini adalah anak yang benar-benar payah, pengecut, selalu diam lalu dibungkam rasa menyesal. Membuat tangan memaksa menyiksa pena yang bisu dan tak bertuan. Mencoba mencari cara, berupaya, berusaha tanpa peduli apa yang akan jadi hasilnya.

  Mencoba dan berupaya tugasnya manusia. Mencoba membahagiakan, mencuri tawa, menghapus duka, berceritera berharap kisah tak pernah usai. Menganggap rumah, tempat pulang dan mengadu. Mencintai dan menunggu. Rela mencabik ketahanan batin sendiri demi rasa dan asa. Bagaimana kutemukan upaya menjatuhkan matamu. Tak berhenti memikirkan, dan lebih tidak bisa berhenti memikirkan. Menyelipkan namamu dalam doa. Namun, aku hilang, aku luruh, aku ditelan bumi, tenggelam dalam lautan hampa. Tak terasa bagaimana hatimu yang merah itu menghangatkan tangan dinginku, Tak terasa lisan teduhmu mendinginkan dahi membaraku. Tak ada, tak ada arti. Aku hampa, aku kehilangan makna, aku kehilangan aku. Anak kecil dalam diriku seolah mati, dibunuh cinta yang katanya sarat makna, tapi malah terus memunculkan tanda tanya. Kau ke mana? Atau aku yang ke mana? Di mana kita? Di mana aku? Masih bisakah kusebut cinta bila hanya ada kepala yang keras dan hati yang terlalu panas? Aku yang tak mengerti atau kau yang tak mengerti? Ataukah perlu kutambahkan kata "coba"?

  Dan soal kisah ini, nampak seperti harus berakhir bahagia, namun seharusnya tak demikian. Semua yang dinamakan harapan akan berujung semu. Semua ekspektasi berujung kecewa, semua yang didambakan akan pupus sebagai jala gagal mengembang. Bagaimana tidak? Gelas sudah kupecahkan. Serpihannya jatuh dan menyebar ke segala arah dan memaksa aku memungutnya satu per satu. Bagaimana tidak? Tanganku lemah tak berdaya melihat, mendengar seruan itu mematahkan apa yang disebut cinta. Gelas sudah pecah, kakiku terkena serpihannya, sulit berjalan, apalagi berlari - melarikan diri. Sudah dapat ditebak akhirnya hati yang tak bisa disatukan memang tak boleh terus bertabrakan, bisa-bisa luruh semua jadi debu yang sukanya hanya menjahili hidung.

  Yang terbaik takkan pergi, katanya. Aku sudah pergi, sudah jelas bukan aku yang terbaik dan takkan pernah menjadi. Keegoisanku adalah berusaha menyelamatkan diri sendiri dari kesalahan dan kegilaan di antara cinta yang begitu dalam, begitu menghujam jantung, menusuk sukma, menyiksa rasa, membelenggu lisan. Begitu juga gadis yang hanya satu kali lahir itu, ia pantas mendapatkan yang lebih baik dan semua orang memang layak mendapatkan yang jauh lebih baik. Hidup hanyalah ruang kedap suara tempat tawa, sedih dan hal lainnya singgah, lalu pamit lagi pergi. Hanya pertemuan-pertemuan singkat. Tak ada yang selamanya, tak ada yang abadi. Mungkin kenangan satu-satunya yang abadi. Bukan rasa tak mau hilang, hanya sulit saja mencoba biasa saja. Bukan seolah tak terjadi apa-apa, hanya mencoba merelakan yang bukan dipunya.

  Yang sulit adalah saat memori satu per satu datang, datang dan datang. Setiap hal kecil mengundang ingatan terpecik, lalu membakar sebagai lamunan. Bagaimana masih santer terdengar suara-suara di kepala, jalan-jalan yang pernah dilalui, momen-momen, tempat-tempat, hal-hal, benda-benda,bahkan keheningan. Ingat, bukan melupakan, tapi mencoba rela, mencoba membiasakan. Jangan lari, jangan menghindar, hanya perlu dihadapi. Jangan dimuntahkan, telan pahit pelan-pelan. Hanya waktu yang bisa menyembuhkan. Maka, nikmati. Patah hati juga merupakan suatu perayaan. Kehilangan juga suatu hal yang perlu dirayakan. Kesedihan perlu dinikmati.

  Setiap orang pasti dan akan melakukan kesalahan. Setiap orang sehati-hati apapun, akan tetap menyakiti dan mengecewakan orang lain. Tak sengaja pun akan tetap mengecewakan dan menyakiti orang lain. Tapi, tak perlu risau, yang bisa dilakukan adalah mencoba belajar, mencoba memperbaiki. Gelasku pecah lagi yang satu ini, entah gelas ke berapa. Tapi akan tetap ada gelas-gelas lainnya. Entah mungkin ketakutanku akan selalu memecahkannya akan selalu terealisasi. Yang penting, tak perlu jadi orang lain. Hati juga diciptakan memang untuk dipatahkan, begitu juga gelas. Yang harusnya ditakutkan adalah saat di mana Tuhan tak memberi lagi kesempatan.

  Dalam cinta tak ada yang salah. Yang salah adalah yang tak mengikuti kata hati, memaksakan yang tak seharusnya dipaksakan. Tiap-tiap kepala tahu apa yang terbaik buatnya, tahu apa yang benar-benar dibutuhkan. Dan cinta itu ga membebani, justru membebaskan. Cinta itu membebaskan, bukan membelenggu. Jika kamu mencintai, biarkan mereka bebas, seperti awan, seperti udara, seperti debu yang menyebar ke seluruh semesta nan indah ini. Tak ada penyesalan, karena, "things happen for a reason". Tuhan mungkin memang sengaja mempertemukan seseorang di hidup hanya untuk umatnya belajar, untuk memahami hidup, untuk mensyukuri anugerah tak terelakkan, yaitu napas. Untuk yang dipisahkan, percaya, akan dipertemukan dengan yang lebih baik. Buat yang terputus, mungkin dua di antaranya butuh yang lebih baik, di atas ego dan keinginan masih ada kebutuhan. Masih ada kebahagiaan yang harus berdentang. Mana tahu kapan hidup akan berakhir? Hidup tak bergantung dan tak boleh tergantung. Hidup adalah diri sendiri, untuk orang lain, untuk semesta.

  Manusia belajar, tumbuh dari pilu, kegagalan, kesalahan. Manusia menyesal, tapi tak untuk mengulang kesalahan yang sama. Manusia kehilangan, untuk menyadari bahwa manusia tak pernah kehilangan semua hal, masih ada, masih ada orang-orang yang hadir di hidupnya. Manusia oh manusia, tempatnya salah. Tapi tak apa.

  Semuanya akan baik-baik saja.


Selasa, 05 November 2019

Diam-Diam

Diam-diam kubawa hening
Kubakar sarat yang gencar
Kuhapus dendam mengakar
Diam-diam aku bergeming

Diam-diam kubawa mati
Semua hendak yang tak jadi
Semua ingin yang tak terealisasi
Semua mimpi yang terisolasi

Diam-diam kubawa satu
Yang kedua mencampakkan
Ketiga tak mampu bertahan
Seterusnya biarlah berlalu.


-Uyyi, 31 Oktober 2019

Perihal Menjadi Brengsek adalah Berusaha Menjadi yang Terbaik

  Soal menjadi...

  Soal keinginan, perihal kepala yang berusaha lebih keras untuk mengeras. Mengenai upaya yang dilakukan tak peduli entah apa menjadi suatu kejanggalan. Melakukan demi yang lain, terkasih, namun besar kepala. Lupa ia, lupa ia kepada rumah dan amanah yang ditinggalkan dalam-dalam saat hendak berangkat. "Sukses ya nak!". Sekedar membahas pilu, sudah menjadi yang selalu, soal angan yang tak sampai, tak bisa begitu saja terurai. Lupa ia, kalau menjadi dewasa merupakan pekerjaan seumur hidup. Bego ia, menyepelekan semua atas dasar nafsu atas cinta. Bodoh, gelagat payah sok pahlawan, penuh ketololan dan kemunafikan.

  Jika sudah begini, mau apa? Gila itu kata yang terbesit di kepala manapun. Aku anak kecil yang berlaku dewasa, aku tangan kosong yang menghajar seenaknya, aku si jago merah yang egois melalap segala, aku adalah dasar nafsu yang ingin menelan apa saja. Kebodohan itu murni adalah aku. Perilaku tak pakai pikir matang, keinginan yang semu, tergesa-gesa tak tentu arah, tak sabar menilik rasa, dan yang terparah, obsesi. Ingin kuhapus kepala kosong ini, ingin kulenyapkan tangan yang sudah penuh darah oleh tinta tak berarti, ingin kubakar semua hasrat memiliki namun tak sanggup menanggung perih. Ingin, ingin sekali kuputar, kuulang dari awal semesta berputar pada satu, poros yang selama ini kutahu dan membuatku sehat nan panjang umur. Bukan kesenangan bualan yang perlahan membunuh jua.

  Soal keinginan...

  Keinginan adalah musuh terbesarmu, sudah pernah kubilang rasa-rasanya. Lalu, hendaklah pulang. Hanya rumah tempat semua menjadi seperti sediakala. Hanya pulang yang menyembuhkan yang meradang. Hanya rumah, yang dirasa-rasa amat sederhana, namun tak lekas kehabisan makna. Maka, pulanglah, tak ada guna dan manfaat mencoba dengan egois menjadi yang terbaik, sementara rumah masih saja yang tak bisa kau buat pelik. Buat apa menjadi yang terbaik bila harus membunuh diri sendiri dalam lautan biru yang tak pernah kau kenal bentuk rupanya apalagi namanya. Buat apa merubah diri jadi yang sempurna bila alam semesta mencintai kekuranganmu yang membahagiakan dirimu dan orang lain dan yang lain-lain. Buat apa, buat apa jadi bodoh dengan mencinta secara membabi buta sedangkan yang tak lain tak bukan sesederhana mencintai alasan mengapa kamu sempat dilahirkan di bumi manusia ini.

  Perihal menjadi orang yang brengsek adalah berusaha berlaga menjadi yang terbaik. Dirimu tak pernah hilang dicintai semesta. Tak perlu sedu sedan memikirkan betapa banyak lagi insan tak menginginkan diri itu. Persetan! Bayang semu itu hanya hantu tak tentu, bara sisa api, kayu yang terlanjur jadi abu. Buat apa lagi, hah? Bahagia sederhana, cinta kata yang selalu bekerja, hati tak ingin jadi tempat menabuh sendi kebodohan, akal bosan menjadi sok pintar, jiwa ingin selamanya merdeka.

  Di ujung perjumpaan, cukup lambaikan tangan selamat jalan. Kita baiknya dan memang harus memilih takdir masing-masing. Sampailah kau di perhentian nanti, begitu aku. Semua sudah ada yang duga, semua memang seperti semula. Kita di bumi yang sama, tapi di dunia yang berbeda. Perjumpaan adalah tahap mendewasakan, walaupun menjadi dewasa adalah menabuh benih kebosanan, sungguh menjengkelkan. Ya, mau apa lagi? Dewasa itu adalah tanggung jawab seumur hidup dan mesti ditunaikan, mungkin, rasa-rasanya.


-Uyyi

Jumat, 11 Oktober 2019

Hiruk Pikuk Dunia Baru

  Jadi begini, kawan...

  Apa jadinya rahasia termakan kebodohan cara dan guna membeberkannya pada massa? Apa jadinya cinta bila seutas harapan dibina oleh hati yang kanak-kanak yang hanya mengenal kata manis? Apa yang akan terjadi, bila semua lantas kembali ke masa sebelum hidup mulai menunjukkan tajinya dengan berubah 180 derajat? Kata tanya mungkin bisa menjelaskan, tapi jawabannya takkan pernah bisa dimengerti. Buat apa, buat apa? Semua disandingkan bersama kisah usang yang kau sendiri lupa di mana engkau pernah dilahirkan. Lupa setelah rupa dan wajah baru mulai menghias, menilik, memburamkan masa lalu yang dulu, dulu sekali masih saja kau anggap pilu. Sudah lupa? Bahagia membuatmu keras kepala? Cinta membuatmu membesarkan, menghamba pada apa-apa semua sendiri, privasi, juga peribahasa yang melupakan kamus tempatnya bernaung. Dirimu lupa, seberapa pahit dan luka menimbamu menjadi manusia kuat yang beberapa detik hilang oleh perihal cinta yang abstrak.

  Ingat rumah juga tidak, tidak lagi-lagi maksudnya. Selalu tersimpan secuil bahkan segudang cerita dari rumah yang kau ingat selalu panas bilamana sudah hampir hujan selepas mendung. Perihal yang membuat pening adalah besarnya kepala; terlalu kecil mengingat seluruh riwayat hidup manismu. Buat apalagi? Mencoba menjadi diri yang lain bila angin yang kau hirup setiap saat saja sudah menerimamu apa adanya. Buat apa? Buatnya? Yang terbaik pasti terjadi sekejap dan ingin diingat selamanya merupakan kebodohan yang tak sempat diciptakan semesta, kecuali kau sebodoh itu. Menghamba pada kemaslahatan egoisme sama saja menjadi pasukan beringas tapi tak punya senjata apapun dan lambat laun atau cepat mati terbunuh kecongkakan diri sendiri.

  Jangan bodoh! Jangan jadi bodoh dulu. Semua yang sekiranya sudah menjadi hal yang selalu bisa kau sentuh, bisa jadi luruh. Jangan terlalu bodoh melihat semua simpati dan empati yang datang silih berganti kau anggap sesuatu hal yang mesti, wajib, layak kau dapatkan dulu. Sampai, sampai, sampailah pada saat semua yang kau ingin kenakan menjadi mantel yang hangat, basah dengan teriakan dan tawa yang dinginnya tak bisa kau rasakan lagi. Seperti aku, ataupun kaulah, semua bisa terjadi pada semua. Bukankah, hati dan kepala masih bisa saling berkelahi? Bukankah, satu-satunya yang tidak bisa dibaca adalah niat? Bukankah, yang menjadi keras melebihi kepala adalah angan-angan semu? Yang kau perlu ketahui juga, hidup ini baru saja memasuki babak baru. Sekelebat angin terhembus tepat di kosong wajahmu, semburat cahaya jingga kau rasa berbeda di urat malumu, alur cerita mundur barangkali terlalu mendesak maju.

  Aku, ataupun kau, ingin melupakan waktu. Ingin bisa bebas terbang melayang kesana-kemari, wush wush wushh... menyaksikan semua peristiwa di alam khayal, tak ingin melewatkan satu pun kisah. Kau dimana? Dimana kau? Sudah bahagia kan? Betul, kau memang sudah sedari dulu bahagia. Bagimu bahagia adalah saat aku terjerumus kisahmu yang kau sendiri larang aku menikmati apa rasanya. Seakan-akan kaulah, hanya kaulah berhak bahagia. Aku tak bilang sakit, duka, luka merupakan hal yang brengsek! Mereka adalah paket kebahagiaan yang mesti pula kucicipi. Pahit, adalah rasa yang paling sempurna. Kecewaku malah kau larang-larang aku. Haha, kau punya andil apa? Bila satu-satunya yang membuatku geram adalah insan yang berusaha menghalangiku merasakan apa itu sakit, apa itu luka. Karena hidup, adalah menanam luka, memetik bahagia nanti, tak perlu dihiraukan.

  Jauh dari itu, lebih jauh dari itu. Kau adalah kesempatan yang terlompat akibat memang tak pernah sekalipun ada harga atas apa yang aku keluh kesahkan. Kalau nyatanya ada yang lebih baik, kau mau apa? Bisa apa dengan waktu yang telah dirampas bersama hal-hal kontra yang selalu saja tak mau dengar apa yang aku utarakan dengan hati-hati. Memang niat dan cinta menjadi perihal yang keras melebihi batu karang. Kau keras, kau sakit, aku tak kalah pula sakitnya. Kawan... dengar, enyah itu sudah kau ingin suarakan sejak lalu-lalu. Selalu ada yang datang, yang simpati. Tapi, kau tetap tak mau dengar. Sudah, seonggok daging yang katamu mulia, yang suci itu telah menunggu tanganmu didekap, sudah pergilah. Kawanku sudah lama mati semenjak terinjak darahku oleh ludah tak berdalil itu. Sudah tak apa, awal yang baru 'kan kubilang. Sudah tak apa...

  Perihal kawan yang telah lama mati atau mati suri atau pura-pura mati adalah kisah yang bisa jadi fiksi dan menggemparkan dunia kesusasteraan beberapa puluh tahun ke depan dan menjadi karya adiluhung, mungkin. Semua rasanya sulit diterjemahkan sekuntum pernyataan yang nyatanya berlainan dengan kenyataan. Menulis dan membakar, umpama. Lebih baik pikirkan kembali, beranjak atau sudah ingin beku mati tertahan di sini? Hidup cuma sekali, berakhir bila kau membunuhku, tapi kau membunuhku berkali-kali, berkali-kali dan kali-kali kali ini rasa-rasanya tak sanggup merasakan rasa lagi. Rumit, bak jiwa terhantam sumbu semesta yang tak berujung, hampa kehampaan. Memaafkan dan mengulangi, umpama. Tak bisa diselesaikan, atau lebih baik tak perlu diselesaikan. Kadang ada beberapa hal yang tak perlu selesai, biarkan mengambang bersama udara yang bertiup menenangkan harimu yang kotor bekas tangan lugumu sendiri.

  Terakhir, soal cinta. Soal rumah tak beratap. Perihal puisi yang mencari jati diri, puisi yang berusaha menemukan tuannya. Dan keluarga baru, suasana indah baru. Penunjang hari-hari penuh perayaan. Aku, rasa-rasanya akan berulang tahun setiap hari, setiap jam, menit, detik... Merayakan yang hilang dan yang datang. Merayakan berada di tengah-tengah, di antara semua-muanya. Soal cinta yang begitu luas, soal gadis gendis tambatan jiwa, soal hangatnya aroma pertemanan. Lingkungan yang amat dicintai dan mencinta. Soal semuanya, hiruk-pikuk juga masalah yang sebentar lagi kuangkat jadi kekasih waktu dan menjadi tetuaku yang kuhormati dalam. Untuk semuanya, selamat tinggal! selamat datang! Selamat, selamat... Kita, kamu, aku, kalian, kita semua merayakan dengan selamat.


-Uyyi.

Minggu, 29 September 2019

Cikuray, Bagas dan Matahari Pagi (1/2)

Assalamu'alaikum Wr. Wb.

  Tabik! Salam dingin Jatinewyork, Bandung dan sekitarnya.

  Malas, satu kata yang masih berada dalam ubun-ubun saya. Memang sudah lama sekali setelah terakhir muncak dan baru berkenan bercerita sekarang. Alasan menulis dan berbagi masih sama; ingin membuat pembaca merasakan keseruannya ataupun bisa mengimajinasikannya dalam kepala masing-masing. Sudah, tak usah basa-basi.

  Perjalanan dimulai hari Jum'at, 2 Agustus 2019. Saya, Arvyn (adik saya), dan Dimas (teman satu SMA dulu di Jakarta). Kami berangkat dari Terminal Lebak Bulus menuju Terminal Guntur Garut. Singkat cerita kami sampai di Garut langsung nyarter mobil pick-up dan langsung menuju basecamp Pemancar. Perjalanan menuju basecamp kami disuguhkan pemandangan sangat apik; kebun teh yang tak habis memanjakan mata, para petani rajin yang tak punya kata lelah, udara segar khas pegunungan, serta Cikuray yang menunggu dengan gagahnya di ufuk jauh sana. Jujur, sudah lama sekali saya merindukan suasana ini. Suasana yang hanya bisa didapatkan saat mendaki. Entah, rasa rindu macam apa dan magnet apa yang selalu mampu menarik sukma saya agar selalu kembali, kembali dan kembali ke gunung lagi.

  Setelah melalui perjalanan mobil menuju basecamp yang jalanannya jauh dari kata "rapi" dan tak beraspal yang berhasil membuat bokong pegal tak karuan, akhirnya sampailah kami. Tanpa lama-lama kami bersiap-siap, packing ulang barang dan segera memulai pendakian. Didahului doa dan briefing singkat, kami berangkat sekitar pukul 9 pagi. Lelah, engap, sesak adalah kata-kata yang selalu menggambarkan awal pendakian kami kali ini. Maklum, persiapan asal-asalan, olahraga jarang, hanya didorong oleh kerinduan maka nekat kami lancarkan sepenuh jiwa. Asli, jalur Cikuray memang tak kenal ampun. Dari pos 1 pun kami telah disuguhkan pemandangan asik; menanjak, menanjak, pegal, menanjak. Memang mahaasyik dan mahakampret mengingat benar-benar fisik kami (terutama Dimas) yang kian menjompo akibat malas berolahraga. Terasa betis dan paha serasa mau copot dari tulang yang menempelinya sejak lahir.

  Dengan jalan compang-camping, pos-pos kami berhasil lalui dengan lambat dan lesu. Tapi tetap, perasaan melepas rindu ini benar-benar mengasyikkan walau sebenarnya menyiksa kami sendiri. Fisik dan stamina yang sudah larut dimakan kemalasan menjadikan pendakian kali ini terasa berat. Ya, walaupun bagiku pribadi tak ada pendakian yang mudah. Semua punya tingkat kesulitan dan tantangan yang berbeda, juga punya ciri khas tersendiri. Kami sempat molor waktu saat menuju pos 2 dan 3. Alasannya kami karena belum "nyetel" atau pundak belum berdaptasi dengan berat carrier kami yang menempel di badan. Oh iya, ini juga pertama kali saya mendaki saat musim kemarau, yang artinya matahari tak bosan-bosannya menyengat. Kena matahari panas, neduh sebentar dingin menilik, haduh memang serba salah. Kami benar-benar "ngaret" di pos 3 menuju ke pos 4 karena merasa kami sudah terlalu lelah. Akhirnya pada awalnya saya bertugas sebagai sweeper beralih fungsi jadi yang paling depan untuk terus memaksa kami tak molor lagi, mengingat masih ada sampai pos 7 yang harus kita lewati untuk mendirikan tenda.

  Saya baru tahu, ternyata musim kemarau tak lebih baik dari mendaki di musim penghujan, kenapa? Karena saat musim kemarau semua hewan di hutan keluar dan aktif. Sudah terlihat sekali sejak pos 2 kami selalu dibuntuti oleh tawon hutan. Bukan tawon biasa dan banyak sekali jumlahnya. Ditambah saya memakan madu sambil berjalan dan barangkali jatuh mengenai baju yang sangat mengundang tawon itu. Sungguh, menjengkelkan. Selain itu suhu juga lebih dingin dibanding musim penghujan yang selama ini saya rasakan lebih hangat. Selain itu memang benar-benar semua hewan keluar. Tak hanya hewan-hewan serangga, tapi juga yang besar dan bertaring. Mulai dari Bagas, hingga Kocheng Oren. Teman-temanku selalu bilang bahwa Cikuray memang terkenal akan banyaknya babi hutan. Dan sangat disarankan untuk ngecamp di atas pos 7. Dan dalam mindset saya, jika mau aman setidaknya kita harus sampai di pos 7 untuk makan dan jarak ke tempat camp tidak jauh yang hanya beberapa meter dari pos 7. Namun angan hanyalah sebatas angan. Di pos 7 saat kami sedang mempersiapkan makan siang yang terlalu terlambat, Bagas, hadir mengendus nasi setengah matang yang sedang dibolak-balik.

  Ya, pertama kali saya berhadapan langsung dengan babi hutan sungguhan, bukan Arvyn atau Dimas (mungkin inilah karma, saya sering meledeki Arvyn atau Dimas sebagai babi hutan), tapi makhluknya sungguhan. Ada sekitar 15 menit kami berpandang-pandang, semoga tak satu dari kami jatuh cinta. Gila! mati langkah aku, kaku sekejap tubuh melihat Bagas yang ngiler minta makan. Ia juga tak berkutik, tapi karena pisauku ada di carrier yang kutinggal dekat kompor yang jaraknya lebih dekat dari Bagas. Lari juga sudah tak kuasa, jalur sempit tentu mempermudah Bagas menyeruduk bokong kami. Akhirnya, entah Tuhan mengabulkan doa kami, Bagas pun akhirnya pergi, entah kemana. Nasi matang dan makan walau tergesa-gesa tetap dilanjut untuk mengisi tenaga menuju tempat camp. Sebenarnya sebelum pos 7 pun, perjalanan dari pos 6 ke pos 7, ada satu hewan buas lagi yang sempat kulihat dengan mata kepala sendiri. Di pos 7 Bagas dilihat oleh kami bertiga. Namun, kali ini aku yang melihatnya, hanya aku sendiri. Iya, macan tutul, begitulah mata ini mencoba meyakinkan sukma. Entahlah, seperti anakannya, atau mungkin saja kucing hutan. Tapi, merinding sudah terlanjur menjalar ke seluruh tubuh. Saat itu aku paling depan berjalan, karena melihat macan, aku pun memutuskan membeku dan menunggu teman-teman sejenak hanya untuk memperingatkan. Aku bilang dengan terbisik-bisik, "Bro, bro.. ati-ati tadi gua liat macan, seriusan dah! anaknya si kayaknya soalnya agak kecil." Bukannya antisipasi, mendengar ucapanku, teman-temanku malah lebih panik. Arvyn bilang, "Eh apa balik aja ya?" Dimas menimpali, "Iyaiya dah, yuk balik aja." Dengan panik gorila mereka membisu dan terkaku tak bisa menggerakkan sendi-sendinya yang mau copot rasanya. Lalu saya, "Udah pelan-pelan aja, udah kesono kok macannye." Seolah aku paling tenang, padahal hampir mati aku terkejut. Ya karena aku yang lihat langsung!

  Saat itu juga kami bersama rombongan lain yang kutahu ada salah satunya yang sudah beberapa kali ke Cikuray. Tapi, setelah mendengar kata ajaibku tentang "macan tutul", panik juga tak bisa disembunyikan dalam raut wajahnya. Haha, ini sungguh lucu sekali. Dalam kepanikan dan hidup mati masih bisa saja tertawa melihat raut-raut wajah yang antara hidup dan mati juga. Panik, hopeless, juga mau pulang. Tapi apa mau dikata? Jalan sudah sejauh ini, perjuangan harus dituntaskan, harus selesai. Semua niat, usaha dan tekad harus dibulatkan. Walau lagi-lagi aku selalu ingat apa kata Leader pendakian perdanaku yang katanya, "Puncak hanyalah bonus, rumah itu tetap tujuan utama!" Oke, aku sangat paham omongan itu. Tapi, selagi rasa-rasanya kita mampu, kita yakin bisa dan merasakan alam masih merestui kita, maka menyerah bukanlah sifat yang tepat. Setelah apa yang kita upayakan, setelah apa yang sudah terlanjur menjadi duka asa derita. Masa iya mau menyerah? Jiwa pejuang itu lahir di setiap manusia yang terlahir di negeri ini. Negeri ini negeri para pejuang, pantang menyerah sebelum waktunya mengalah. Lalu dengan mengorbankan aku sebagai tumbal (ya, aku disuruh jalan duluan, sialan wkwk), kami tetap berjalan. Pelan namun pasti dan akhirnya sampai di pos 7 dan agak lama setelah itu bersua dengan Bagas. Ya, kejadian macan itu terjadi sebelum bersua dengan Bagas. Dan setelah di pos 7 kami memutuskan makan karena sudah lewat 3 jam dari jam makan siang, saat itu pukul 3 lewat. Kelompok pendaki yang bersama kami meminta izin duluan karena katanya pos tempat camp sudah tidak jauh lagi.

  Makin was-was saya melangkah setelah Bagas mengejutkan kami. Kami berjalan agak cepat karena matahari sudah hampir tenggelam di ujung cakrawala. Tenda harus sudah siap sebelum semuanya terlambat menjadi gelap. Syukur, setelah berjalan sekitar 20 menit, benar, memang tak jauh, tapi karena kami khususnya aku sudah amat kelelahan, maka dengan sisa tenaga kami berjuang sekuat tenaga. Sesampainya di pos tempat camp sekitar setengah 5 sore, bahkan sudah mau jam 5. Buru-buru kami mendirikan tenda. Yang kuketahui selanjutnya, kami benar-benar ngecamp dibawah puncak, persis. Saya kira butuh beberapa menit lagi ke puncak, ternyata ngesot pun sampai. Syukur, tapi agak jengkel saya. Tak butuh waktu lama tenda pun siap. Langsung kami berbenah dan merapikan barang kami agar bisa bersantai, masak, ataupun tidur. Aku langsung ganti baju dan merapikan barang-barangku. Arvyn dan Dimas juga sigap. Tapi setelah itu Dimas bilangnya mau mengecek jalur menuju puncak besok, baik, tak ada masalah. Selang beberapa menit ia kembali dan sangat cepat. Dan benar, memang sangat dekat. Lalu ia mengajak Arvyn mengambil gambar sunset karena matahari sedang cantik katanya. Arvyn tak berpikir panjang menyetujui (atau sebenarnya si cebong ini tak memikirkan apa-apa, hanya mengiyakan) dan segera mengambil ponsel lantas langsung berjalan ke puncak. Dengan sekejap mereka hilang dari pandangan. Aku? Terlalu lelah untuk berjalan; malas. Aku memilih menjaga tenda dan menikmati senja dengan terpejam; tidur. Aku juga berbincang dengan pendaki yang tendanya di sampingku, ya, mendaki memang menambah relasi, mungkin saja. Aku sudah pusing sekali semenjak telat makan dan Bagas dan macan uwaw. Aku juga makan roti untuk mengganjal perut. Dan karena tenda kami dekat puncak, maka senja masih terlhat samar-samar menembus celah dedaunan yang menyilaukan mata. Sebenarnya, tak kalah keren dengan di puncak, kataku. Sensasi baru, cara memandang yang berbeda.

  Kukeluarkan kepalaku dari dalam tenda, kakiku didalam. Aku sudah berselimut sleeping bag, hawa sudah dingin. Tapi kepala tetap hangat oleh semburat jingga yang kulihat menembus celah dedaunan yang menyilaukan mata, namun syahdu. Entah, Arvyn dan Dimas mungkin saja sudah berganti beberapa pose. Aku, memiringkan badan ke kiri, sambil menikmati udara yang sejuk cenderung dingin, menikmati suasana yang kurindukan; ketenangan dalam alam yang senyap. Seolah ingin terus dan terus bercerita. Novel tanpa akhir, cerita tanpa ujung. Senja perlahan turun dari singgasananya, anggun dan secara perlahan. Tak sadar, saat itu juga aku sudah terlelap di hadapan semburat cahaya jingga yang menembus celah dedaunan. Oh iya, ini adalah pertama kali selama aku mendaki melihat sunset yang tak ada awan, tak ada mendung, tak ada distraksi. Ini pertama kalinya, senja benar-benar memperlihatkan padaku di atas sini, di bawah situ. Pertama kali, sesempurna ini.









  Bersambung...


Wassalamu'alaikum Wr. Wb.

Minggu, 08 September 2019

Mengisahkan Kebohongan

Pagi, rasa-rasanya tak pernah sepagi ini.

  Selepas semua yang kita lalui silih berganti acapkali mengecap yang belum tentu mau terjamah, akhirnya semua kembali lagi. Kau dengan lirih senyummu dan raut bangga kalut dalam tawa yang sekali lagi berhasil menganalogikan semesta yang satu. Perjamuan, hari-hari yang basah karena resah, sesam rindu tak mau jera, koin emas yang selalu menolak berhenti berputar di antara semua rayuan binalmu. Yang itu, yang dulu selalu kutahu bahwa mengisahkan kebohongan berarti berjalan sambil menutup kedua bola mata.

  Di antara gelas-gelas yang dingin dan pudarnya lengkung bibirmu diserap kantuk dan malam yang sekali lagi memaksamu menarik selimut dan kembali hilang dari pandangan. Betapa kubenci melihat ruas punggung itu menjauh menuju sudut terjauh yang barangkali merindukan cahaya redup yang sesekali ingin kau padamkan hanya untuk tertawa dan tertawa; karena bahagiamu adalah kata kerja yang selalu memaksa kepala lebih irasional. Melihatmu adalah memandang awan putih, memandang senja yang tertunda, memandang gelap yang menilik minta dikucilkan. 

  Aku tak pandai dalam segala, kecuali menyiasati ketidaktahuanmu atas yang kutahu bahwa hati kadang diciptakan melawan akal sehat yang lama mendiami kegilaan. Namun, kepala memang sudah ditakdirkan menjadi bagian tubuh paling keras, apa bisa kuperbuat? Di antara gelas-gelas yang dingin dan lengangnya antara waktu dan setiap kata yang kau ucapkan, kau masih dan selalu dan akan tetap seperti dulu. Mencuri dan tak mengembalikan lagi yang sebenarnya milikku. Dan kau, selamanya akan tetap jadi milikku yang takkan pernah bisa kumiliki utuh; hati berhak menentukan di mana tempatnya menaruh benih kejujuran.

  Sulit, sulit rasanya mengakui bahwa keparat sekali apa yang disebut nostalgia atau perihal apapun yang memaksa memori kembali bangkit disela perjamuan singkat tak disengaja ini. Hari pertama kedatangan, duduk manis, senyum layu, wajah panik, rambut pendek, teman yang tiba-tiba nampak bisu, dan semua hal yang menolak diingat kecuali tentangmu, hari-hari besarmu. Yang kuingat tak pernah tanggal darimu senyum menohok itu; keabadianku ada di sana. Di antara gelas-gelas yang dingin pernah terlintas untuk mengakhiri pelarian ini. Tapi, sandiwaraku adalah tentang bagaimana menjadi makhluk paling tegar di antara apa-apa yang bisa kau lihat dalam retina matamu yang kerlap-kerlip berbinar bercahaya yang berlandaskan entah rindu pada yang lain, hati yang sudah kau singgahi, atau sekedar wajah rupawan lelaki yang acapkali kau beri tanda pada daringmu.

  Maka semesta, izinkan aku menjadi aktor sandiwara untuk lebih lama lagi. Setidaknya sampai pada akhirnya yang kau tahu telah menjadi angan dan ingin. Bukan angin yang lewat hanya mengebaskan hitam rambutmu yang sehabis itu kau kutuk menjadi udara hampa tak punya arah. Biarlah gelas-gelas dingin lain yang kusesap menjadi saksi bahwa aku tak pernah bisa berhenti memujimu sekalipun hati sudah memilih apa dan siapa. Biarlah kuketahui hadirmu, kelahiranmu, ketidaksengajaan dan kesengajaanmu, merupakan kebajikan semesta kepada makhluk parau, sepertiku. Biarmu, yang kelak mengerti, atau sampai kapanpun tidak akan mengerti. Mengapa selalu kuteguk kopi saat sebelum gelas-gelas menjadi dingin.

  Aku aktor, aku pelakon, aku pelaku, aku tersangka. Dalam keterasingan dalam raut wajah dan keramahanmu yang dingin. Aku pendosa, aku pendusta. Aku, yang mengarang, yang menutup rapat-rapat, yang menyegel, yang tak membiarkan diri cair dalam lemah kalbu, yang bungkam, yang tak bisa tak jadi tak mampu berkata apa-apa. Aku, yang mengisahkan kebohongan (terbesar) dalam buku-buku lusuh di sanubari. Kamu, senyum, sapa dan semua nyanyian yang sumbang pun telah lama menjadi rumah bagi memori menari-nari dan bersenyum ria, membasuh semua yang kau kenakan sekalipun itu keangkuhanmu. Jadi, sampai bersua! entah kau sudah lebih bahagia nanti. Yang pasti, kebohongan terbesarku padamu merupakan buah kejujuran. Kebohongan terbesarku adalah membohongi bahwa kebohonganku sama sekali bukanlah sebuah kebohongan. Kesungguhan, hati suci, nurani dan jiwa abadi. Dan, entah kenapa entah bagaimana bisa, kau tetap menjadi pengecualian; lebih-lebih soal matamu.


-Uyyi.

Kamis, 05 September 2019

Hari-Hari Penuh (yang Bukan) Penyesalan

Bakar atau bungkam!
Deru semangat ini kian kelam
Menjamah bukan hal yang keram
Bagai ombak timbul tenggelam

Lakukan atau matikan!
Segera, atau sudah tak usah lanjutkan
Menghisapmu adalah sari-sari keresahan
Berlanjut duka silih berganti perlahan

Betapa menyenangkannya bergelut dalam
rasa sakit yang kuciptakan sendiri
Betapa memilukan hidup dalam tanda tanya
yang tak pernah bisa mengerti atau berhenti
ataupun terhenti
Betapa, betapa tersiksanya harapan seolah
menampar diri,
Kau tak pantas, dasar bajingan!

Pulang terlalu larut, pergi terlalu dini
Haruskah kupetik lagi dawai senja dari
awal?
Haruskah?
Haruskah esok atau esoknya lagi menyesali
bahwa hanyaku yang tak punya pantas?

Bakar saja, aku sudah bungkam
Sendi-sendi jariku sudah karam
Biar semua aku yang tanggalkan dalam
Biarmu, selamanya menjadi tanda tanya
semesta buram.


-Uyyi, Penghujung Agustus yang Rancu.

Senin, 02 September 2019

Di Antara Semua-Muanya

Di antara suara bising, kau menjelma bisu
Di antara ramai ricuh, kau menjelma sendu
Di antara malam dan pagi, kau menjelma
lagu
Di antara yang ada dan tiada, kau menjelma
sesuatu

Di antara yang kutahu, kau berupa sajak tak
berujung
Memompa darah, menusuk sukma,
membakar jiwa, menderu nestapa
Kau bagai lilin atau lampu atau lampu
jalan yang menolak terpejam
Kau segala penat dan marabahaya, yang tak
pernah berhenti kupuja

Dan di antara rumah-rumah yang tak
beratap, juga sunyi yang hinggap
Di antara anjing-anjing kota dan kucing-
kucing kampung yang lugu
Kau tetap satu-satunya yang tak pernah bisa
kubiaskan dalam kata-kata.


-Uyyi, 28 Agustus 2019

Kamis, 15 Agustus 2019

Surat Pengantar yang (Ingin) Kuantarkan Untukmu

Tabik!
Perihal ini kusampaikan hanya padamu
seorang. Tapi maaf, kini semua insan yang
bermata bisa menerkanya. Biarlah, tekan
saja sukmamu sedikit kali ini.

Perihal yang penting bagiku adalah ingin 
menyaksikanmu terpampang di depan
ragaku. Tak lama lagi, bersua sudah menjadi
hal yang ingin menjadi suara. Tapi kamu, 
senjaku yang tak pernah mengetuk pintu,
semua resahku kuserahkan padamu. Semua
niat baik memilikimu kuserahkan seluruhnya
padamu.

Bukan tak mungkin, hati bisa berubah di lain
hari, pikiran bisa terpengaruh esok-esok lagi.
Tapi, bagiku selamanya adalah saat
menatap sendu matamu. Yang senyap dan 
ramai dalam waktu yang bersamaan. Yang 
menolak terpejam bahkan kantuk sudah
menilik dari jauh waktu.

Tidak ada terlalu pagi untuk bangun, tidak
ada terlalu malam untuk tertidur. Jadi,
kapan aku bisa dengar suaramu? Barangkali
duduk perkaranya lebih rumit dari hanya
sekedar daging yang siap matang.

Menilik dari hasil kerja selama ini, juga doa
yang kuisi penuh semalam, nampaknya hari-
hari sepi tak akan lagi sudi mampir.

Tertanda, kepada yang dituju namun
dibiaskan realita.


Bandung, 15 Agustus 2019.
-Uyyi

Jumat, 19 Juli 2019

Sajak Puan


Untuk apa Puan?
Punya wajah yang lugu tapi hatimu rancu
Buat apa Puan?
Menebar senyum tapi namamu tak harum

Untuk siapa Puan?
Jiwa raga kasih hatimu juga sedu sedan itu
kau persembahkan
Siapa pula Puan?
Siapa yang lebih bisa menerima itu semua
tanpa terkecuali dan tak dikecualikan selain
dan yang lain daripada aku?

Sekali lagi, untuk apa Puan?
Untuk apa?
Kau bersusah payah berdarah bernanah
gerah dengan semua yang kebas di 
kepalamu sementara orang paling tepat tak
lain tak bukan tak keliru jelas terpampang di
retina matamu;
Aku.


-Uyyi, 18 Juli 2019

Rabu, 17 Juli 2019

Melawan Nostalgi(l)a

  Mengingat adalah pil penuh rasa dan emosi di dalamnya. Mengingatmu, manis yang sedikit lalu pahit menebar sampai habis menggerogoti tenggorokan. Cerita tentangmu, Adinda, mengundang suka yang merebah, juga duka yang menggugah. Hati terlampau pedih tapi rasa-rasanya mengingatmu adalah candu. Menerima saja apa yang sekiranya telah berapi-api padam, yang tak terungkapkan terpendam, yang terlampau pedih hingga tak tahu pagi malam, yang semula jelas mendadak jadi buram. Mengingatmu, Adinda, menyambut hari-hari yang suram.

  Tahukah kau gerangan Bunga yang mekar merekah? Satu hari tak memikirkanmu adalah anugerah dalam hidupku yang masih saja sekeras hati kuusahakan. Melupakanmu sekejap adalah kemustahilan yang sebenarnya tidak mustahil bila-- esok ingatanku tiba-tiba hilang. Bila esok tiba-tiba aku mulai terbiasa tak mengingatmu, aku tetiba bisa menganggapmu angin lalu. menganggapmu, Adinda, bingkai berdebu yang tak harus kubersihkan-- gudang bisa jadi tempatmu singgah(?) 

~Dalam dunia lamunan lelucon bisa jadi serius, canda bisa jadi yang sebenar-benarnya.~

  Jujur saja, kau tak pernah jadi awan mendung di hidupku. Hadirmu adalah salah satu momen terindah di hidupku. Kamu, Adinda, yang membuat aku berani bermimpi besar. Kamu, Adinda, yang mampu mendorong aku melampaui ketidakmustahilan. Kamu, yang membuat aku berani mengorbankan apapun demi sesuatu yang ingin kuraih. Kamu, ya kamu, yang membuatku seperti sekarang ini. Adinda, betapa berterimakasih aku padamu atas hadirmu yang entah sengaja entah tidak, entah perlu entah tidak, entah tulus entah tidak, entah lelucon tapi kurasa tidak. 

  Ingatkah? tentu tidak. Semua ucapanmu yang entah serius entah tidak, entah basa-basi entah bukan, entah sadar entah hanya sekenanya, telah membuatku sudah sejauh ini. Sudah amat jauh, jauh sekali, bahkan (rasa-rasanya) terlalu jauh. Dulu denganmu, aku tak percaya apa itu gagal, aku tak takut resiko apapun, aku tak peduli punya mimpi sebesar apa. Tapi, ketika aku benar-benar gagal, di mana kamu, Adinda? Saat kehidupan benar-benar memberi pelajaran yang telak padaku, bahwa kepala harus rasional. Ketika beranjak dewasa, malah semua omonganmu seolah tiba-tiba menyerangku balik. Di mana kamu? Disaat aku masih teguh memegang semua keyakinanku atas kamu Adinda, Adindaku. Tapi tidak, kamu tak pernah jadi milikku, bukan begitu?

  Disaat kini mimpiku sudah tak sama seperti dahulu, disaat aku bukan orang yang sama, apakah kamu tetap yakin pada aku Adinda? Apakah semua ucapan emasmu masih bisa kupegang teguh sekarang? Apakah kamu kecewa? Atau kamu malah senang akhirnya ada satu orang berhasil larut dalam kebohongan terbesarmu. Aku tak marah padamu, aku tak dendam, sama sekali. Hanya saja aku ingin meminta maafmu, itu jika dirasa perlu. Maaf aku gagal, aku tak bisa mewujudkan apa keinginan masa kecilmu padaku. Sepertinya takkan bisa aku berbadan merah merekah dengan putih disela kemegahan hijau yang kau saksikan dari beranda. Atau mungkin, jika terwujud pun kau tak ada di berandamu.

~Dalam dunia lamunan lelucon bisa jadi serius, canda bisa jadi yang sebenar-benarnya.~

   Sudah sampai di mana kita tadi? Oh maaf, Sudah sampai di mana aku tadi? Kegagalanku? Kamu satu-satunya yang bukan kegagalan dalam hidupku yang berhasil membuatku gagal. Tapi tetap, kamu sama sekali bukanlah kegagalan, Adinda. Mungkin saja kamu bayi yang dititipkan semesta dari rahim bidadari yang lugu atau permaisuri yang tak ada tandingan kecantikannya-- makanya kamu cantik. Hidup sudah selama ini, sudah ke mana saja kamu saat tak ada aku? Lebih senang? Lebih bahagia? Semoga. Tanpamu, awalnya aku kehilangan arah, tapi tidak dengan semangat. Kamu telah lama hidup dalam detak jantungku, disetiap engah nafasku, disetiap darah yang memerah saat tengah bertarung dengan angan. Kamu selalu hidup dalam diriku, hingga saat... Arahku tak lagi sama. Saat semua ucapanmu tak lagi berarti. Saat semua yang ingin kupersembahkan kelak, kuhapus dengan pilu dan capaian baru. Maka, selamat tinggal Adinda.

  Tujuan baru, tapi tetap hidupku yang lama, tetap aku yang pernah kau kenal dahulu. Maka sekarang, biarkan aku melawan semua nostalgiaku tentangmu. Aku tak ingin membebanimu lagi, juga memberatkan langkahku, Adindaku, kuharap. Biarkan aku hidup tanpamu meski sudah lama sekali kau tak pernah bersua denganku. Mungkin terakhir kali saat rambutmu masih dikuncir dua. Sudah lama sekali saat mungkin kau tak sengaja mengusap rambut kotorku yang kusut berdebu. Sudah lama sekali tak berbincang mungkin hanya melalui linimasa. Sudah lama sekali. Biarkan aku mencari semangatku yang baru Adinda. Kadaluwarsa, sebut saja begitu.

  Adinda, tapi untuk menghilangkan kamu di batok kepalaku, rasa-rasanya mustahil. Kamu sudah menjadi bagian daging otak yang jika menghapusmu sama saja memotong separuh kepalaku. Biarkan aku jadikan kamu memori, tapi tak lagi menghakimi. Biarkan saja semua seperti seharusnya. Seperti hari-hari biasa kamu tak memikirkanku tapi aku ada di sana. Biarkan semua menjadi normal dan kita (atau lebih tepatnya aku) mulai terbiasa melupakan, mengikhlaskan. Hidup ini singkat, bukan begitu Adindaku yang bukan milikku? Beri kesempatan semesta untuk membuat kejutan, entah aku atau kamu atau kita akan bersua lagi. Tapi itu tak lagi penting. yang terpenting kini, aku melanjutkan hidup tanpamu, kamu yang ada di diriku. Di akhir paragraf ini kutinggalkan kamu bersama semua ucapan tak ternilaimu yang sangat aku cintai, dulu. Barangkali, kini orang lain lebih membutuhkannya daripadaku.

~Dalam dunia lamunan lelucon bisa jadi serius, canda bisa jadi yang sebenar-benarnya. Tapi, di kenyataan pun aku tak pernah tahu apakah ini lelucon atau kesungguhan.~


-Uyyi, Berhasil Melawan Nostalgia.

Rabu, 10 Juli 2019

Contoh Gagal

Assalamu'alaikum Wr. Wb.

  Tabik!


  Sudah lihat kan? Gambar di atas yang buram tapi jelas menggambarkan makna yang timpang. Iya, di sebelah kiriku adalah Misbahul Munir, pemain Barito Putera U18. Gambar itu persis diambil sesaat laga Persib BandungU18 vs Barito Putera U18 dalam event Liga 1 U18. Laga yang dilakoni pada Minggu, 7 Juli 2019 di Stadion Arcamanik merupakan pertemuan kami kembali setelah lama tak bersua. Munir atau biasa kami panggil Ami adalah rekan lamaku bermain sepakbola. Sejak tahun 2014, di mana anak jangkung besar itu pertama kali menjajakan kakinya di lapangan rumput yang sama denganku. Aku ingat betul pertama kali bersua dengannya, seperti bukan atlet sama sekali, tak meyakinkan. Para pelatih pun dulu tak yakin, tapi sangat tertarik kepada postur badannya yang sangat ideal. Benar-benar pertama kalilah aku bertemu dengan Ami di tahun 2014 itu, sudah kurang lebih 5 tahun berselang, kini anak jangkung itu sudah dapat bermain di kasta tertinggi liga Indonesia. Betapa bangganya saat akupun dapat kesempatan menyaksikan ia langsung bermain di lapangan hijau. 

  Semua rasa campur aduk antara senang, bangga, sedih, kecewa, menyesal, geram, lega. Ya, aku bangga sekali karena rekanku dulu, yang kutahu sampai isi otak kampangnya sekarang sudah lebih dulu sukses. Aku sedih, kecewa karena merasakan atmosfer yang dulu pernah kurasakan, saat itu juga mendadak menggebu-gebu. Di mana saat aku masih punya mimpi besar menjadi salah satu anak yang kusaksikan dari tribun atas ini. Di mana laga yang pernah aku janjikan kepada langit yang dulu mungkin saja mulai dikabulkan. Di mana harapanku yang sebesar semburat senja yang hangat tak lagi menghangatkan. Aku sendiri bingung sekali saat itu. Disisi lain aku sangat amat bangga dan senang, disisi lain seperti membuka luka lama, membuka memori buruk masa lalu yang sempat ingin kubuang jauh-jauh. Karena patah hati terhebatku dulu sayangnya bukan dari seorang wanita, tapi dari apa yang (dulunya) paling kucintai dan selalu kusebut dalam doa, sepakbola. Jadi, mana bisa lupa aku atas apa yang pernah merobek jala hati sehingga meninggalkan luka sobek tak terelakkan.

  Melihat Ami memang jauh sekali perkembangannya dari dulu. Mungkin sekarang tak bisa dengan mudah lagi kulewati bahkan kukolongin dia haha, atau bisa kita coba Mi? Rasa-rasanya ia memang pantas berada di sana. Pengorbanan dan perjuangannya pasti tak mudah. Aku tahu karena aku paham betul bagaimana berkorban. Entah memang aku dulu yang lebih giat berlatih atau dia, yang pasti Tuhan sudah punya takdir yang tertuliskan di langit. Ia memang menjadi seperti apa yang sekarang pasti ada sebab dari apa yang ia tanam dahulu. Semua remehan, cemooh, kata-kata yang merendahkan, sakit, pengorbanan, kehilangan waktu remaja, aku juga melaluinya. Hanya saja aku lebih cepat berhenti atau aku sudah tak punya mimpi yang sama lagi atau, aku memang terlahir bukan untuk menjadi pemain bola. Banyak spekulasi banyak pemikiran banyak sebab-akibat. Tapi, yang sudah biar sudah, yang terhenti lanjut kembali, yang terjatuh bangkit lagi.

  "Mi Ami, kalo lu baca ini ya gua jadi nostalgia aja, masa-masa dulu berjuang bareng dari nol. Sama si Ali juga, Athalla juga, di mana semua masih belum jadi apa-apa. Main kemana-mana bareng, bawa GMSA juara, latihan cuma berempat atau berlima juga. Dulu cuy, dulu banget itu, parah gakerasa aja waktu udah cepet bgt. Kite seleksi bareng ke Riau waktu itu gua doang yang lolos dan sekarang lu yang jadi duluan di atas cuy. Seleksi yang mau ke Singapur tapi lu ama Ali gaada paspor jadi gua berangkat sendiri wkwk. Pokoknya gua nikmatin masa-masa kita berjuang dulu, masa-masa kita main bareng dulu, ya entar sih gamps lah main lagi. Intinya keep going forward cuk, ojo kendor!"

  Dan disini kelihatan jelas, Ami sebagai contoh yang (menuju puncak) sukses. Aku? Tiada lain adalah contoh gagalnya. Iya, aku gagal, aku gagal total. Aku memang tak meneruskan mimpiku sejak kecil sekali. Alasan? Ada. Tapi tak usah dan tak perlu kusampaikan. Yang jelas aku, Muhammad Averyl Aziz adalah contoh orang yang gagal. Aku berhenti dan melanjutkan hidupku di dunia yang lain, apa salahnya? Malu? Aku sangat bangga menjadi contoh gagal. Dengar, tak ada gagal yang gagal, semua kegagalan pasti keberhasilan. Aku sendiri sudah berhasil, berhasil menjadi orang gagal dan aku bangga. Aku jadi punya bualan dan bercandaan saat bertemu teman lamaku (apalagi yang gagal juga wkwk). Titik tertinggi dari sebuah kegagalan adalah di mana kita bisa menertawakan kegagalan kita sendiri, tapi setelah itu bangkit dan menyusun rencana lain. Sedih? Untuk apa? Kisah kegagalan sungguh jauh lebih asik ditertawakan bersama teman-teman sambil meneguk kopi yang dingin. Aku bangga gagal agar bisa melihat kawan-kawanku sukses. Aku bangga gagal agar orang lain bisa belajar dariku, dan aku belajar dari keberhasilan orang lain. Sebenarnya kata gagal itu hanyalah bualan. Selama manusia masih hidup, masih bergerak, masih punya akal sehat, gagal itu cuma mitos dan angin lalu. Besok gagal, nanti sukses, atau sebaliknya. Jadi gagal itu tak ada bukan? Hanya diksi saja menurutku.

  Gagal itu kalau perasaan sudah menganggap orang itu sendiri gagal. Walaupun ditinjau dari segi karir atlet dan dikaji dibidang Antropologi, aku memang gagal. Tapi aku biasa saja, tidak merasa gagal sama sekali. Semisal aku orang gagal yang menjadi kisah inspirasi orang lain, apakah aku masih orang gagal? Persetan dengan kata gagal, sungguh memanipulasi dan menyesatkan! Gagal, gagal, gagal... sebaiknya buang jauh-jauh kata sialan itu. Ganti saja dengan "belum berhasil", karena cepat atau lambat hanya masalah waktu, keberhasilan sudah menunggu di garis finish. Tinggal kita mau jalan, berlari, diam, lewat jalan pintas, tersasar, itu pilihan. Dan satu lagi, ukuran kesuksesan atau keberhasilan adalah diri sendiri. Sebanyak apapun rumah atau harta atau popularitas belum tentu sebagai keberhasilan, bisa jadi sebuah kegagalan bila orang itu berpikir demikian. Bisa saja orang sederhana dan tak punya apa-apa tapi merasa bahagia dan merasa hidupnya telah sukses atau berhasil. Who knows? Semuanya tergantung pada jiwa raga dan diri sendiri, pada persepsi dan pola pikir serta menghargai apapun itu usaha yang kita bangun, entah nanti hasilnya apa.


 Jadi, untuk kali ini aku adalah contoh gagal atau selamanya akan dikenal sebagai orang gagal dan aku tak ada masalah sama sekali. Tapi, tunggu sampai orang gagal ini bisa berhasil dan menjadi orang berhasil kelak, di bidang apapun di tempat dan waktu manapun. Sampai nanti aku mendapat predikat menjadi orang yang berhasil. Atau mungkin, orang gagal yang berhasil.


Wassalamu'alaikum Wr. Wb.

Jumat, 14 Juni 2019

"Sang Jenderal" Tutup Usia

Assalamu'alaikum Wr. Wb.

  Malam mendung, siang tak kalah sendu.

  Pergi, aku sudah bepergian jauh. Ya, tak sampai Eropa, Asia pun baru sebatas negara tetangga. Pergi, amat jauh, sulit terjamah lagi. Ada yang pergi dan kembali, tak jarang juga yang tak kembali. Semua kehendak Tuhan, Ia berhak memanggil hambanya yang sangat Ia sayangi. Surga butuh orang-orang suci untuk diisi. Tapi, untuk perjalanan satu ini, aku belum pernah, dan suatu saat akan merasakan.

  Ia, dia, Kakekku, telah berpulang. Pada hari Senin, 10 Juni 2019. Masih terbalut hangatnya suasana hari raya, beliau berpulang dengan tenang. Memang sudah beberapa bulan belakangan ini keadaannya terus menurun, kian melemah. Tubuhnya yang kutahu sedari dulu kokoh tak tertandingi kini rapuh termakan zaman. Suaranya yang lantang menggema, hilang diserap kejamnya hari tua. Ayah, sedari kecil aku memanggil kakekku Ayah. Karena ibuku tak memanggil beliau kakek, jadi aku ikuti saja. Namanya anak kecil akan selalu meniru apa yang orangtunya lakukan. Sekarang juga takkan ada lagi Ayah yang selalu memimpin imam solat tarawih saat bulan Ramadhan tiba. Mengingat ibu dari ibuku telah meninggal tahun 2007 silam, kini ibuku tak lagi punya orangtua, sekaligus menjadi anak tertua yang (mungkin) akan memimpin adik-adiknya, atau mungkin juga ayahku. Dan dari keluarga ayahku, tinggal tersisa kakek. Nenek sudah dipanggil Allah pada 2016 silam. Aku pun pernah menuliskannya di blog ini --> http://maverylaziz.blogspot.com/2016/11/pilu-di-tengah-bahagia.html.

  Sekarang soal aku. Aku adalah cucu tertua di keluarga ibuku. Jadi, semasa Ayah sakit, tepatnya sebulan lalu saat awal-awal bulan suci Ramadhan. Sesudah aku menyelesaikan urusan di Bandung (sekolah, bimbel, dll) aku kembali ke Jakarta dan mengemban tugas untuk membantu ibuku merawat kakekku yang sedang sakit. Semasa-masa itu akulah yang turut mengurusi Ayah. Mulai dari mengantarnya ke kamar mandi, ke meja makan, memijit kakinya, sampai menemaninya, mengawasinya. Karena Ayah hanya mau diurus oleh ibuku, padahal ibuku masih punya satu adik perempuan dan dua adik laki-laki. Tapi Ayah hanya mau diurus ibuku, hanya mau makan masakan ibuku, hanya mendengarkan semua perkataan ibuku, entahlah aku tak tahu mengapa. Begitupun aku, aku yang selalu dipanggil oleh beliau, bukan adikku (adikku memang pemalas juga). Diluar itu aku merasa punya tanggung jawab karena aku sudah besar dan ibuku nampak letih maka dari itu aku harus dan wajib membantu ibuku.

  Saat-saat terakhirnya, sekitar minggu-minggu terakhir saja, aku turut mengurusi beliau. Pernah disuatu pagi, Ayah ingin buang air kecil lantas aku mengantarnya ke kamar mandi. Setelah itu aku tinggal sebentar dan jika sudah selesai aku minta ia teriak saja panggil aku. Tapi karena aku tengah santai duduk sambil bercengkerama dengan ibuku, kami terhanyut. Ibuku ingat Ayah, setelah itu ibuku kembali ke kamar mandi dan Ayah sudah pingsan di wc. Sekonyong-konyong kami panik. Langsung aku bopong Ayah dengan ibuku. Setelah itu didudukkan dia di kursi makannya. "Yah bangun yah!" ibuku setengah berteriak sambil menepuk pipi Ayah. Beliau nampak lemah dan lunglai. Setelah itu datang adik laki-laki ibuku dan langsung membopong Ayah ke kamar. Setelah di kasur ia masih lemas namun sudah bisa berbicara walau kurang jelas. Ia bilang tadi saat di kamar mandi ia mengantuk, lalu bersandar pada kloset dan rasanya nyaman sekali. Aku mendengar itu tersentak apalagi ibuku. Jujur, disitu aku takut itu adalah pertanda, karena omongan Ayah mengandung banyak arti dan salah satunya aku mengartikan kepada hal yang menakutkan.

  Setelah itu keadaan Ayah sempat membaik, ia sudah bisa tertawa lagi, makannya bertambah banyak, bahkan sudah bisa marah kepada cucu-cucunya yang masih kecil yang tak mau diam. Kupikir dan semua orang pikir Ayah sudah akan sembuh. Aku tak jauh-jauh dari Ayah, aku memang mendapat mandat sebagai cucu paling dewasa untuk mengawasi dan menjaga Ayah. Jadi bisa dibilang aku juga yang terus ada di dekat ayah dibanding cucu-cucu yang lain. Sampai tiba hari raya dan aku berangkat ke Kuningan, tak lagi aku menjamah Ayah. Aku terlalu sibuk bertemu saudara di kampung halaman ayahku sampai aku sebentar melupakan Ayah dan tanggung jawabku. Sampai saat terakhir Ayah dipanggil pun aku belum sempat bercengkerama lagi. Terakhir sekali saat hari lebaran dan sudah hampir seminggu. Padahal pada tanggal 9 Juni saat Ayah masuk RSPI, aku sedang bertemu temanku di PIM. Harusnya aku menengok dia dahulu sebentar, tapi aku memilih pulang, karena ayahku sakit. Tapi, andai saja aku sempat, malam terakhir itu... Jam 3 pagi ayahku dan ibuku membangunkanku karena mereka harus ke RS karena keadaan Ayah yang kritis. Aku mau ikut, tapi aku diperintahkan jaga rumah. Dan setelah azan Subuh berkumandang, Ayah pergi meninggalkan kami semua.

  Tumpah ruah air mataku, aku jarang sekali menangis dan tak bisa menangis dihadapan orang banyak. Maka di pagi itu, dikeheningan, air mataku hangat membasahi wajahku. Teringat masa aku kecil, masa aku bermain dengan Ayah, masa aku diomeli tapi selalu kuingat apa pesan beliau. Beliau keras, tapi darinyalah aku belajar menjadi laki-laki sejati. Tak gentar memegang teguh keyakinan. Memang ia tak bicara langsung, tapi dengan tingkah lakunya aku belajar. Banyak ilmu kudapat darinya tanpa kusadari. Ia yang dulu yang mengajariku bermain catur. Sungguh tegurannya kini tak bisa kudengar. Dan saat ke rumahnya pun yang berjarak beberapa langkah dari rumahku, saat berkata, "mau ke rumah Ayah." Tapi yang punya rumah sudah tiada. Saat Ayah sakit sampai ia sulit berjalan, ia sempat menolak memakai trekking pole-ku. Tapi akhirnya karena sulit ia pakai. Aku punya tiga trekking pole, yang ketiga itu yang dipakai Ayah saat masih hidup. Maka aku takkan pernah mau menjualnya, yang tadinya sudah hampir kujual. Untuk kenangan dan bentuk penghormatanku yang amat tinggi. Aku amat sangat menghormatinya, selain sebagai kakek juga sebagai manusia.

  Aku turut memandikan beliau. Aku yang menemaninya saat sakit, aku juga harus memberi perawatan terakhir dengan sebaik-baiknya. Teringat langsung masa kecilku, masa kecil bersama beliau yang tak banyak kuingat namun membekas dan indah. Masa-masa ia memotong rumput halamannya yang sekarang sudah tumbuh kasar dan kurang ajar. Masa dimana aku mandi dibaknya lalu beliau menguras bak tanpa memarahi aku. Masa dimana beliau bercerita sebelum aku tidur. Dan banyak, banyak lagi. Tapi, aku harus ikhlas. Ayah pergi dengan meninggalkan kesan, beliau sudah bertemu saudara-saudaranya. Dan, ia tersenyum, tersenyum. Itu membuat perasaanku campur aduk. Aku pula ikut membawa kerandanya menuju ambulance, menyolatinya, dan menguburkan. Tapi aku tak masuk ke dalam karena sudah ada ayahku dan dua anak laki-laki Ayah. "Yah, terima kasih semua, semoga Ayah ditempatkan di Surganya Allah, Aamiin."

 Dan satu lagi, pelajaran yang amat berharga. Ayah adalah sosok yang setia, ia amat menyayangi mendiang istrinya. Tak pernah terlintas menikah lagi, itu yang kudengar. Jika ditanya apakah akan menikah lagi setelah nenekku meningggal dunia, apa jawabnya? hanya tersenyum. Sungguh, ini sangat mengoyakkan hatiku. Betapa besar cintanya kepada Almarhum nenekku. Sungguh pelajaran tak ada bandingan. Dan kini, ia akan bertemu lagi dengan pujaan hatinya. ia dimakamkan di atas makam nenekku (ditumpuk). Bahagialah, sudah lama mungkin Ayah menunggu saat ini, di mana kembali bersatu lagi, dalam keabadian Surga Allah.

  Jenderal? tidak, kakekku bukanlah Jenderal. Bukan ABRI, Polisi ataupun prajurit. Bukan sama sekali. Beliau tak punya pangkat. Tapi, aku menghormatinya layaknya seorang Jenderal besar, Panglima tempur, Kaisar besar. Aku menghormatinya sebagai prajurit yang kecil dan lemah. Tapi, berkatnya aku akan menjadi "Jenderal" juga suatu saat. Untuk keluargaku, istriku, anakku, cucu-cucuku kelak.

  Terima kasihku tak ada apa-apanya, selamat jalan Ayah. Tempatmu sebaik-baiknya tempat di sana.
  Cucumu, melanjutkan hidup untuk membuatmu tersenyum bangga di Surga.


Wassalamu'alaikum Wr. Wb.

Selasa, 30 April 2019

Memuja Berhala

  Bila memuja kepada objek yang diam dan tak pernah berbalas itukah berhala?
Bila ranum wajah disuguhkan untuk sekedar melahirkan pujian yang takkan berbalas itukah berhala? Bila kuhabiskan masa-masa diamku untuk melamun sembari berdoa akan keabadianmu adalah salah satu bentuk berhala?

  Kamu adalah senja yang telat mengucap sumpah dan pagi yang tak lelah membuncah. Mengagumimu layaknya api dibakar dalam air, sirna secepat-cepatnya. Aku mencintai sepasrahnya, kau tak peduli sepenuhnya. Kau adalah insan yang terpejam, kembali saat fajar sudah memburam, hari sampai kapanpun adalah hari-hari besarmu yang karam.

  Ketahuilah, jika hari cerah mendadak mendung, itu adalah ulahmu. Yang tak puas tertawa dan bergurau bersama pipimu yang tengah berbahagia. Langit kini ada di paruh wajahmu. Aku laut berparuh merah, biruku telah kau ambil tepat sesudah engsel pintu bergerak karena gagang kau tarik dengan tarikan jari lunglai. Aku tak habis lalai, memujamu yang sudah terlambat tapi tetap santai. 

  Padamu, aku memuja. Inginnya begitu, tapi aku beragama. Kau tak pernah membalas, berarti berhala. Seberapapun untaian kata, puluhan sajak, ratusan sabda, ribuan nestapa, bahkan jutaan aksara, jika tak terbalas tetaplah berhala. Maka dosa yang telah kuperbuat adalah memujamu, memuji, menikmati parasmu dan bersenyum sunyi di antara tawa ramai. 

  Biarlah satu dosa ini saja yang akan terus kulakukan; memandangmu dari titik sudut terjauh ruangan. Meneguk nestapa yang coba kau titipkan. Mengelus manja pertanyaan ambigu yang kau lontarkan. Menepis pilu hanya untuk melihat senyum itu mengembang secara utuh. Siap kalah juga berdarah, asalkan dukamu luruh. Senantiasa menjemputmu kala senja mulai lusuh.

  Dengar, aku jatuh cinta. Senja kurasa tak pernah membuatku segila ini. Malam tak pernah menghantam sedingin besi. Setelah yang lalu, kusimpan senyummu dalam hati. Yang kuharap kau tak pernah tahu. Tak perlu, doa itu urusanku dengan penciptamu. Tugasmu hanya perlu hidup, sehat, dan tak lupa menggosok rambutmu yang parau. Kehidupanmu merupakan anugerah semesta yang tak terungkap. Meski batin serasa senyap dikarenakan ego yang menjelma kepulan asap.

  Puan, senja tepat berada di matamu. Jadi, esok bisa kan kulihat lagi? Tak perlu mendaki ke puncak semesta untuk melihat ufuk cakrawala. Bila semua keindahan dunia sudah ada di satu jiwa. Semua asa dan keluh kesah sudah hilang dari peradaban. Luka sudah lupa untuk sedu sedan. Mencoba menghentikan waktu agar terjebak selamanya dalam persandiwaraan. Puisi heroik dan drama yang amat lama penuh kesan. Tumpukan perasaan yang hanya bisa diterjemahkan kata dan barisan.

  Simpan kantukmu rapat-rapat, iris alismu sesaat, pejam matamu bila tiba saat. Tidurlah, hari terlalu panjang untuk kau sesalkan, terlalu singkat untuk kau rasakan. Mulai saat ini, aku hambamu. Aku yang akan selalu memujamu. Meski tiada tahu dan aku tak mau menahu. Biar semua seperti yang sudah-sudah; jatuh, tersungkur, bangkit perlahan, luka mulai melahan. Biar jiwaku kuat oleh deras siksaan. Senyap anggun berirama dalam satu makna yang tak bisa dilampiaskan.

  Bila memuja kepada objek yang diam dan tak pernah berbalas itukah berhala?
Kau tak diam, hanya tak tahu. Hanya saja semesta dan aku telah memutuskan bahwa mulai detik ini semuanya mesti dijalani hati-hati; kau tak perlu tahu. Tugasmu hanyalah: jangan pernah bersedih lagi.


-Uyyi, Penghujung April yang Ramah

Kamis, 25 April 2019

Nona Tak Kasat Mata


Membuatmu mencintaiku dan membuatmu
jatuh cinta padaku adalah suatu hal yang 
berbeda
Tak habis beranda dicicipi untuk tahu
apakah hatimu ada palangnya atau tidak
Atau barangkali kemauan Belanda atau 
Pribumi atau Indo yang pernah berkuasa
Tapi cinta, adalah tahta yang tak pernah
bisa digertak

Aku telah dijajah
Terhasut juga terjamah
Oleh jari lengkingmu yang lemah
Membuat sekujur tubuh menjadi selalu ingin
lelah

Padamu, ketidaktahuan dan ketidaknyataan,
aku mengharapkan imbalan
Sebagai bukti dan cintaku padamu, bahkan
seorang budak belian
Hancurkan aku kelak dalam drama bertajuk
persandiwaraan 

Aku cinta padamu yang tak pernah nyata
dalam wujud
Sekalipun aku menengadah sambil bersujud
Kau tak pernah menjadi nyata sebagaimana
aku ada
Bilamana tempat itu adalah surga, yang 
pasti nyata

Nonaku, manisku, senjaku, atau apapun
nanti aku akan memanggilmu lirih
Engkau mungkin duka bahkan suka yang
paling perih
Di antara semua pilihan yang bisa aku pilih,
Silih berganti bagai kapas yang terbang
bebas lalu tertindih

Hatiku belum mati, tapi telah membusuk
Sejak terakhir kali senjaku muncul di
pelupuk wajah kuningku
Dan nampak secercah cahaya berkelip di
keningmu
Jiwa raga, cinta, cobalah merasuk

Aku ingin bisa menjatuhkan diriku sendiri
agar bisa mencintaimu
Tapi tak bisa, bagaimana bisa aku mencinta
yang tak ada?
Mungkin, tak terlihat, bukan tak nyata
Lalu kapan dirimu akan nampak seperti
yang dulu-dulu?

Aku harap hati ini masih bisa bertahan 
sedikit lagi
Bertahanlah, aku segera tiba
Atau kau yang sedang mengupayakan
perjamuan kita
Agar kembali lagi selimut tebal menyelimuti
hati

Hatiku yang merah, dan harimu yang mulai
saat itu akan cerah.


-Uyyi, 11 April 2019

Senin, 22 April 2019

Kisah Penutup Masa Sekolah

Assalamu'alaikum Wr. Wb.

  Graduation, Prom Night. Riuh suara bergema saling mengucap selamat kepada sesama. Kegembiraan memuncak, kesedihan mulai menerjemahkan segala. Yang dipuja, mencinta juga. Yang dikasihi, memuji jua. Yang diajak berdansa, menari dengan anggunnya. Yang tak merasakan semuanya, hanya duduk sambil tertawa.

  Masa SMA atau sekolah, kata orang memang masa terindah dalam hidup, benarkah? Apakah kata itu hanya ditujukan pada anak-anak normal yang masih bersedia bersembunyi di balik ketiak ibunya sembari menunggu perayaan yang telah lama dinanti. Apa daya bagi pengelana? Rumah saja hampir saja tak terlihat melintas di alam khayal, bagaimana dengan sekolah, pesta dan perayaan? Tak berlakukah bagi orang-orang itu merasakan untuk sekali saja dalam hidupnya, yang mana tahu esok sudah mati. Hidup ini singkat, namun penuh sekat. Yang disadari hampir saja tak tahu diri. Bagi sebagian orang (normal) masa sekolah adalah hal singkat manis penuh cerita. Bagi sebagian lain adalah meneguk pil pahit yang lama kelamaan hilang sendiri rasa pahit itu.

  Teman, salah satu pilar penting dalam hidup masing-masing dari kita. Semua sirna ketika gengsi dan kelupaan mulai berkenalan dengan masing-masing kita. Yang ada akhirnya cuma diri sendiri untuk mencairkan segalanya sebagai sendu. Kita semua punya kawan dan wajib dan juga butuh, tapi bergantung tak pernah jadi suatu alasan yang baik. Bergantung itu bagai mendamba bulan di siang bolong. Bagai mencium langit yang sedang muram. Bagai memahat suka di jiwa yang hangus. Mereka sedang asyik berpesta pora, merayakan kegagalan ataupun kemenangan mereka, bersama. Mencumbu rindu untuk siap dilepas, mengembangkan senyum terakhir yang terindah dan melupakan semua yang sudah pastinya terlupakan. Lalu, buat apa bertahan di keterasingan? bila nyatanya di tempat asing tak merasa terasingkan. Yang bahagia yang melepas, yang tersiksa yang memaksa kehendak. Kebahagiaan itu menular, tapi tidak dengan nestapa. Selamat lulus, manusia 2019.

  Tak ada yang kuinginkan selain segera berakhirnya masa-masa ini. Malahan berharap tak pernah ada di fase ini. Sungguh ironi. Tak bisa rasa-rasanya kita melompati fase hidup di mana kita berharap seolah tak terjadi apa-apa. Konyol sekali, malahan seperti harus kembali menelan pil pahit yang mulai memahit karena terbiasa oleh manisnya hidup. Kelemahan tak boleh lahir lagi, tak ada tempat untuk cengeng, menyesali atau mengutuk. Percuma, sia-sia belaka. Merekapun takkan menggubris, kelemahanmu sendiri yang akan mereka tertawakan. Benarkah aku tak pantas? tak berhak menerima kebahagiaan macam itu? di antara banyak yang menginginkan hal-hal macam itu, ada saja manusia yang tak bersyukur kepada hidup bahagianya yang sempurna. Apa lagi yang diinginkan seorang bocah remaja selain pesta, riuh, pasangan, kawan sepermainan, haru, tangis, kelulusan? Apa lagi? sehina itukah sampai orang lain tak menginginkan hal yang malah seorang asing berharap merasakannya sedikit, secuil saja?

  Apa pula arti perpisahan jika kami sendiri tak mengenal kesan pertemuan? Hanya melintas sejenak dan bertukar senyum lalu pergi lagi entah kemana. Buat apa berpisah bila di hidup masing-masing saja tak saling mengisi, tak saling mengusik. Apa arti jabatan tangan bila hanya meneteskan dosa saja, tak lebih dari budaya dan adat leluhur. Apa guna bertemu, jika jemu selalu semu. Hidup sendiri mustahil? jangan bercanda kawan, kehampaan sudah terbungkus rapi, keheningan sudah menjadi hal pertama di pagi hari yang selalu dikenakan. Jadi, kesendirian tak pernah mampu menyiksa iman, karena terbiasa dan biasa. Pengharapanlah yang keji, sekeji-kejinya keji. Ia menarik, pandai menipu dan kejam.

  Terima kasih apapun itu, untuk pengalaman yang berliku dan paling tak mengesankan. Bohong cuma untuk pengecut, jadi terima kasih. Tapi tetap, aku senang menjadi seperti ini. Makin kuat aku, menghadapi pahit yang selalu kuteguk tiap hari; kopi robusta yang keras. Berbahagialah, ini kelulusan, ini kebebasan. Bersukacitalah, tak ada yang perlu disedihkan. Tak ada yang perlu dikecewakan. Tuhan tahu mana jalan yang benar. Tugas kita hanya tersesat dan berusaha mencari jalan. Mencari dan berusaha. Mengupayakan yang lebih baik dan yang jauh lebih baik. Menjahit tragedi menjadi presipitasi suka. Membuka mata selebar-lebarnya, hadapi anak muda. Jalan masih panjang, pahit masih terus tertuang.

  Sampai nanti, sampai yang dinanti tiba. Berjuang dan berlelah payah tak pernah menjadi hal yang tak berguna, percaya saja. Senjaku tiba, senjamu entahlah, semoga saja tak redup. Pagi, selalu memberi arti. Perjalanan selalu menggugah hati. Dan teruntuk yang datang dan pergi pada masa sekolahku, terima kasihku tak terhingga. Biar kita menjadi asing dan bertarung dalam hidup masing-masing. Graduation, Prom Night, kelulusan, berbahagialah. Kalian pantas berbahagia, tentunya aku juga tak kalah bahagia.


Wassalamu'alaikum Wr. Wb.

Jumat, 29 Maret 2019

Kopi Dingin Penanda Luka Lahir

Kupikir setelah tiap hari berulang kali
Tak terhitung gelas yang kuteguk
Rasa pahit tak lagi berarti
Padahal hati semakin remuk

Kupikir dengan melupakanmu aku bisa 
bebas
Nyatanya pertemuan singkat membuatku
kebas
Hati bergejolak tanpa alasan dan balas
Melahirkan senyum kecut yang bias

Aku mungkin cinta padamu
Tapi kamu lebih mungkin tak bisa mengerti
Yang kumau hanya waktu berhenti
Percuma, kau tak cinta padaku

Aku berani mengatakan itu karena aku cinta
padamu
Senyum sayu yang mengambang selepas
riuh kemacetan
Kibasan rambut hitam lebat mengganggu
konsentrasi yang padu
Tak ada yang lebih kutunggu selain
kehadiran

Aku cinta padamu, tapi aku tak mau
bergantung padamu
Harapan sudah lama menjadi musuh
beratku
Jadi, biar aku mencintaimu dalam ketiadaan
Dalam ketidakpastian yang menuntun hanya 
pada perpisahan

Pertemuan singkat
Rindu haram di antara sekat
Kekaguman parasmu yang memikat
Dalam hati selamanya akan ingat

Sebaiknya sore ini kuteguk sekali lagi kopi
terpahit
Ya, hitung-hitung bisa meredakan nyeri yang
menggigit
Menghapus semua yang tak menjadi kisah
komplit
Kata yang tak sempat menjelma bait

Mengingatmu, adalah luka pahit yang selalu
ingin kuteguk.


-Uyyi, 28 Maret 2019